Mengenal Istilah 'Amicus Curiae', Sahabat Pengadilan yang Diserahkan Mahasiswa ke Hakim Kasus Asusila Dekan FISIP Unri
SabangMerauke News, Pekanbaru - Korps Mahasiswa Hubungan Internasional (Komahi) menyerahkan 'amicus curiae' kepada majelis hakim yang menangani kasus dugaan asusila Dekan FISIP Unri di PN Pekanbaru, Selasa (29/3/2022). Berkas setebal 17 halaman itu, disusun oleh Institute for Criminal Justice Reform (IJCR).
Penyerahan 'amicus curiae' dilakukan mahasiswa karena majelis hakim menunda sidang pembacaan putusan yang harusnya digelar Selasa kemarin. Hakim beralasan masih harus bermusyawarah dan menambah referensi untuk merumuskan putusan. Sidang putusan baru akan digelar hari ini, Rabu (30/3/2022) dijadwalkan pukul 10 pagi.
Sebenarnya, apa itu 'amicus curiae'?
Secara harfiah 'amicus curiae' diterjemahkan sebagai teman atau sahabat pengadilan. Ia adalah seorang atau institusi yang bukan merupakan pihak berperkara, namun dapat jika diminta atau tidak diminta oleh suatu pihak, membantu pengadilan dalam bentuk informasi, keahlian atau wawasan hukum. Tentu saja, bantuan tersebut memiliki hubungan terkait dengan isu perkara hukum yang sedang berlangsung di pengadilan.
Meski demikian, hakim bebas untuk mempertimbangkan atau tidak mempertimbangkan 'amicus curiae' dalam putusannya.
Berdasarkan informasi yang dirangkum SabangMerauke News dari beragam sumber, istilah 'amicus curiae' umumnya dikenal dalam negara yang menggunakan sistem common law. Praktik ini lazim terjadi di Inggris maupun Amerika Serikat serta negara yang menerapkan sistem hukum common law.
Sementara, di negara-negara yang menganut sistem civil law, khususnya yang berpaham hukum eropa kontinental seperti di Indonesia, 'amicus curiae' jarang ditemukan. Namun, perkembangan hukum saat ini tak menutup kemungkinan diajukannya 'amicus curiae' ke meja persidangan hakim.
Misalnya saja dalam kasus jurnalis Upi Asmaradhana. Termasuk juga dalam perkara peninjauan kembali kasus Majalah Time melawan Presiden Soeharto.
Dalam kasus praperadilan surat ketetapan penghentian penuntutan (SKPP) mantan pimpinan KPK yang dikenal dengan kasus Bibit-Chandra, juga ada yang mengajukan 'amicus curiae'. Juga dalam perkara penggusuran Papanggo, Jakarta Pusat, sebuah lembaga swadaya masyarakat (LSM) asing bertindak sebagai 'amicus curiae'.
Sejumlah pihak menyebut kalau 'amicus curiae' ada terkandung dalam Undang-undang nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Dalam pasal 5 ayat 1 undang-undang tersebut berbunyi: “Hakim dan Hakim Konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.”
Ada juga yang menilai kalau penerapan 'amicus curiae' telah diadopsi dalam persidangan di Mahkamah Konstitusi. Ini ditandai dengan diizinkannya pihak ketiga yang berkepentingan mendaftarkan diri dan memberikan pendapat dalam sebuah pengujian undang-undang yang diajukan oleh orang lain.
Kita lihat saja besok, apakah majelis hakim Pengadilan Negeri Pekanbaru yang diketuai oleh Estiono akan mempertimbangkan 'amicus curiae' yang diajukan oleh Komahi FISIP Unri.
Adapun kesimpulan pokok dari 'amicus curiae' tersebut dituangkan dalam 17 halaman kertas. Poin pentingnya yakni meminta majelis hakim untuk menjatuhkan pidana yang proporsional sesuai dengan perbuatan terdakwa yang memenuhi unsur-unsur pasal 289 atau 294 ayat (2) KUHPidana.
Selain itu, 'amicus curiae' yang diajukan juga memberikan analisis gender sesuai dengan PERMA nomor 3 tahun 2017, sehingga dapat membantu majelis hakim dalam pertimbangannya, tidak menyalahkan atau menyudutkan korban dan majelis dapat menolak pembelaan dari penasihat hukum terdakwa yang menggali riwayat hidup korban dengan narasi yang merendahkan korban.
Naskah 'amicus curiae' tersebut juga berkaitan dengan harapan agar hakim dapat memahami kekerasan dengan hati-hati. Meskipun tidak ada kekerasan secara fisik, akan tetapi kekerasan psikologis dialami oleh korban. Dalam 'amicus curiae' ini juga menjelaskan tentang ketimpangan relasi kuasa antara korban dengan terdakwa.
Dekan FISIP Universitas Riau, Syafri Harto dituntut hukuman 3 tahun penjara dalam kasus dugaan asusila di Pengadilan Negeri Pekanbaru, Senin (21/3/2022). Jaksa menuntut Syafri dengan dakwaan primer yakni pasal 289 KUHPidana.
Selain itu, jaksa juga meminta majelis hakim yang diketuai Estiono agar menghukum Syafri membayar uang kerugian yakni restitusi sebesar Rp 10,7 juta. Jumlah tersebut berdasarkan perhitungan dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Dana restitusi tersebut sebagai biaya pemulihan trauma korban mahasiswi LB.
Syafri Harto menilai tuntutan jaksa tersebut terlalu dipaksakan. Jaksa tidak menjadikan fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan sebagai dasar tuntutan.
"Terlalu dipaksakan perkara ini. Saya yakin tidak bersalah. Saya masih yakin ada keadilan untuk saya," kata Syafri Harto saat akan dibawa ke mobil tahanan.
Syafri berharap agar proses hukum yang berlangsung tetap independen, tanpa terpengaruh oleh tekanan apapun.
Syafri menjadi pesakitan kasus dugaan asusila yang dituduhkan oleh pelapor mahasiswi LB yang merupakan mahasiswi bimbingan skripsinya pada Oktober lalu. LB mengaku kalau dirinya dipaksa dicium bagian pipinya.
Kasus ini membuat heboh dunia pendidikan di Tanah Air. Sempat berhembus isu kalau kasus ini terkait dengan suksesi Rektor Unri yang akan habis masa jabatan pertengahan tahun 2022 ini.
Saat dalam penyidikan di Polda Riau, Syafri tidak dilakukan penahanan. Namun ketika perkara dinyatakan lengkap dan dilimpahkan ke Kejati Riau, Syafri yang disebut-sebut calon kuat Rektor Universitas Riau ini dilakukan penahanan, hingga sampai tahap persidangan saat ini. (*)