Waduh! Pemerintah Nunggak Utang Minyak Goreng Rp 344 Miliar, Pengusaha Geram Ancam Stop Pasokan
SABANGMERAUKE NEWS, Jakarta - Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) menyatakan utang pemerintah untuk pembayaran selisih harga minyak goreng alias rafaksi dalam program satu harga pada 2022 belum dibayar. Padahal program itu sudah bergulir sejak Januari 2022.
Ketua Umum Aprindo Roy Nicholas Mandey mengatakan total utang yang harus dibayar pemerintah ke pengusaha sebesar Rp 344 miliar. Rafaksi itu seharusnya dibayar 17 hari setelah program itu dilakukan, sialnya sudah setahun lebih rafaksi tak kunjung dibayarkan.
Dia menjelaskan program minyak satu harga sendiri dilakukan dalam rangka kepatuhan kalangan usaha pada Permendag nomor 3 tahun 2022. Kala itu semua pengusaha diminta menjual minyak goreng seharga Rp 14.000 per liter, sementara itu harga minyak goreng di pasaran kala itu berkisar di Rp 17.000-20.000 per liter. Nah selisih harga atau rafaksi itu dalam Permendag 3 disebut akan dibayarkan pemerintah.
"Rafaksi kita lakukan ketika ada Permendag 3 2022, jadi rafaksi bukan kemauan ritel, karena ada regulasi Permendag itu. Itu ketentuan yang berlaku di Permendag 3 perihal minyak goreng satu harga. Semua dijual Rp 14.000, dari 19 Januari sampai 31 Januari," ungkap Roy Mandey dalam forum buka puasa bersama, di bilangan Gatot Subroto, Jakarta Pusat, Kamis (13/4/2023).
"Dalam regulasi itu selain satu harga, pemerintah akan bayarkan selisih harga, karena saat itu harga melonjak tinggi," lanjutnya.
Nah masalah muncul ketika Permendag 3 digantikan dengan Permendag 6 tahun 2022. Beleid baru itu membatalkan aturan lama soal rafaksi yang ditanggung pemerintah. Padahal, menurut Roy, seharusnya utang pemerintah kepada pengusaha tetap harus dibayarkan.
"Permendag 6 muncul, memang yang Permendag 3 jadi tak berlaku lagi, tapi bukan berarti rafaksi nggak dibayar. Kita sudah setorkan semua data pada 31 Januari sudah kita penuhi semuanya," ungkap Roy.
Menurut Roy pihaknya heran mengapa utang rafaksi yang dibayar pemerintah tak juga dibayarkan. Apalagi, uang rafaksi itu tidak dibiayai oleh APBN, melainkan uang pungutan ekspor CPO dari eksportir kelapa sawit yang ada di BPDPKS.
"Pembayaran rafaksi tidak lewat APBN, tapi lewat BPDPKS, uangnya bukan APBN, dari ekspor CPO, tarif ekspor CPO, jadi uangnya swasta bukan APBN. Jadi dengan kata lain kita minta untuk bayar aja, sampai hari ini belum dibayar. Tidak fair saat kita patuhi aturan tapi nggak tahu kapan dibayar dan diselesaikan," papar Roy.
Tunggu Verifikasi Kemendag
Di sisi lain, Direktur Eksekutif Aprindo Setyadi Surya menyatakan BPDPKS menyatakan uang pembayaran rafaksi sebetulnya sudah ada dan siap disalurkan. Hanya saja, BPDPKS sampai saat ini menunggu surat verifikasi dari Kemendag saja.
"Dananya sudah tersedia tinggal surat verifikasi aja. Tinggal tunggu surat rekomendasi hasil verifikasi aja," ungkap Setyadi dalam tempat yang sama.
Sialnya, kabar terakhir yang didengar Roy dan Setyadi justru antiklimaks. Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan menyebutkan bahwa pihaknya tidak bisa memberikan surat hasil verifikasi rafaksi ke BPDPKS karena Permendag 3 tahun 2022 sudah dibatalkan isinya dengan Permendag 6 tahun 2022.
Menurut Roy, Zulkifli Hasan mengaku takut 'mencairkan' uang rafaksi dari BPDPKS ke pengusaha karena aturannya sudah tak berlaku. Di sisi lain, Zulkifli Hasan malah meminta pengusaha untuk menggugat aturan Permendag 6 ke PTUN, baru lah rafaksi bisa diberikan izin untuk dicairkan agar tidak menyalahi aturan.
Saat menyatakan hal ini, Roy sampai memperdengarkan bukti rekaman pernyataan Zulkifli Hasan dalam rapat dengan Komisi VI DPR.
"Saya dengar di rapat dengan DPR, Menteri Perdagangan itu bilang takut untuk mencairkan karena aturannya sudah tidak ada. Kedua dia malah meminta untuk kami gugat ke PTUN baru dia mau kasih surat verifikasinya itu ke BPDPKS sehingga rafaksi bisa dicairkan," kata Roy.
Menanggapi hal itu, Roy justru mengatakan pihaknya tidak ingin menempuh jalur hukum. Malah menurutnya apabila Kemendag punya niat untuk membayar utang rafaksi itu, lebih baik ada revisi Permendag 6 dan menyantumkan ketentuan agar rafaksi tetap dibayar.
"Kalau bisa kan kita nggak mau langkah hukum yah, karena kan ini bukan duit APBN, bukan korupsi, tapi real hak kita aja. Kalau masalahnya Permendag harusnya dia bisa revisi, dia takut kalau itu aturan sebenarnya bukan dia yang bikin," ungkap Roy.
Kini pihak Roy mengaku geram dengan perilaku pemerintah soal pembayaran rafaksi ini. Roy pun sudah bersurat langsung ke Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk meminta kejelasan pada jajarannya ihwal pembayaran rafaksi yang mandek selama setahun lebih.
Pihaknya pun mulai mengkaji opsi pergerakan untuk protes. Salah satunya adalah untuk menyetop penjualan minyak goreng di toko-toko ritel.
"Di antara anggota kami, kami saat ini sedang mengkaji inisiasi untuk menghentikan pembelian, pengadaan minyak goreng dari produsen dan pemasok minyak goreng," tegas Roy.
Roy enggan bicara kapan aksi penyetopan penjualan minyak goreng ini akan dilakukan. Yang jelas inisiatif tersebut sudah banyak dibicarakan dalam internal Aprindo.
"Kami bukan mau mengancam, tapi ini cara kami agar didengar. Soal kapannya, kami masih koordinasi dulu dengan anggota asosiasi, bila sama sekali tak ada perhatian dari pemerintah kami akan lakukan itu," kata Roy. (*)