Cerita Asintel Kejati Riau Awal Kasus Duta Palma Grup: Handphone Terus Berdering Hingga Perkara Diambil Alih Kejagung
SABANGMERAUKE NEWS, Pekanbaru - Asisten Intelijen Kejaksaan Tinggi Riau, Raharjo Budi Kisnanto mengungkap alasan Kejaksaan Agung memproses secara hukum bos Duta Palma Grup Surya Darmadi. Korps Adhyaksa melakukan penegakan hukum terhadap korporasi sawit di Indragiri Hulu itu, meski sudah ada mekanisme penyelesaian kebun kelapa sawit dalam kawasan hutan yang diatur dalam Undang-undang Cipta Kerja yang menganut asas ultimum remedium.
Raharjo menjelaskan, kasus Duta Palma Grup pada awalnya sempat masuk ke Kejati Riau. Namun dalam perkembangannya diduga terjadi intervensi dalam penanganan kasus tersebut. Hingga akhirnya perkara itu dilimpahkan ke Kejaksaan Agung saat Kejati Riau dijabat oleh Mia Amiati yang kini bertugas sebagai Kajati Jawa Timur.
"Telepon saya berdering terus saat itu. Banyak masuk telepon. Makanya saat itu sering saya matikan handphone. Akhirnya diputuskan oleh pimpinan Ibu Kajati saat itu untuk diambil alih penanganannya langsung oleh Kejaksaan Agung," kata Raharjo dalam diskusi UU Cipta Kerja yang dilaksanakan BEM Universitas Lancang Kuning (Unilak), Sabtu (26/11/2022).
Raharjo menjelaskan, UU Cipta Kerja tidak menjadi satu-satunya acuan dalam kasus Duta Palma Grup. Perkara dugaan megakorupsi ini menyangkut juga soal UU Keuangan Negara dan UU Perkebunan serta undang-undang lainnya.
"Jadi ada undang-undang lain yang jadi pegangan. Di antaranya UU Perpajakan dan UU Perkebunan, juga UU Keuangan Negara," kata Raharjo.
Ia menegaskan, Duta Palma Grup tidak membayar pajak dalam jangka waktu puluhan tahun. Selain itu, aliran uang hasil kebun sawit ilegal terbang ke Singapura lewat pengiriman minyak CPO melalui Pelabuhan Dumai.
"Hasil kebun sawitnya ratusan miliar mengalir ke Singapura. Uangnya bukan di Riau, tapi di Singapura. Ini terjadi selama puluhan tahun. Cuma Rp 5 miliar yang ada di Riau, itu pun hanya untuk beli pupuk. Jadi, sama sekali uangnya lari ke luar negeri. Coba bayangkan betapa besar kerugian kita. Ini terjadi puluhan tahun, tapi belum ada yang berani mengungkap," kata mantan Kajari Semarang ini.
Raharjo meminta publik untuk menunggu putusan pengadilan dalam kasus Duta Palma Grup tersebut. Jika perkara itu diputuskan bersalah dan nantinya berkekuatan hukum tetap, maka bisa menjadi acuan penegakan hukum untuk kasus sejenis. Ia menyebut kasus Duta Palma Grup sebagai 'preseden hukum' yang bisa menjadi yurisprudensi dalam kasus-kasus sejenis.
"Jadi, kita tunggu bergulir di persidangan. Kalau sudah inkrah, maka akan jadi acuan. Mungkin bisa dipakai sebagai yurisprudensi kasus sejenis yang mungkin banyak terjadi," kata Raharjo.
Sebaliknya, jika Surya Darmani divonis bebas, maka Kejagung dipastikan akan menempuh upaya hukum kasasi.
Kejagung mendakwa bos Duta Palma Grup Surya Darmadi alias Apeng dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi dalam pengelolaan kebun kelapa sawit seluas 37.500 hektar lebih di Indragiri Hulu. Kejagung juga menjeratnya dengan dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU).
Apeng didakwa Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana.
Selain Apeng, mantan Bupati Indragiri Hulu Thamsir Rahman juga dijadikan sebagai pesakitan. Saat ini perkaranya masih bergulir dengan pemeriksaan saksi-saksi di PN Jakarta Pusat.
Apeng didakwa merugikan negara sebesar Rp 84 triliun lebih. Perhitungan kerugian negara tersebut meliputi kerugian keuangan negara dan kerugian perekonomian negara. Awalnya setelah melibatkan sejumlah ahli keuangan dan perkebunan, Kejagung sempat merilis angka kerugian negara mencapai Rp 104 triiliun. Inilah yang membuat kasus ini sebagai perkara korupsi dengan angka kerugian negara terbesar sepanjang sejarah Republik Indonesia berdiri. (*)