Kasus Investasi Gagal Bayar, 4 Kakak Beradik Salim Segera Diadili di PN Pekanbaru
SM News, Pekanbaru - Kasus dugaan investasi gagal bayar yang populer dengan nama kasus investasi Fikasa Grup segera akan disidangkan di Pengadilan Negeri Pekanbaru. Sebanyak 4 orang terdakwa dari keluarga Salim yang diduga merupakan kerabat kakak beradik menjadi pesakitan dalam kasus yang sempat menghebohkan jagat hukum di Tanah Air.
Perkara ini pengusutannya dilakukan oleh Polda Metro Jaya/ Bareskrim Mabes Polri. Berkas penuntutan dituntaskan oleh Kejaksaan Agung yang kemudian dilimpahkan ke Kejari Pekanbaru.
Adapun keempat terdakwa dalam kasus investasi ini yakni Bhakti Salim alias Bhakti yang merupakan Direktur Utama PT Wahana Bersama Nusantara sekaligus juga Direktur Utama PT Tiara Global Propertindo. Terdakwa lain yakni Agung Salim alias Agung sebagai Komisaris Utama PT Wahana Bersama Nusantara.
Terdakwa ketiga yakni Elly Salim alias Elly selaku Direktur PT Wahana Bersama Nusantara sekaligus Komisaris PT Tiara Global Propertindo. Seorang terdakwa lain dari keluarga Salim yakni Christian Salim selaku Direktur PT Tiara Global Propertindo.
Ada seorang terdakwa lain yang ikut dijerat dalam berkas perkara berbeda yakni Maryani selaku marketing PT Wahana Bersama Nusantara merangkap marketing PT Tiara Global Propertindo.
Dalam situs SIPP Pengadilan Pekanbaru perkara ini terdaftar dalam nomor registrasi: 1170/Pid.Sus/2021/PN.Pbr tanggal 12 November 2021 lalu. Adapun jadwal sidang perdana perkara yang ditangani oleh jaksa penuntut Lastarida Sitanggang SH ini, akan digelar pada Senin (22/11/2021) mendatang.
Dalam situs itu belum dicantumkan majelis hakim yang akan mengadili perkara ini. Namun dikabarkan kasus ini akan dipegang langsung oleh Ketua Pengadilan Negeri Pekanbaru, Dr Dahlan SH, MH.
Dalam ringkasan surat dakwaan yang dimuat di situs SIPP PN Pekanbaru, keempat terdakwa dikenakan 3 pasal dakwaan. Yang pertama yakni dakwaan pasal 46 ayat 1 Undang-undang nomor 10 tahun 1998 tentang Perubahan atas UU nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan.
Adapun ancaman hukumannya yakni sekurang-kurangnya 5 tahun dan paling lama 15 tahun penjara serta denda sekurang-kurangnya Rp 10 miliar dan paling banyak Rp 200 miliar.
Dakwaan kedua yakni pasal 378 jo pasal 64 ayat 1 jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana. Sementara dakwaan ketiga yakni pasal 372 jo pasal 64 ayat 1 jo pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHPidana.
Dalam ringkasan surat dakwaan tersebut tidak disebutkan siapa saksi pelapor yang menjadi korban praktik investasi 'bank gelap' ini. Namun hanya disebutkan peristiwa pidana terjadi di Jalan Mawar, Kelurahan Padang Terubuk, Senapelan, Pekanbaru yang diduga merupakan kantor operasional kedua perusahaan investasi tersebut.
SM News belum dapat mengonfirmasi pihak terdakwa Bhakti Salim cs. Kontak kuasa hukumnya belum dapat diperoleh.
Janji Investasi Bunga Tinggi
Tawaran investasi berbunga tinggi kerap membuat banyak masyarakat tergiur tanpa menyadari risiko dan legalitas perusahaan pengumpul dana.
Dikutip dari situs Kontan.co.id pada Maret 2018 lalu, Grup Fikasa Raya (Fikasa) menggencarkan penawaran investasi surat sanggup bayar (promissory note). Dari temuannya, promissory note tersebut diterbitkan oleh PT Wahana Bersama Nusantara (Wahana Bersama) yang masih menjadi bagian usaha Grup Fikasa.
Wahana Bersama dipimpin oleh Bhakti Salim, putera dari Kayo Salim. Adapun Kayo Salim, awalnya merupakan salah satu pemegang saham PT Miwon Indonesia, produsen bumbu penyedap merek Mi-Won yang sudah tak asing lagi terdengar di telinga masyarakat Indonesia.
Dari tawaran investasi promissory note Grup Fikasa yang beredar di sejumlah website, Kontan.co.id mendapat cerita dari salah seorang agen penjual. Kata sang agen, program investasi ini sudah mulai ditawarkan sekitar tahun 2012 silam.
Masyarakat yang berminat, bisa menempatkan dana investasi minimal Rp 100 juta. Adapun jangka waktu penempatan bervariasi mulai dari 3 bulan hingga 12 bulan dan tentunya bisa diperpanjang. Wahana Bersama menyiapkan imbal hasil mulai dari 9% hingga 11% per tahun, dengan pembayaran bunga dilakukan tiap bulan.
Adapun investor yang tertarik dan kemudian menempatkan dana pada promissory note itu, akan mendapat bukti bilyet dan perjanjian tertulis yang ditandatangani Bhakti Salim.
Dana investasi investor masuk melalui rekening PT Bank Central Asia Tbk (BCA) milik Wahana Bersama Nusantara dengan bernomor rekening 54603xxxxx dan 54603xxxxx. Selain itu, dana juga ditampung pada rekening BCA milik Tiara Global Propertindo bernomor 23703xxxxx dan 23705xxxxx.
Sang agen menambahkan, investasi tersebut akan dikelola pada dua perusahaan terbuka milik Grup Fikasa, yakni PT Tri Banyan Tirta Tbk (ALTO) dan PT Saraswati Griya Lestari Tbk (HOTL). Pada kedua emiten itu, Bhakti Salim pun menjabat sebagai Direktur Utama. “Proyek yang baru selesai itu hotel Renaissance Bali, yang dibiayai dari program ini,” terang sang agen, Maret 2018 lalu.
Dari hasil menjajakan promissory note, sang agen mengaku mendapat komisi sebesar 2% dari nilai penempatan dana investor yang direkrutnya. Sang agen pun masih akan mendapat tambahan fee sebesar 0,5%, apabila investor yang telah direkrutnya, bisa menarik investor baru lainnya.
Sayangnya sang agen tidak bisa menunjukkan apakah promissory note tersebut sudah mengantongi izin dari Bank Indonesia (BI). Sebab sesuai Peraturan Bank Indonesia No.19/9/PBI/2017 tentang Penerbitan dan Transaksi Surat Berharga Komersial di Pasar Uang, terutama pada pasal 8, diterangkan bahwa surat berharga komersial baik yang diterbitkan sekali atau berkelanjutan, wajib memperoleh persetujuan pendaftaran dari BI.
Selanjutnya pada pasal 4 Peraturan BI tersebut juga menegaskan pembelian surat berharga komersial oleh investor ditetapkan minimal sebesar Rp 500 juta. Adanya ketentuan pembatasan minimal pembelian merupakan cara regulator untuk menjaring investor yang benar-benar paham risiko investasi (qualified investor).
Saat itu, Kontan.co.id sudah mengonfirmasi Nanang Hendarsah, Kepala Departemen Pendalaman Pasar Keuangan BI. Ia menyatakan memang benar promissory note diatur dan diawasi lembaganya. Namun Nanang belum bisa memastikan status promissory note Wahana Bersama.
"Terima kasih infonya. Akan kami tindaklanjuti," tutur Nanang tiga tahun lalu.
Sekadar catatan, pada 2 Mei 2014 silam PT Bursa Efek Indonesia (BEI) sempat menghentikan sementara (suspensi) perdagangan saham PT Tri Banyan Tirta Tbk dan PT Saraswati Griya Lestari Tbk. Hal itu terjadi karena BEI menemukan ada promissory note dan medium term note (MTN) yang diterbitkan atas nama kedua perusahaan itu namun tidak dicatatkan pada laporan keuangan masing-masing perusahaan.
Kala itu, manajemen kedua perusahaan menjelaskan bahwa dana hasil penerbitan promissory note dan MTN tidak dipakai oleh kedua perusahaan. Justru dana itu dipakai oleh induk usahanya masing-masing, yang merupakan penerbit asli promissory note dan MTN. Induk usaha HOTL tak lain adalah PT Tiara Global Propertindo dan induk usaha ALTO adalah PT Wahana Bersama Nusantara. (*)