DBH Kehutanan Riau Tahun Ini Anjlok Cuma Dapat Rp 103 Miliar, Ini yang Diduga Jadi Biang Keroknya: Patokan Harga Akasia Terlalu Murah?
SABANGMERAUKE NEWS, Riau - Dana Bagi Hasil (DBH) Kehutanan yang diperoleh jajaran pemerintah daerah di Riau anjlok tahun ini. Jika pada tahun 2023 lalu, total DBH Kehutanan yang didapat mencapai Rp 161,67 miliar, namun pada 2024 ini Riau hanya menerima sebesar Rp 103,36 miliar.
Ikhwal kecilnya DBH Kehutanan sudah dikeluhkan oleh Pemprov Riau sejak tahun 2021 lalu. Diketahui, luasan Hutan Tanaman Industri (HTI) di Riau saat ini mencapai 1,5 juta hektare. Perolehan DBH Kehutanan tersebut dinilai tak sebanding dengan kemajuan sektor industri pulp and paper berbasis kayu akasia dan eukaliptus yang banyak mengeruk untung.
Di sisi lain, dampak negatif dan eksternalitas dari keberadaan industri kehutanan di Riau telah menimbulkan persoalan sosial dan ekologi. Faktanya, dari sisi ekonomi daerah, kontribusi DBH Kehutanan sangat minim.
Di Riau dan secara umum di Indonesia, dua korporasi besar yang menguasai industri pulp and paper yakni Asia Pacific Resources International Holdings Limited (APRIL Grup) dan Asia Pulp and Paper (APP). PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) di Pangkalan Kerinci, Riau terafiliasi ke dalam APRIL. Sementara, PT Indah Kiat Pulp and Paper (IKPP) di Perawang, Siak, merupakan bagian dari APP.
BERITA TERKAIT: Menteri LHK Diduga Patok Harga Akasia Terlalu Murah, Menkeu Sri Mulyani Pernah Sebut Ada yang Tak Beres Soal PNBP Sektor Kehutanan
Lantas, apa penyebab rendahnya DBH Kehutanan yang diterima Provinsi Riau sebagai salah satu penghasil pulp and paper terbesar di Indonesia?
Diketahui, Gubernur Riau saat masih dijabat Syamsuar pada Oktober 2021, pernah meminta Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya untuk merevisi patokan harga kayu akasia dan eukaliptus sebagai dasar perhitungan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Suara yang sama juga telah disampaikan anggota DPR RI dapil Riau II, Abdul Wahid.
Adapun patokan harga itu ditetapkan oleh Menteri Siti Nurbaya lewat Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Nomor: P.64/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2017 tentang Penetapan Harga Patokan Hasil Hutan untuk Perhitungan Provinsi Sumber Daya Hutan dan Ganti Rugi Tegakan. Aturan itu diteken Menteri Siti Nurbaya pada 19 Desember 2017 lalu.
BERITA TERKAIT: Menteri LHK Patok Akasia Cuma Rp 140 Ribu Per Meter Kubik Bikin DBH Kehutanan Kecil, Permintaan Gubernur Riau Agar Harga Dinaikkan Tak Digubris
Lewat Peraturan Menteri LHK tersebut, harga patokan kayu akasia dan eukaliptus ditetapkan hanya sebesar Rp 140 ribu per meter kubik.
BERITA TERKAIT: Segera Revisi Patokan Harga PNBP Sektor Kehutanan atau Negara Rugi Kehilangan Potensi Pendapatan!
Syamsuar lewat suratnya yang dikirim ke Menteri Siti Nurbaya, meminta agar patokan harga kayu akasia dinaikkan menjadi sebesar Rp 375 ribu per meter kubik. Sementara, untuk harga patokan eukaliptus, Syamsuar meminta dinaikkan menjadi sebesar Rp 400 ribu per meter kubik. Permintaan dilayangkan karena kompensasi DBH Kehutanan yang diterima Riau dinilai relatif kecil.
"Faktor lain yang sangat berpengaruh adalah harga patokan dari hasil hutan kayu tersebut. Kami mengusulkan dilakukan penyesuaian harga patokan hasil hutan pada hutan negara," demikian petikan isi surat Gubernur Syamsuar yang ditujukan kepada Menteri LHK Siti Nurbaya.
Tapi, sudah hampir tiga tahun, tampaknya permintaan Syamsuar tersebut tak kunjung digubris. Setakad ini, patokan harga kayu akasia dan eukaliptus yang hanya sebesar Rp 140 ribu per meter kubik, tak kunjung direvisi Menteri LHK.
BACA JUGA: Menggugat Harga Murah Patokan Kayu Hutan Tanaman Industri: Pemerintah Buntung, Siapa Untung?
Sekretaris Jenderal KLHK Bambang Hendroyono telah dikonfirmasi soal kemungkinan dilakukannya revisi patokan harga kayu akasia dan eukaliptus tersebut. Namun, ia belum memberikan respon.
Dasar Perhitungan DBH Kehutanan
DBH Kehutanan dikelompokkan dalam tiga bagian. Yakni Iuran Izin Usaha Pemanfaatan Hutan (IIUPH), Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) dan Dana Reboisasi (DR).
Khusus untuk dana reboisasi hanya diterima oleh pemerintah tingkat provinsi. Sementara, PSDH diterima oleh pemerintah provinsi maupun kabupaten/ kota.
DBH Kehutanan merupakan salah satu bagian dari DBH Sumber Daya Alam yang dikucurkan oleh pemerintah pusat ke daerah. Selain sektor kehutanan, ada juga penerimaan sektor migas, perikanan, minerba, dan panas bumi. Bagian lain dari DBH yakni DBH pajak meliputi Pajak Penghasilan (PPH), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dan Cukai Hasil Tembakau (CHT).
Merujuk pada Buku Pegangan Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam yang diterbitkan Kementerian Keuangan, DBH didefenisikan sebagai dana yang bersumber dari APBN yang dialokasikan kepada daerah berdasarkan angka persentase tertentu untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mendefenisikan PSDH sebagai pungutan pengganti nilai intrinsik dari hasil hutan yang dipungut dari hutan negara dan atau hasil hutan yang berada pada kawasan hutan yang telah dilepas statusnya menjadi bukan kawasan hutan atau hutan negara yang dicadangkan untuk pembangunan di luar sektor kehutanan.
Dengan demikian, PSDH juga seharusnya telah memperhitungan ekses ekologi dan sosial (eksternalitas) dari pemanfaatan (eksploitasi) hutan yang telah dilakukan.
Sementara, dana reboisasi (DR) merupakan dana untuk pelaksanaan reboisasi dan rehabilitasi hutan serta kegiatan pendukungnya dipungut dari hasil pemanfaatan hutan kayu alam yang berasal dari hutan negara dan atau terhadap hasil hutan kayu hutan alam yang telah dilepas statusnya menjadi bukan kawasan hutan.
Penetapan dana bagi hasil (DBH) dilakukan oleh Menteri Keuangan. Salah satu acuannya yakni Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Nomor: P.64/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2017 tentang Penetapan Harga Patokan Hasil Hutan untuk Perhitungan Provinsi Sumber Daya Hutan dan Ganti Rugi Tegakan.
Ketentuan tersebut mengatur soal harga patokan sejumlah komoditas kehutanan berupa kayu dan non kayu. Termasuk juga patokan harga hasil sylvopastura dan sylvofishery yang berlaku sebagai acuan perhitungan PSDH.
Adapun porsi pembagiannya, untuk DBH Kehutanan bersumber dari PSDH dibagi antara alokasi untuk pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Pemerintah pusat mendapat porsi 20 persen dan pemerintah daerah menerima 80 persen.
PSDH untuk pemerintah daerah ini dibagi lagi dalam bagian yang menjadi hak pemerintah provinsi sebesar 16 persen. Sisanya untuk pemerintah kabupaten/ kota sebesar Rp 32 persen dan sisanya 32 persen lagi untuk pemerintah kabupaten/ kota dalam satu wilayah provinsi.
Sementara, dalam hal pembagian dana reboisasi, alokasinya didominasi untuk pemerintah pusat sebesar 60 persen dan sisanya 40 persen untuk pemerintah provinsi.
Penentuan besaran tarif dan jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang berlaku di Kementerian Kehutanan ditetapkan lewat Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 12 Tahun 2014 tentang Jenis dan Tarif PNBP yang Berlaku pada Kementerian Kehutanan. Tarif PNBP itulah yang menjadi acuan perhitungan DBH Kehutanan.
Berdasarkan PP tersebut, besaran tarif PNBP untuk jenis kayu akasia dan eukaliptus yakni 6 persen dari patokan harga. Itu artinya per meter kubik kayu akasia atau eukaliptus hanya memberikan kontribusi PNBP sebesar Rp 8.400 (hasil perkalian patokan harga Rp 140 ribu per meter kubik dengan tarif 6 persen).
Sumber informasi menyebutkan saat ini harga kayu akasia dan eukaliptus di pasaran menyentuh level Rp 575 ribu per meter kubik. Itu artinya, patokan harga yang ditentukan oleh Menteri LHK sebesar Rp 140 ribu saat ini hanyalah 1/4 dari harga pasaran.
Penelusuran SabangMerauke News di situs pengadaan.web.id tahun lalu, harga kayu akasia secara gelondongan di pasaran dijual dengan harga variatif. Misalnya untuk ukuran diameter 10-13 cm dijual dengan harga Rp 730 ribu per kubik. Sementara kayu ukuran diameter 16-19 cm dan diameter 22-28 cm dijual masing-masing seharga Rp 850 ribu dan Rp 970 ribu. Meski demikian, daftar harga tersebut belum dapat diverifikasi akurasinya.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Riau, pada tahun 2019 produksi kayu bulat HTI di Riau mencapai 19,45 juta meter kubik.
Rincian DBH Kehutanan Riau 2024
Berdasarkan data yang diperoleh SabangMerauke News, Rabu (31/1/2024), penurunan penerimaan DBH Kehutanan tahun 2024 terjadi pada 12 kabupaten/ kota dan Pemprov Riau.
Tahun lalu Pemprov Riau menerima kucuran DBH Kehutanan total sebesar Rp 37,62 miliar. Jumlah itu adalah akumulasi dari penerimaan IIUPH-PSDH sebesar Rp 34,11 miliar dan Dana Reboisasi sebesar Rp 3,51 miliar.
Namun, pada tahun 2024 ini, Pemprov Riau hanya menerima total sebesar Rp 23,33 miliar. Itu artinya, penerimaan DBH Kehutanan Pemprov Riau jatuh secara signifikan mencapai Rp14 miliar lebih.
Penurunan DBH Kehutanan yang besar juga dialami Kabupaten Pelalawan. Jika tahun 2023 lalu Pemkab Pelalawan menerima sebesar Rp 26,3 miliar, tahun ini jumlahnya hanya tinggal Rp 16,5 miliar atau turun lebih dari Rp 10 miliar.
Hal yang sama juga didera oleh Pemkab Siak yang tahun 2024 ini hanya akan mendapatkan DBH Kehutanan sebesar Rp 11,2 miliar. Padahal, tahun 2023 lalu, Pemkab Siak memperoleh sebesar Rp 17,1 miliar.
Berikut data penerimaan DBH Kehutanan Provinsi Riau dan 12 kabupaten/ kota di Riau tahun 2024:
Provinsi Riau: Rp 23.333.191.000 ,-
Kabupaten Bengkalis: Rp 8.950.156.000,-
Kabupaten Indragiri Hilir: Rp 7.490.901.000,-
Kabupaten Indragiri Hulu: Rp 4.492.824.000,-
Kabupaten Kampar: Rp 6.335.754.000,-
Kabupaten Kuantan Singingi: Rp 5.325.829.000,-
Kabupaten Pelalawan: Rp 16.504.265.000,-
Kabupaten Rokan Hilir: Rp 3.334.536.000,-
Kabupaten Rokan Hulu: Rp 4.215.629.000,-
Kabupaten Siak: Rp 11.203.871.000,-
Kota Dumai: Rp 3.674.843.000,-
Kota Pekanbaru: Rp 3.605.947.000,-
Kabupaten Kepulauan Meranti: Rp 4.953.508.000,-
Total: Rp 103,36 miliar.
Sebagai perbandingan, berikut data rincian alokasi penerimaan DBH Kehutanan untuk wilayah Provinsi Riau tahun 2023:
Provinsi Riau: Rp 37.626.500.000,-
Kabupaten Pelalawan: Rp 26.305.357.000,-
Kabupaten Siak: Rp 17.128.163.000,-
Kabupaten Bengkalis: Rp 14.264.994.000,-
Kabupaten Indragiri Hilir: Rp 13.748.748.000,-
Kabupaten Kampar: Rp 10.098.087.000,-
Kabupaten Kuantan Singingi: Rp 8.141.977.000,-
Kabupaten Kepulauan Meranti: Rp 7.572.784.000,-
Kabupaten Indragiri Hulu: Rp 6.868.502.000,-
Kabupaten Rokan Hulu: Rp 6.579.038.000,-
Kota Dumai: Rp 5.857.061.000,-
Kota Pekanbaru: Rp 5.747.251.000,-
Kabupaten Rokan Hilir: Rp 5.314.669.000,-
Total: Rp 161,67 miliar. (R-03)