Mahfud MD Janji Sikat Mafia Sawit di Riau, Faktanya UU Cipta Kerja Beri Pengampunan Kebun Sawit Dalam Kawasan Hutan
SABANGMERAUKE NEWS, Riau - Calon Wakil Presiden nomor urut 3, Mahfud MD berkampanye di Provinsi Riau, Senin (29/1/2024). Seperti biasa, orasi politik Mahfud banyak menyinggung soal penegakan hukum.
Salah satu yang disorot Mahfud yakni menyangkut praktik mafia kelapa sawit. Menteri Koordinator Polhukam ini berjanji akan bertindak tegas dan menyikat para mafia sawit.
BERITA TERKAIT: Cerita Usang Penertiban Kebun Kelapa Sawit Ilegal di Riau, Sekadar Membentuk Satgas dan Pansus Tapi Apa Hasilnya?
Namun, Mahfud tak menjelaskan detil siapa dan kategori apa saja yang disebutnya sebagai mafia kelapa sawit tersebut. Ia hanya menyatakan perlunya penegakan hukum yang tegas terhadap para mafia sawit.
BACA JUGA: Ini Daftar Lengkap Pejabat dan Tugas Pokok Satgas Kelapa Sawit yang Baru Dibentuk Jokowi
"Riau memiliki 3 jutaan hektare sawit, namun pengelolaannya masih jauh dari ideal. Ada lahan sawit yang tidak diurus dengan baik, dikuasai oleh pihak tertentu dan ini harus mendapatkan penanganan tegas," kata Mahfud.
Sayangnya, Mahfud tidak menyebutkan secara konkret cara dan pola pemberantasan mafia sawit yang akan dia lakukan nantinya kelak terpilih bersama capres Ganjar Pranowo.
Di Riau, salah satu kasus hukum kelapa sawit yang bikin heboh yakni terkait dengan pengelolaan kebun sawit dalam kawasan hutan oleh Duta Palma Grup. Diketahui, bos perusahaan ini bernama Surya Darmadi telah dijatuhi vonis bersalah dalam perkara korupsi pengelolaan kebun sawit dalam kawasan hutan tanpa izin seluas 37.500 hektare di Indragiri Hulu, Riau.
Kasus ini sempat menyita perhatian rakyat Indonesia lantaran Kejaksaan Agung menyebut kerugian keuangan dan perekonomian negara dalam perkara ini lebih dari Rp100 triliun.
Namun, dalam putusan kasasi Mahkamah Agung (MA) pada 29 September 2023 lalu, Surya Darmadi hanya dihukum membayar uang pengganti sebesar Rp2,23 triliun, jauh meleset dari tuntutan jaksa penuntut Kejagung. MA juga menjatuhkan vonis pidana penjara selama 16 tahun serta pidana denda Rp 1 miliar subsider 6 bulan kurungan untuk Surya Darmadi.
Fakta soal maraknya penguasaan hutan tanpa izin yang dipakai untuk perkebunan kelapa sawit di Riau sesungguhnya hanya cerita lama. Dari hasil inventarisasi yang dilakukan Kementerian Kehutanan RI sejak tahun 2021 lalu, sedikitnya terdapat lebih dari 500 ribu hektare kebun sawit yang dibangun di dalam kawasan hutan tanpa izin.
Kebun sawit itu dikelola oleh korporasi dan entitas lain dengan tameng koperasi maupun kelompok tani. Jumlah itu adalah bagian dari total sekitar 1,4 juta kebun sawit dalam kawasan hutan yang terdapat di Provinsi Riau yang menempatkan Bumi Lancang Kuning sebagai daerah terdapat kebun sawit ilegal (non prosedural) terluas di Indonesia.
Ironisnya, sampai saat ini, aparat penegak hukum hanya mampu menyeret Duta Palma Grup ke meja hijau. Sementara sejumlah korporasi sawit raksasa lainnya di Riau, masih belum tersentuh hukum.
Pengampunan Lewat UU Cipta Kerja
Alih-alih melakukan penegakan hukum apalagi menyikat habis pelaku alih fungsi hutan untuk kebun sawit, pemerintah justru memberikan pengampunan kepada mereka. Dengan terbitnya Undang-undang Cipta Kerja pada tahun 2020 lalu, penguasa hutan tanpa izin bisa lolos dari jerat pidana kehutanan, jika mereka mau membayar sejumlah denda uang.
Amnesti atau pengampunan terhadap para penggarap hutan ilegal itu diatur dalam pasal 110A dan pasal 110B dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang diubah menjadi Undang-undang Nomor 6 Tahun 2023.
Langkah penerapan denda terhadap penguasa kebun sawit dalam kawasan hutan diawali dengan gencarnya gerakan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) melakukan inventarisasi keberadaan usaha di dalam kawasan hutan tanpa izin sejak 2021 lalu.
Setidaknya ada 12 pucuk surat keputusan telah diteken Menteri LHK Siti Nurbaya yang memuat data dan informasi tentang keberadaan usaha, khususnya kebun sawit dan tambang dalam kawasan hutan tanpa izin.
Pada kluster kategori Pasal 110A melingkupi perkebunan kelapa sawit yang telah terbangun, mempunyai izin usaha perkebunan, dan sesuai tata ruang pada saat izin diterbitkan, namun statusnya saat ini berada pada kawasan hutan produksi, kawasan hutan lindung, dan kawasan hutan konservasi.
Sementara, Pasal 110B mengatur mengenai penyelesaian perkebunan kelapa sawit yang telah terbangun di dalam kawasan hutan produksi, kawasan hutan lindung, dan kawasan hutan konservasi namun tidak mempunyai perizinan di bidang kehutanan.
Skema pengampunan ini penyelesaiannya ditempuh melalui pengenaan sanksi administrasi berupa kewajiban membayar denda administratif di bidang kehutanan. Secara teknis, perhitungan denda diatur lewat Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2021 Tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif dan Tata Cara Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berasal dari Denda Administratif di Bidang Kehutanan.
Pemberlakukan kebijakan penerapan denda berdasarkan pasal 110A dan 110B Undang-undang tentang Cipta Kerja telah berakhir batas waktunya pada 3 November 2023 lalu. Batasan waktu itu mengacu pada tiga tahun setelah UU Cipta Kerja disahkan.
Dikritik Tom Lembong Timnas AMIN
Ikhwal kebijakan pengampunan terhadap kebun sawit di dalam kawasan hutan ini sebelumnya telah disorot oleh Co Captain Timnas AMIN, Thomas Trikasih Lembong. Ia menyebut, penerapan denda itu sebagai fenomena politik populer yang disebut dengan istilah second term curse atau kutukan periode kedua.
"Itu bagian dari fenomena legendaris yang namanya second term curse, kutukan periode kedua. Dimana polanya sudah terbangun, setelah terpilih kembali ada konsolidasi kekuasaan," kata Tom Lembong dalam diskusi poscast di channel YouTube Novel Baswedan yang ditayangkan, Sabtu (27/1/2024).
Menurut Tom Lembong, dalam fenomena kutukan periode kedua, setelah terpilih kembali maka terjadi konsolidasi kekuasaan.
"Terus muncullah ada perasaan inilah peluang terakhir kali untuk menguangkan kekuasaan, karena kan setelah ini selesai," kata mantan Menteri Perdagangan dan Kepala BKPM periode pertama pemerintahan Jokowi Ini.
Ia menyebut, dalam kondisi itu maka muncul motivasi untuk berbondong-bondong dalam memaksimalkan peluang kekuasaan.
"Muncullah motivasi berbondong-bondong, gimanalah caranya maksimalkan peluang untuk menguangkan kekuasaan," kata Tom Lembong.
Tom Lembong juga mengingatkan soal perlunya transparansi dalam perumusan dan pelaksanaan kebijakan oleh negara.
"Karena kan transparansi itu berkaitan dengan korupsi. Oleh karena itu masyarakat sipil harus dilibatkan. Perlu dialog publik," tegas Tom Lembong.
Potensi Penerimaan Negara Rp 50 Triliun
Sebelumnya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya menyebut proyeksi penerimaan negara dari denda kebun kelapa sawit dalam kawasan hutan mencapai Rp 50 triliun. Namun, penanganan soal dendanya akan dilaksanakan oleh Satuan Tugas (Satgas) Tata Kelola Kelapa Sawit yang dibentuk Presiden Jokowi. Adapun Ketua Pengarah Satgas Sawit ini dipimpin oleh Menko Marves Luhut Binsar Panjaitan dan Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara sebagai Ketua Pelaksana Satgas Sawit.
"Diproyeksikan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) Rp 50 triliun. Tapi di-enforce oleh satgas nasional yang diketuai oleh Wakil Menteri Keuangan," kata Siti Nurbaya dalam rapat kerja bersama Komisi IV DPR yang disiarkan lewat channel YouTube, Selasa (13/6/2023) silam.
Siti Nurbaya menyebut KLHK dalam penanganan denda kebun sawit tersebut akan memberikan dukungan data kepada Satgas Tata Kelola Kelapa Sawit.
"Jadi telah ditangani oleh Satgas," katanya saat itu.
Diketahui sejak 2021 lalu, Menteri LHK Siti Nurbaya telah menerbitkan sebanyak 12 pucuk surat keputusan berisi daftar dan informasi tentang penguasaan hutan tanpa izin. SK terbaru diterbitkan pada 5 April 2023 lalu berisi 30 subjek hukum tambahan yang akan mendapat program pengampunan keterlanjuran penggunaan kawasan hutan tanpa izin.
Subjek hukum adalah istilah (nomenklatur) yang dipakai Kementerian LHK merujuk pada kelompok penguasa hutan ilegal (tanpa izin), meliputi korporasi, koperasi, kelompok tani, individu, kelompok masyarakat dan lembaga instansi pemerintah.
Sebelumnya, dalam 11 SK terdahulu yang diteken Menteri Siti, jumlah subjek hukum pengguna hutan tanpa izin ada sebanyak 2.671 subjek hukum. Dengan demikian, saat ini sudah ada sebanyak 2.701 subjek hukum yang terdata di KLHK.
Kawasan hutan itu mayoritas telah dialihfungsikan secara ilegal menjadi kebun kelapa sawit. Adapun lokasi penguasaan hutan ilegal terluas berada di Provinsi Riau.
Tahun Politik
Sebelumnya, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menyorot secara keras kebijakan pengampunan kejahatan hutan yang ditempuh pemerintah tersebut. Dalih program pengampunan keterlanjuran penggunaan kawasan hutan tanpa izin di tahun politik yang memanas dituding sengaja diciptakan sebagai ruang transaksional para elit politik kekuasaan.
“Tidak berlebihan jika kita sebut Pasal 110A dan 110B (Undang-undang Cipta Kerja) merupakan ruang transaksional yang sengaja dibuat untuk mempertemukan kepentingan korporasi dan para elit di tahun politik. Korporasi dapat pengampunan, para elit dapat ongkos politik,” kata Uli Arta Siagian, Manager Kampanye Hutan dan Kebun Walhi Nasional dalam siaran pers, Jumat (14/4/2023) lalu.
Menurut Uli Arta, pengampunan kejahatan kehutanan melalui Undang-undang Cipta Kerja melaju cepat di tahun politik. Uli menyebut dipastikan KLHK akan menyelesaikan program pengampunan ini sebelum 2 November 2023, sebagaimana mandat 110 A dan 110 B.
"Tentunya batas tenggang waktu ini bukan tanpa konteks yang jelas," jelas Uli.
Berdasarkan tahapan pemilu, pada 19 Oktober 2023 hingga 25 November 2023 adalah masa waktu pendaftaran presiden dan calon wakil presiden, gubernur dan calon wakil gubernur, serta bupati dan calon wakil bupati. Maka setidaknya awal November konsolidasi kepentingan antara, partai-partai politik dan pemberi biaya sudah harus selesai. Hal ini diperkuat dengan proses yang begitu tertutup oleh KLHK.
Uli juga menambahkan subjek hukum selain korporasi juga patut diperiksa lebih jauh. Pasalnya, dalam SK diidentifikasi individu-individu yang memiliki kebun sawit di hutan dengan luasan di atas 25 hektar.
Uli Arya mencuplik temuan dari terbitnya SK Menteri LHK tahap XI di mana teridentifikasi sebanyak 31 individu yang memiliki kebun sawit di atas 25 hektar. Selain individu, kelompok tani dengan komoditas sawit juga rentan dijadikan modus oleh korporasi untuk bisa mendapatkan pengampunan.
"Fakta-fakta yang sering ditemui di lapangan, korporasi membentuk kelompok plasma yang anggotanya merupakan karyawan-karyawan perusahaannya, ataupun beberapa kelompok masyarakat, untuk bisa mendapatkan akses legal di kawasan hutan”, kata Uli. (R-03/R-08/Malik)