Buruh Migas di Blok Rokan Terpapar 'Virus H2C', Kontrak Kerja Per 3 Bulan Bikin Pekerja Stres
SABANGMERAUKE NEWS, Pekanbaru - Buruh kontrak migas di Blok Rokan dilanda kecemasan. Para pahlawan lifting minyak nasional itu disebut terkena paparan virus yang unik namun berdampak luas. Buruh menyebutnya dengan istilah virus yang menyerang psikologi pekerja yakni H2C: Harap-harap Cemas. Mengapa?
Seorang buruh kontrak yang diwawancarai menyatakan, masa kerja buruh saat ini sangat membuat tekanan psikologis kepada mereka. Soalnya, sejumlah buruh hanya memiliki kontrak kerja per 3 bulan. Selebihnya juga ada yang bekerja dengan kontrak 6 bulan atau setahun.
"Jadi, sesungguhnya kami ini diterpa Virus H2C. Harap-harap Cemas. Saya bersama rekan-rekan buruh kontrak lain merasa tertekan dengan masa kontrak yang sangat singkat dan tak menentu ini," kata HBS, seorang pekerja saat berbincang dengan SabangMerauke News, Minggu (27/11/2022) kemarin.
HBS yang bekerja dengan status Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) mengaku kerap dibayang-bayangi oleh ancaman pemutusan kerja karena masa kontrak yang segera berakhir. Padahal, ia dan rekan-rekannya memiliki tanggung jawab dan beban hidup besar, di antaranya memastikan anak-anak tetap bisa bersekolah dan kebutuhan rumah tangga terpenuhi.
Ia menduga, kasus kematian pekerja kontrak di Blok Rokan yang heboh pekan lalu kemungkinan disebabkan tingginya tekanan psikologis pekerja. Akibatnya, muncul stres dan beban pikiran yang sangat berat.
"Khawatir kalau kontrak 3 bulan diputus. Lalu mau kerja apa lagi? Pola kontrak PKWT ini sangat tidak manusiawi dan cenderung membuat pekerja memiliki beban psikologis yang berat," kata HBS.
BERITA TERKAIT: 5 Pekerja Blok Rokan Meninggal Beruntun di Awal Pengelolaan PT Pertamina Hulu Rokan, Buruh Migas Sindir Asupan Gizi dan Hidup Layak
Ia juga menyebut kalau besaran upah buruh kontrak migas saat ini cenderung stagnan. Dengan gaji pokok bervariasi antara Rp 3,2 juta sampai Rp 4,2 juta per bulan, maka sesungguhnya hal itu sangat pas-pasan untuk memenuhi hidup keluarga.
BERITA TERKAIT: Disnaker Riau Terjunkan Tim Investigasi Telusuri Kematian 5 Pekerja Migas di Blok Rokan, Manajemen PT PHR Dipanggil
"Apalagi sejak dihapusnya upah minimum sektoral migas, maka penghasilan menjadi terbatas. Kalau sudah punya anak istri mungkin kurang. Upah itu hanya layak untuk orang lajang, belum berkeluarga," kata HBS.
Ia juga menyinggung soal minimnya biaya ekstra fooding (puding) yang diberikan perusahaan tempatnya bekerja. HBS mengaku hanya mendapat bantuan puding sebesar Rp 7 ribu per hari.
"Kalau uang puding Rp 7 ribu per hari, maka cukup untuk segelas kopi. Bagaimana badan mau fit dan stamina terjaga," kata HBS.
HBS merupakan salah satu pekerja kontrak pada perusahaan sub kontraktor PT Pertamina Hulu Rokan (PHR). Sejak blok migas Rokan kembali ke pangkuan ibu pertiwi (istilah menunjukkan diambil oleh BUMN), praktis tidak ada perubahan tentang kebijakan ketenagakerjaan di Blok Rokan, bahkan cenderung menurun bila dibanding era pengelolaan PT Chevron Pacific Indonesia (CPI). Perlindungan tenaga kerja kontrak disebut sangat rentan, meski bekerja di industri strategis nasional sekalipun.
"Jadi ada benarnya juga kalau ibu kandung disebut lebih kejam dibanding ibu tiri. Kami meminta agar PHR segera melakukan evaluasi konkret soal ketenagakerjaan di Blok Rokan," kata HBS.
Melanggar PP Nomor 35 Tahun 2021
Ketua DPC Federasi Pertambangan dan Energi (FPE-KSBSI) Kabupaten Siak, Suwandi Hutasoit SH menyatakan, praktik pekerjaan buruh kontrak di Blok Rokan diduga kuat melanggar sejumlah ketentuan perundang-undangan. Salah satunya yakni Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat serta Pemutusan Hubungan Kerja.
Ia mengutip pasal yang mengatur soal Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) dalam PP Nomor 35 tahun 2021 tersebut. Di mana PKWT seharusnya tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang bersifat tetap.
Secara jelas dan tegas dalam pasal 5 disebutkan kalau PKWT diadakan hanya untuk tiga jenis pekerjaan. Yakni pekerjaan yang perkiraan penyelesaiannya dalam waktu tidak terlalu lama, pekerjaan musiman dan pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru (produk tambahan yang bersifat uji coba).
"Dalam kenyataannya, hampir seluruh jenis pekerjaan yang di PKWT-kan di Blok Rokan adalah pekerjaan berlanjut dan tetap secara terus menerus yang tidak masuk dalam batasan kriteria PKWT," kata Suwandi.
Ia heran, praktik penyimpangan peraturan ketenagakerjaan itu dibiarkan terus berlanjut tanpa ada upaya pemerintah (Disnaker dan Kemenaker) serta PT PHR untuk memperbaikinya.
"Aneh, begitu telanjang aturan dilanggar. Tapi kesannya terjadi pembiaran," tegas Suwandi.
Ketua Gerakan Massa Buruh (Gemuruh) Riau ini juga menilai, praktik kontrak per 3 bulan dan 6 bulan menjadi pemicu psikologi para pekerja di Blok Rokan menjadi lebih. Ia menghubungkannya dengan kasus kematian 5 pekerja secara beruntun di Blok Rokan dalam 5 bulan terakhir. Puncaknya pada 17 November hingga 20 November lalu, 3 pekerja meninggal di lokasi kerja.
Suwandi menegaskan, reformasi total ketenagakerjaan di Blok Rokan harus segera dilakukan. Ia meminta pemerintah dan PT PHR tak hanya jor-joran berkampanye soal peningkatan produksi (lifting) minyak, namun pada sisi lain mengabaikan perlindungan tenaga kerjanya.
"Kebijakan upah murah tanpa kepastian yang identik dengan perbudakan modern ini harus dihentikan, sebelum lebih banyak korban yang jatuh di ladang minyak Blok Rokan," tegas Suwandi.
Direktur Utama PT Pertamina Hulu Rokan (PHR) Jaffee Arizon Suardin telah dikonfirmasi ikhwal pernyataan buruh ini. Namun ia belum memberikan penjelasan hingga berita ini diterbitkan. (*)