Kredit Global Rp 4.394 Triliun Mengalir ke Perusahaan Perusak Lingkungan, 2 Raksasa di Indonesia Disebut
SABANGMERAUKE NEWS, Jakarta - Sekitar US$ 1,257 triliun (setara Rp 19.842 triliun) kredit global mengalir ke grup-grup perusahaan di sektor yang berisiko terhadap ekosistem dan iklim.
Hal itu diungkap sejumlah organisasi masyarakat sipil di Uni Eropa dalam laporan terbarunya. Laporan menunjukkan bukti bahwa ada penandatanganan Perjanjian Paris pada akhir 2015.
Laporan berjudul EU Bankrolling Ecosystem Destruction itu menganalisis data yang disusun lembaga riset Profundo dan dirilis Greenpeace International, Friends of the Earth Belanda, dan sejumlah organisasi masyarakat sipil di Uni Eropa.
Berdasarkan riset itu, seperlima dari kredit global itu, atau setara Rp 4.394 triliun berasal dari lembaga-lembaga keuangan di 27 negara anggota Uni Eropa.
Pendanaan tersebut mengalir ke 135 perusahaan pemain utama di sektor yang berisiko terhadap lingkungan seperti kedelai, peternakan, kelapa sawit, karet, kayu, dan komoditas lain yang berpotensi tinggi merusak ekosistem.
Perusahaan-perusahaan besar dari berbagai negara, seperti JBS (Brasil), Cargill (Amerika Serikat), hingga dua grup bisnis besar Indonesia, Royal Golden Eagle dan Sinarmas, turut disebut dalam laporan sebagai penerima dana dari lembaga keuangan Uni Eropa.
Organisasi masyarakat sipil menyoroti komitmen iklim Uni Eropa terkait temuan itu. Di satu sisi, Uni Eropa memiliki kebijakan anti-deforestasi. Namun di sisi lain lembaga-lembaga keuangan mereka masih mengalirkan kredit dan berinvestasi ke perusahaan yang berpotensi merusak lingkungan.
Manajer Kampanye Hutan dan Kebun Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Uli Arta Siagian mengatakan lembaga keuangan di Indonesia juga perlu berefleksi dari laporan ini, mengingat kebijakan keuangan berkelanjutan yang tengah diorkestrasi Otoritas Jasa Keuangan (OJK) masih jauh dari ideal.
“Uni Eropa dan Indonesia perlu lebih ketat meregulasi lembaga-lembaga keuangan di negara masing-masing agar lebih bertanggung jawab dan tidak ikut membiayai perusakan lingkungan,” ujarnya dalam keterangan resmi, Selasa (26/3/2024).
Lebih jauh, Uli mengaku kalau pendanaan untuk perusakan lingkungan sudah menjadi catatan Walhi dan Milieudefensie (Friends of the Earth Belanda) sejak pembahasan draf Undang-Undang Komoditas Bebas Deforestasi Uni Eropa atau EUDR.
“Penting bagi Uni Eropa untuk membuktikan komitmen pelindungan iklim mereka,” katanya.
EUDR yang diadopsi pada Mei 2023 disebut sebagai langkah untuk mencapai komitmen iklim dan keanekaragaman hayati global Uni Eropa. Kebijakan itu bertujuan mengurangi dampak lingkungan dari konsumsi masyarakat Uni Eropa, dengan mewajibkan korporasi menjamin bahwa produk-produk mereka tak berasal dari deforestasi–yang terjadi setelah Desember 2020.
Kendati begitu, menurut Uli, beleid itu belum mengatur tentang pendanaan yang mengalir ke perusakan lingkungan. Karenanya, organisasi lingkungan dan HAM mendesak Komisi Uni Eropa untuk memperbaiki kebijakan tersebut dengan mengajukan proposal legislasi sebelum Juni 2025.
Poin penting lain yang perlu diperbaiki dari kebijakan anti-deforestasi Uni Eropa ialah perlindungan hak-hak masyarakat adat dan petani swadaya.
Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, Arie Rompas, mengatakan EUDR belum tegas menekan negara-negara produsen untuk menghormati hak-hak masyarakat adat.
Di Indonesia, Arie menilai, praktik-praktik industri sawit di masa lalu terbukti merampas lahan masyarakat adat dan menghancurkan hutan. Praktik serupa, dia meyakini, masih mungkin berlanjut.
“Apalagi jika melihat pemerintah Indonesia yang sangat defensif menyikapi EUDR," kata dia.
Menurut dia, laporan berjudul EU Bankrolling Ecosystem Destruction harus menjadi perhatian khusus gugus tugas EUDR yang beranggotakan Indonesia, Malaysia, dan Uni Eropa.
“Untuk memastikan aliran dana investasi ini hanya disalurkan untuk mengembangkan pekebun kecil dan rantai pasok yang bebas deforestasi," kata Arie menambahkan. (^)