8 Fakta Mengejutkan Kasus Suap APBD Annas Maamun, Nomor 6 Mirip Adegan Mafia
SabangMerauke News, Pekanbaru - Mantan Gubernur Riau, Annas Maamun kembali bikin berita heboh. Diam-diam, ia menggugat praperadilan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 24 Maret 2022 lalu.
Gugatan bertujuan untuk meminta majelis hakim membatalkan status hukum tersangka korupsi yang ditetapkan KPK sejak 2015 lalu. Annas turut mengalibikan umurnya yang sudah uzur, yakni 82 tahun agar status tersangka itu dinyatakan tidak sah oleh hakim.
BERITA TERKAIT: Mantan Gubernur Riau Annas Maamun Gugat KPK, Status Tersangka Suap APBD 6 Tahun Lalu Minta Digugurkan
Mantan Ketua DPD I Partai Golkar Riau ini menjadi tersangka KPK dalam kasus dugaan suap pembahasan APBD Perubahan Riau 2014 dan APBD 2015.
Bagaimana konstruksi kasus suap yang terjadi hampir 8 tahun silam itu? Berikut penelusuran SabangMerauke News yang diperoleh dari telaah putusan hukum mantan Ketua DPRD Riau, Johar Firdaus yang telah menjadi narapidana dalam kasus ini. Johar beberapa hari lalu sudah dinyatakan bebas dan dilepaskan dari lembaga permasyarakatan.
1. Pembahasan APBD Super Kilat Jelang Habis Masa Jabatan Dewan
Dugaan suap terhadap sejumlah anggota DPRD diberikan terkait pengesahan dua anggaran, yakni APBD Perubahan 2014 dan APBD 2015. Pengesahan kedua APBD tersebut berlangsung secara kilat, meski diduga kuat tanpa pembahasan dan kelengkapan dokumen rencana anggaran.
Meski tanpa proses pembahasan, namun dokumen nota kesepakatan Kebijakan Umum Anggaran (KUA) R-APBD 2015 diteken oleh Johar Firdaus, Noviwaldy Jusman dan Rusli Ahmad. Hal yang sama juga dilakukan terhadap dokumen Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara (PPAS) R-APBD 2015.
Dua hari sebelum masa jabatan anggota Dewan berakhir, tepatnya 4 September 2014, APBD Riau tahun 2015 pun disahkan.
2. Annas Kumpulkan Uang Suap Rp 1,2 Miliar
Berdasarkan berkas 3 putusan hukum (tingkat pertama, banding dan kasasi) perkara Johar Firdaus, terungkap kalau para anggota DPRD mendapat suap dengan total Rp 1,2 miliar. Namun, tidak diketahui secara pasti apakah semua uang itu sampai ke tangan sejumlah para wakil rakyat.
Dalam berkas tersebut disebutkan kalau Annas ingin agar APBD Perubahan 2014 segera disahkan. Termasuk satu paket di dalamnya yakni pengesahan APBD tahun 2015. Namun, proses pembahasan di DPRD tak semulus yang ia harapkan. Sebagian kecil anggota Dewan protes dan menolak membahas anggaran.
Pada tanggal 1 September 2014, Annas pun mengumpulkan sejumlah pejabat teras Pemprov Riau yang merupakan tim anggaran pemerintah daerah (TAPD). Dalam dakwaan Johar disebutkan pertemuan itu dihadiri Sekdaprov Zaini Ismail selaku Ketua Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD), Asisten Bidang Ekonomi Pembangunan Wan Amir Firdaus, Asisten Administrasi Umum Hardi Djamaluddin, Kepala Bappeda Yafiz dan Kepala BPBD Said Saqlul Amri serta sejumlah pejabat lainnya.
Keterangan tersebut disampaikan oleh Suwarno yang ikut dalam pertemuan. Suwarno kala itu menjabat Kasubag Anggaran Biro Keuangan Setdaprov Riau.
Usai berbincang soal kendala pembahasan anggaran, Annas mengemukakan rencana pemberian uang sebesar Rp 1,2 miliar kepada Badan Anggaran DPRD Riau. Soalnya, Dewan tak kunjung mengesahkan APBD yang diajukan Pemprov dengan beragam alasan.
3. Pinjam Uang Karhutla BPBD Riau
Untuk memenuhi kebutuhan uang tersebut, Annas meminta agar Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah, Said Saqlul Amri menyiapkan uang sebesar Rp 500 juta. Saqlul kemudian mengaminkan permintaan Annas tersebut. Kebetulan ada saldo dana pemadaman kebakaran lahan dan hutan sebesar Rp 1 miliar.
Ia lantas memerintahkan anak buahnya untuk mencairkan uang dan mengambil sebesar Rp 500 juta, selanjutnya diserahkan kepada Suwarno. Suwarno menolak karena uang belum dikemas dalam masing-masing amplop dengan isi variatif Rp 20 juta, Rp 15 juta dan Rp 10 juta, sesuai permintaan Annas. Belakangan Said dalam kesaksiannya menyerahkan uang melalui Wan Amir Firdaus di kediaman gubernur Annas.
Beberapa hari kemudian uang itu dikembalikan oleh Annas. Namun, dari pinjaman Rp 500 juta, uang yang dikembalikan hanya Rp 400 juta. Sebesar Rp 300 juta diserahkan oleh Annas dan Rp 100 juta lagi diserahkan oleh Wan Amir. Sisa sebesar Rp 100 juta, Said mengklaim mengganti dengan uang pribadinya.
Menurut Said, kewajiban menutupi kekurangan Rp 100 juta harusnya ditalangi Zaini Ismail. Namun Zaini tak kunjung menyerahkan uang, hingga dirinya sendiri yang 'menombokinya'. Said mengklaim kalau uang pinjaman Anas untuk menyuap anggota Dewan sudah dikembalikannya ke kas BPBD Riau.
Terkait pengembalian uang kepada Said Saqlul, Zaini mengaku pernah dipanggil oleh Annas Maamun. Annas ingin meminjam uangnya sebesar Rp 200 juta. Kata Annas, uang akan dipakai untuk mengembalikan uang Said Saqlul sebesar Rp 200 juta. Namun, Zaini hanya punya uang Rp 50 juta.
Zaini juga meminta agar Ayub Khan yang merupakan Kepala Biro Umum menyiapkan uang Rp 50 juta lagi. Total uang Rp 100 juta tersebut kemudian dipegang oleh Ayub Khan dan diserahkan ke Wan Amir. Zaini pernah menghubungi Wan Amir untuk menanyakan apakah sudah menerima uang tersebut dari Ayub Khan.
"Wan Amir menjawab sudah, namun hanya Rp 50 juta dan masih kurang Rp 100 juta lagi. Kemudian Wan Amir meminta saksi (Zaini, red) untuk memikirkan sisanya," kata Zaini dalam keterangannya di berkas perkara.
4. Uang Operasional PMI Riau Ikut Dipakai
Sementara untuk memenuhi kebutuhan uang yang masih kurang, Annas juga disebut menelepon Syahrir Abu Bakar yang merupakan Ketua Palang Merah Indonesia (PMI) Riau. Kepada Syahrir, Annas ingin meminjam uang sebesar Rp 500 juta. Syahrir yang memanggil Annas dengan sebutan 'Ayah' menyanggupi permintaan Annas tersebut.
Syahrir mengecek dana tunai yang disimpan di rumahnya hanya sebesar Rp 205 juta. Syahrir pun berinsiatif mencari tambahan uang sebesar Rp 195 juta agar uang genap Rp 400 juta.
Kekurangan uang diperoleh Syahrir dari dana kas PMI Riau. Ia meminta stafnya untuk mencairkan uang sebesar Rp 195 juta. Uang itu semestinya dipakai untuk operasional dan membayar gaji pegawai PMI Riau.
Esoknya pada 1 September 2014, Syahrir yang saat ini menjabat Ketua DPH LAM Riau ditelepon oleh Annas. Annas menagih uang yang dipinjamnya dan menyuruh mengantarkan uang ke kediaman. Namun Syahrir menyatakan kalau uang yang ada cuma Rp 400 juta.
"Ya, ga apa-apa. Sudah cukup itu. Diantar saja kemari," kata Syahrir saat dihubungi Annas lewat telepon, sebagaimana keterangannya tertulis dalam berkas perkara.
Uang pun diantar yang sebelumnya sudah dibagi dalam 20 amplop, masing-masing berisi Rp 20 juta. Rekonstruksi penyerahan uang sudah digelar penyidik KPK pada 21 September 2015 lalu.
Syahrir mengaku sepekan kemudian, uang yang dipinjamkannya langsung dikembalikan oleh Annas. Tahap pertama sebesar Rp 300 juta diberikan di kediaman Gubernur Annas. Sementara sisanya dibayar melalui anak Annas di Jakarta sebesar Rp 100 juta pada November 2014.
5. Pinjam Uang ke Kabiro Keuangan Jonli
Ada lagi perintah penyediaan uang sebesar Rp 110 juta dari Annas yang ditujukan ke Biro Keuangan. Melalui Suwarno permintaan uang tersebut kemudian disampaikan ke Kepala Biro Keuangan, Jonli. Jonli kini menjabat sebagai Kepala Dinas Tenaga Kerja Transmigrasi (Kadisnakertrans) Provinsi Riau.
Dalam keterangannya di berkas perkara, Jonli mengaku pernah ditelepon oleh Suwarno perihal permintaan Annas untuk menyiapkan uang sebesar Rp 110 juta dari Biro Keuangan. Namun, Jonli mengaku sedang berada di Batam dan meminta Suwarno berkoordinasi dengan Hardi Djamaludin, Asisten III Setdaprov.
Suwarno menyatakan permintaan uang adalah perintah Annas. Akhirnya, Jonli pun mengizinkan pinjaman tersebut yang dicairkan lewat bendahara Biro Keuangan. Perihal pengembalian pinjaman sebesar Rp 110 juta ini, tidak tercantum dalam berkas perkara.
6. Transaksi Penyerahan Uang di Basement Parkir DPRD Riau
Uang 'pinjaman' yang ditagih dari Said Saqlul, Syahrir Abu Bakar dan Biro Keuangan pun akhirnya terkumpul pada 1 September 2014 sore. Suwarno ditelepon oleh Wan Amir untuk datang ke kediaman Gubernur Annas. Ia diperintah mengantarkan uang yang diduga berjumlah Rp 1,2 miliar ke anggota Banggar DPRD, Kirjuhari.
"Pintar-pintarlah, kalau perlu (diserahkan, red) di tempat jalan sepi," demikian nasihat Annas sebelum pengantaran uang oleh Suwarno ke Kirjuhari.
Suwarno pun berangkat didampingi anggota Satpol PP Burhanudin. Mereka mengontak Kirjuhari yang nomornya diberikan oleh Wan Amir.
Transaksi gelap itu pun berlangsung di basement parkiran gedung DPRD Riau usai magrib. Uang berpindah ke bagian belakang mobil Yarris yang dikendarai Kirjuhari. Mereka pun bubaran. Duit dibawa oleh Kirjuhari dan esoknya dilaporkan ke Johar Firdaus.
7. Janji Pinjam Pakai Mobil Dinas DPRD
Di gedung DPRD Riau, sejumlah wakil rakyat juga bergerak kencang dengan membentuk Tim Penghubung Informal antara DPRD dengan Annas Maamun.
Adapun anggota tim ini berdasarkan berkas putusan terdiri dari Suparman, Azmi Setiadi (PAN), Zukri (PDI Perjuangan), Koko Iskandar (Demokrat), Kirjuhari serta Riki Hariansyah.
Pembicaraan berkembang di internal DPRD Riau dan Tim Penghubung soal 'lagu permintaan' kepada Annas Maamun. Bahkan, dalam rapat di ruang komisi B DPRD Riau tersebut, seluruh anggota Dewan yang hadir diperintahkan untuk mencopot baterai handphone masing-masing.
Rupanya, sejumlah anggota DPRD Riau yang tidak terpilih dalam pileg 2014 ingin tetap mendapatkan mobil dinas yang akan dipinjam pakai saat menjabat. Harapannya kelak, mobil itu tetap mereka kuasai dan miliki. Dan jika pun dilakukan lelang, mereka akan mendapatkan secara prioritas mobil tersebut.
Belakangan setelah kasus ini terungkap, sejumlah anggota DPRD ramai-ramai mengembalikan mobil dinas yang masih mereka kuasai, meski tidak lagi menjabat sebagai anggota DPRD Riau.
8. Ada Istilah Paket '50 dan 60 Hektar'
Tak hanya soal penguasaan mobil dinas, pembicaraan di internal DPRD serta Tim Penghubung DPRD juga menyinggung soal uang sagu hati pengesahan APBD Perubahan 2014 dan APBD 2015. Beredar istilah '50 dan 60 hektar sawit' yang diduga kuat bermakna uang Rp 50 juta dan 60 juta.
Sebelumnya, juga ada pembicaraan soal janji pembagian uang sebesar Rp 200 juta secara terbatas kepada sejumlah anggota DPRD Riau. Belakangan, hasil pembicaraan uang berubah menjadi kisaran Rp 40 juta dan Rp 50 juta.
Penyidik KPK dalam dakwaannya, mengaitkan hal tersebut dengan usaha pengumpulan uang yang digalang oleh Annas Maamun. Dalam sebuah pertemuan, Annas menyatakan kepada sejumlah anak buahnya akan ada pemberian uang sebesar Rp 1,2 miliar kepada anggota DPRD Riau. Duit itu dibagi untuk memperlancar pengesahan APBD 2015.
Dalam putusan tersebut diterangkan kalau Annas meminta anak buahnya untuk bergotong royong mengumpulkan uang yang akan diberikan kepada anggota Dewan. Hingga akhirnya terkumpul sekitar Rp 1,2 miliar. Uang itu dikumpulkan secara patungan dan sistem peminjaman dari kas operasional sejumlah perangkat (SOTK) dan organisasi bentukan Pemprov Riau.
Belakangan, sebelum pengesahan APBD tahun 2015 tepatnya 1 September 2014 sekitar pukul 4 sore, Annas memerintahkan Wan Amir Firdaus untuk mengantarkan uang sebesar Rp 1,2 miliar kepada Kirjuhari. Wan Amir memanggil anak buahnya Suwarno. Lewat Suwarno uang diantar kepada Kirjuhari.
Penerimaan uang titipan dari Annas Maamun dilaporkan Kirjuhari pada 2 September 2015 kepada Johar Firdaus. Johar meminta agar uang disimpan lebih dulu.
Dalam putusan kasasi disebutkan kalau Johar menerima uang sebesar Rp 155 juta dari Riki. Sejumlah anggota DPRD lain disebut menerima aliran uang diduga suap tersebut. Meski para mantan wakil rakyat telah membantahnya, tapi KPK diduga telah memiliki informasi yang cukup soal pihak-pihak yang menerima uang dan janji dari Annas Maamun. (*)