Sekolah Kedinasan Sedot Rp 32 Triliun, Kampus Negeri Cuma Kecipratan Rp 7 Triliun: Pantas Uang Kuliah Mahasiswa PTN Naik Meroket!
SABANGMERAUKE NEWS, Riau - Terungkap fakta betapa jomplangnya kucuran anggaran pembiayaan antara sekolah kedinasan yang tersebar di sejumlah kementerian dan lembaga dengan perguruan tinggi negeri (PTN) di bawah Kemendikbud Ristek. Bagai langit dengan bumi, dana pendidikan untuk sekolah kedinasan jumlahnya hampir lima kali lipat dibanding yang diterima PTN.
Fakta itu diungkap oleh mantan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) 2014-2019 Prof Mohamad Nasir dalam rapat dengar pendapat Panitia Khusus yang dibentuk Komisi X DPR RI disiarkan YouTube TV Parlemen, Selasa (2/7/2024).
Nasir menyebut, hasil studi yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menunjukkan alokasi anggaran perguruan tinggi di bawah Kemendibd Ristek hanya sebesar Rp 7 triliun. Sementara kucuran anggaran perguruan tinggi sekolah kedinasan mencapai Rp 32 triliun.
"Ini nggak rasional, mohon maaf," ucap Nasir.
Nasir menyatakan, alokasi dana pendidikan yang timpang itu menjadi salah satu penyebab munculnya gejolak soal Biaya Kuliah Tunggal (BKT) dan Uang Kuliah Tunggal (UKT). Protes dan demonstrasi digencarkan mahasiswa kampus negeri di seluruh wilayah Indonesia bukan lalu, menolak kenaikan UKT yang dibebankan oleh pengelola PTN.
Ia menjelaskan, tarif pendidikan tertinggi pada program studi Strata Satu (S1) di PTN yang berasa bawah Kemendikbud Ristek, misalnya Universitas Gadjah Mada (UGM) pada tahun akademik 2019 sebesar Rp 52 juta per tahun. Sementara di Institut Teknologi Bandung (ITB) biaya pendidikan mencapai Rp 40 juta per tahun.
Sementara, berdasarkan data KPK pada tahun 2018, biaya kuliah di sekolah kedinasan Kementerian Perhubungan yang jumlahnya hanya sebanyak 964 mahasiswa aktif, menghabiskan anggaran sebesar Rp 356 miliar. Itu artinya, biaya kuliah per mahasiswa sekolah kedinasan Kementerian Perhubungan mencapai Rp 369 juta per tahun untuk tiap mahasiswanya.
Dengan data dan angka tersebut, Nasir meminta perlu dilakukan sinkronisasi penggunaan belanja pendidikan antara kampus di bawah Kemendikbud Ristek dengan sekolah kedinasan yang dikelola Kementerian/ Lembaga.
"Saran kami adalah perlu disinkronkan. Duduk bareng, lah bahasanya. Mungkin menyangkut pada kementerian-kementerian lain yang urusannya adalah pendidikan. Perlu ada pertanggungjawaban yang jelas soal penganggaran pendidikan di kementerian yang mengurusi pendidikan dengan Kementerian/Lembaga lainnya," kata Nasir.
Timpang Capaian Pendidikan
Nasir melanjutkan, dukungan anggaran pendidikan tinggi yang tidak memadai akan berdampak pada capaian pembelajaran (learning outcomes).
Ia mencontohkan tarif pendidikan tertinggi kampus Asia Tenggara pada 2019 bagi mahasiswa internasional di Nanyang Technological University (NTU) sebesar Rp 759,3 juta per tahun. Adapun di Universiti Malaya sebesar Rp 448,8 juta per tahun. Sedangkan di Institut Teknologi Bandung (ITB) hanya sebesar Rp 40 juta per tahun.
"Indonesia sangat rendah semua karena kemampuan (membayar) dan semuanya yang tidak memungkinkan laboratorium dan sebagainya, ini sangat berbeda sekali. Ini yang menjadi permasalahan yang harus kita hadapi, mungkin di dalam masalah bagaimana penganggaran yang ada itu harus kita lihat," ucapnya.
Ia mengatakan, diperlulan peningkatan Bantuan Operasional Pendidikan PTN (BOPTN). BOPTN membiayai kekurangan atau selisih antara BKT dan UKT yang mampu dibayar mahasiswa.
"BKT termasuk honorarium pengajar, sarana perkuliahan, sarana penunjang, laboratorium, penelitian, pengabdian, dan penunjang lainnya. Kelebihan beban dosen ini harus dibayarkan dari BKT," ucapnya. (R-02)