Kejati Buka Peluang 'Duta Palma-kan' Korporasi Sawit Nakal di Riau, Siap-siap Saja!
SABANGMERAUKE NEWS, Pekanbaru - Kejaksaan Tinggi Riau membuka peluang untuk mengusut kasus kebun kelapa sawit ilegal di Riau yang dilakukan oleh korporasi. Langkah tersebut tidak untuk mengesampingkan Undang-undang Cipta Kerja yang sudah mengatur penyelesaian kebun sawit dalam kawasan hutan dengan pemberian sanksi administratif. Namun penegakan hukum yang dilakukan tetap mengacu pada undang-undang yang relevan lainnya menyangkut keuangan negara.
"Kita tunggu saja putusan kasus Duta Palma Grup. Putusannya akan bisa menjadi yurisprudensi terkait kasus sejenis. Nanti kalau sudah inkrah. Maka, siap-siap sajalah," kata Asisten Intelijen Kejati Riau, Rahardjo Budi Kisnanto dalam diskusi tentang UU Cipta Kerja di kampus Unilak Pekanbaru, Sabtu (26/11/2022).
Rahardjo menyatakan, dalam mengusut kasus kebun sawit dalam kawasan hutan, pihaknya tidak hanya berpaku pada UU Cipta Kerja. Namun, ada sejumlah instrumen lain yang bisa dipakai, apalagi jika kerugian negara yang timbul sudah sangat besar dan perbuatan yang dilakukan subjek hukum sangat keterlaluan. Termasuk mengusut sampai ke tindak pidana pencucian uang (TPPU).
"Seperti Duta Palma ini kan keterlaluan. Puluhan tahun gak bayar pajak. Uangnya mengalir ke luar negeri, bukan di Indonesia apalagi di Riau," kata Rahardjo.
Kejaksaan telah mendapat informasi ada sekitar 84 perusahaan kelapa sawit di Riau yang dinyatakan tidak memiliki Hak Guna Usaha (HGU). Terhadap hal tersebut pihaknya akan mendalaminya.
Bahkan, Kejaksaan bersama tim terpadu yang akan dibentuk akan menelisik soal lokasi lahan-lahan yang sudah mengantongi izin. Apakah lahan perusahaan pemegang HGU luasannya sama dengan jumlah di dalam HGU atau justru lebih besar.
"Itu nanti dengan lembaga survei menentukan koordinat HGU. Apalagi perusahaan itu mengelola lahan lebih luas, mengambil lahan kiri kanan tidak sesuai dengan luasan HGU yang dikantongi. Itu bisa dicek," kata Rahardjo.
Menurutnya, para pengusaha kelapa sawit selama ini sudah menikmati keuntungan yang sangat besar. Sehingga agak aneh jika para pengusaha mengeluh soal sanksi dan denda yang diberikan pemerintah terhadap kebun sawit yang tak mengantongi izin apalagi berada dalam kawasan hutan.
"Jangan cuma cerita sedihnya dong. Ceritakan juga enak dan nikmatnya. Selama ini kan sudah sangat menikmati. Nah, itu dia. Sebaiknya patuh pada aturan negara," tegas Rahardjo.
Menurutnya, putusan hukum kasus Duta Palma Grup yang menjerat Surya Darmadi alias Apeng dan mantan Bupati Inhu Thamsir Rachman akan menjadi preseden hukum. Di dalam perkembangan teori hukum, sesuatu yang terjadi sebagai preseden hukum dapat menimbulkan temuan hukum yang baru dan bisa diterapkan.
"Orang-orang yang belajar hukum pasti tahu apa itu preseden hukum. Makanya, kita tunggu saja putusan Duta Palma ini bagaimana," kata mantan Kajari Semarang ini.
Meski demikian, Rahardjo menyebut kalau kejaksaan bukan bermaksud untuk menakut-nakuti.
"Emang kejaksaan itu hantu? Menakut-nakuti? Enggaklah. Kita hanya ingin menegakkan aturan. Dan unsur paling utamanya adalah keadilan. Bagaimana hasil sumber daya alam ini bisa dikelola negara dan dinikmati masyarakat. Benar-benar masyarakat sejahtera," tegas Rahardjo.
UU Pajak dan UU Keuangan Negara
Sebelumnya dalam forum diskusi yang sama, Asisten Intelijen Kejaksaan Tinggi Riau, Raharjo Budi Kisnanto mengungkap alasan Kejaksaan Agung memproses secara hukum bos Duta Palma Grup Surya Darmadi. Korps Adhyaksa melakukan penegakan hukum terhadap korporasi sawit di Indragiri Hulu itu, meski sudah ada mekanisme penyelesaian kebun kelapa sawit dalam kawasan hutan yang diatur dalam Undang-undang Cipta Kerja yang menganut asas ultimum remedium.
Raharjo menjelaskan, kasus Duta Palma Grup pada awalnya sempat masuk ke Kejati Riau. Namun dalam perkembangannya diduga terjadi intervensi dalam penanganan kasus tersebut. Hingga akhirnya perkara itu dilimpahkan ke Kejaksaan Agung saat Kejati Riau dijabat oleh Mia Amiati yang kini bertugas sebagai Kajati Jawa Timur.
"Telepon saya berdering terus saat itu. Banyak masuk telepon. Makanya saat itu sering saya matikan handphone. Akhirnya diputuskan oleh pimpinan Ibu Kajati saat itu untuk diambil alih penanganannya langsung oleh Kejaksaan Agung," kata Raharjo dalam diskusi UU Cipta Kerja yang dilaksanakan BEM Universitas Lancang Kuning (Unilak), Sabtu (26/11/2022).
Raharjo menjelaskan, UU Cipta Kerja tidak menjadi satu-satunya acuan dalam kasus Duta Palma Grup. Perkara dugaan megakorupsi ini menyangkut juga soal UU Keuangan Negara dan UU Perkebunan serta undang-undang lainnya.
"Jadi ada undang-undang lain yang jadi pegangan. Di antaranya UU Perpajakan dan UU Perkebunan, juga UU Keuangan Negara," kata Raharjo.
Ia menegaskan, Duta Palma Grup tidak membayar pajak dalam jangka waktu puluhan tahun. Selain itu, aliran uang hasil kebun sawit ilegal terbang ke Singapura lewat pengiriman minyak CPO melalui Pelabuhan Dumai.
"Hasil kebun sawitnya ratusan miliar mengalir ke Singapura. Uangnya bukan di Riau, tapi di Singapura. Ini terjadi selama puluhan tahun. Cuma Rp 5 miliar yang ada di Riau, itu pun hanya untuk beli pupuk. Jadi, sama sekali uangnya lari ke luar negeri. Coba bayangkan betapa besar kerugian kita. Ini terjadi puluhan tahun, tapi belum ada yang berani mengungkap," kata mantan Kajari Semarang ini.
Raharjo meminta publik untuk menunggu putusan pengadilan dalam kasus Duta Palma Grup tersebut. Jika perkara itu diputuskan bersalah dan nantinya berkekuatan hukum tetap, maka bisa menjadi acuan penegakan hukum untuk kasus sejenis. Ia menyebut kasus Duta Palma Grup sebagai 'preseden hukum' yang bisa menjadi yurisprudensi dalam kasus-kasus sejenis.
"Jadi, kita tunggu bergulir di persidangan. Kalau sudah inkrah, maka akan jadi acuan. Mungkin bisa dipakai sebagai yurisprudensi kasus sejenis yang mungkin banyak terjadi," kata Raharjo.
Sebaliknya, jika Surya Darmani divonis bebas, maka Kejagung dipastikan akan menempuh upaya hukum kasasi.
Kejagung mendakwa bos Duta Palma Grup Surya Darmadi alias Apeng dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi dalam pengelolaan kebun kelapa sawit seluas 37.500 hektar lebih di Indragiri Hulu. Kejagung juga menjeratnya dengan dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU).
Apeng didakwa Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana.
Selain Apeng, mantan Bupati Indragiri Hulu Thamsir Rahman juga dijadikan sebagai pesakitan. Saat ini perkaranya masih bergulir dengan pemeriksaan saksi-saksi di PN Jakarta Pusat.
Apeng didakwa merugikan negara sebesar Rp 84 triliun lebih. Perhitungan kerugian negara tersebut meliputi kerugian keuangan negara dan kerugian perekonomian negara. Awalnya setelah melibatkan sejumlah ahli keuangan dan perkebunan, Kejagung sempat merilis angka kerugian negara mencapai Rp 104 triiliun. Inilah yang membuat kasus ini sebagai perkara korupsi dengan angka kerugian negara terbesar sepanjang sejarah Republik Indonesia berdiri. (*)