Nilai Vonis Hakim Tidak Tepat, Terdakwa Fikasa Grup Langsung Banding!
SabangMerauke News, Pekanbaru - Penasihat hukum terdakwa promissory note Fikasa Grup menilai vonis yang dibacakan oleh majelis hakim diketuai Dr Dahlan SH, MH terhadap kliennya tidak tepat. Vonis hukuman 14 tahun tersebut sama persis dengan tuntutan yang diajukan oleh jaksa.
Tanpa mengulur waktu, tim penasihat hukum Fikasa Grup langsung menyatakan banding.
"Kami mengajukan banding, Yang Mulia," kata Syafardi SH, MH selaku tim kuasa hukum Bhakti Salim dkk di Pengadilan Negeri Pekanbaru, Selasa (29/3/2022).
Usai persidangan yang berlangsung malam tadi, tim penasihat hukum menyatakan keputusan banding dari putusan hakim tidak memberikan keadilan kepada para terdakwa yang meyakini kasus ini adalah murni perkara perdata.
"Kami dan klien kami yakin 100 persen bahwa perkara ini murni perdata," kata Ade Palti Simamora SH, anggota tim penasihat hukum Bhakti Salim dkk.
Ia menegaskan, putusan hakim tidak menimbang dan memahami dengan baik substansi perjanjian promissory note yang merupakan perjanjian perdata yang berlaku dan telah disepakati bersama antara kreditur debitur. Padahal kata Ade Palti, atas dasar perjanjian dalam promissory note tersebut, para pelapor perkara ini telah menerima bunga uang sebagai penerimaan hasil dari perjanjian pokok promissory note.
"Putusan hakim tidak menimbang secara utuh kalau promissory note adalah perjanjian yang telah disepakati bersama. Bagaimana sebuah perjanjian surat sanggup (promissory notes) dapat dikategorikan menyerupai simpanan? Apakah dunia bisnis di Indonesia yang mengeluarkan perjanjian surat sanggup (promissory notes) dianggap semuanya melanggar pasal 46 ayat 1 UU Perbankan dan harus dipidanakan? Apalagi sudah ada keputusan sebulan yang lalu oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan atas penerbitan promisorry notes PT Indosterling yang ditetapkam sebagai perkara perdata. Ditambah lagi terbukti adanya penerimaan bunga oleh pelapor. Hal ini menunjukkan keanehan dalam keputusan dari majelis hakim Pekanbaru. Ada apa dibalik keputusan ini,? tegas Ade Palti.
Selain itu, tim penasihat hukum juga menilai perhitungan hakim dalam putusan soal jumlah uang pelapor sebesar Rp 84,9 miliar tidak tepat. Soalnya, menurut terdakwa jumlah uang pelapor hanya sebesar Rp 80 miliar, berdasarkan pencatatan dana yang dibuktikan oleh terdakwa melalui penasihat hukum.
"Jumlah uang pelapor dalam putusan hakim tidak diperhitungkan dengan baik," tegas Ade Palti.
Ia juga menjelaskan soal dilakukannya penggabungan perkara perdata dengan pidana sesuai pasal 98-101 KUHPidana yang tidak dilaksanakan sesuai kaidah hukum yang berlaku. Padahal saksi pelapor telah mendaftarkan diri untuk ikut dalam perjanjian perdamaian homologasi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Hal ini menurut Ade Palti, menunjukkan ketidakmampuan majelis hakim Pengadilan Negeri Pekanbaru untuk mengetahui permasalahan perkara perdata ini.
"Apakah keputusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat akan diabaikan oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Pekanbaru? " ujar Ade Palti lagi.
Selain itu, Ade Palti menilai jumlah ganti rugi melebihi yang dituntut para pelapor, seakan memperlihatkan adanya keanehan dalam keputusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Pekanbaru.
"Putusan majelis hakim tersebut akan menjadi preseden buruk dalam dunia bisnis di Indonesia. Kasus ini akan mengguncang dunia bisnis. Ketika perkara perdata dipaksakan ke ranah hukum pidana," kata Ade Palti.
Ia menjelaskan kalau kliennya tidak akan berputus asa atas putusan hakim tersebut. Segala upaya hukum akan dilakukan untuk mendapatkan keadilan yang hakiki.
"Kami akan terus memperjuangkan hak hukum klien kami dari kriminalisasi perkara perdata yang telah terjadi. Padahal, klien kami telah menempuh upaya perdamaian (homologasi) berdasarkan putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat pada tahun 2020 lalu," pungkas Ade Palti. (*)