Tok! Bos Pabrik Sawit PT SIPP di Bengkalis Divonis 1 Tahun Penjara Kasus Pencemaran Lingkungan, PT Pekanbaru Anulir Hukuman Percobaan
SABANGMERAUKE NEWS, Riau - Majelis hakim Pengadilan Tinggi (PT) Pekanbaru menganulir hukuman percobaan 1 tahun penjara terhadap Erick Kurniawan, Direktur Utama PT Sawit Inti Prima Perkasa (SIPP) di Bengkalis. PT Pekanbaru menerima banding atas putusan Pengadilan Negeri Bengkalis yang diajukan oleh jaksa penuntut.
Dalam putusan bandingnya, PT Pekanbaru mengubah amar putusan dengan menjatuhkan hukuman kepada Erick dengan pidana penjara selama 1 tahun dan denda sejumlah Rp200 juta. Dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar maka diganti dengan pidana kurungan selama 2 bulan.
"Menyatakan terdakwa Erick Kurniawan telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “menyuruh melakukan dumping limbah ke media lingkungan hidup tanpa izin” sebagaimana dakwaan alternatif kedua," demikian amar putusan banding PT Pekanbaru yang dilihat SabangMerauke News, Senin (29/1/2024).
Dengan putusan tersebut, maka Erick akan tetap menjalani pidana badan selama 1 tahun penjara, dipotong masa tahanan selama perkara berlangsung. Di mana sebelumnya oleh PN Bengkalis ia hanya divonis pidana percobaan 1 tahun dan ditangguhkan penahanannnya saat persidangan berlangsung April 2023 lalu. Padahal, sejak kasus ini ditangani oleh Gakkum KLHK dan Kejari Bengkalis, Erick selalu ditahan.
BERITA TERKAIT: Tumpulnya Palu Hakim PN Bengkalis di Kasus Pencemaran Limbah Pabrik Sawit PT SIPP, Ini Isi Lengkap Putusannya
Putusan banding dengan nomor: 596/PID.B-LH/2023/PT PBR diucapkan dalam persidangan yang berlangsung pada Selasa, 9 Januari 2024 lalu. Vonis diketuk oleh majelis hakim banding diketuai Arifin serta dua hakim anggota yakni Jon Effreddi dan Setia Rina.
Majelis hakim banding juga menjatuhkan pidana tambahan kepada Erick untuk dan atas nama perusahaan PT SIPP berupa perbaikan akibat tindak pidana dengan membayar biaya pemulihan lingkungan atas lahan di sekitar perusahaan yang telah terbukti tercemar sebesar Rp250 juta dalam jangka waktu paling lama 6 bulan. Putusan ini sama dengan vonis yang sebelumnya telah dijatuhkan oleh PN Bengkalis.
Perusahaan juga diwajibkan memperbaiki kinerja Instalasi Pengelolaan Air Limbah (IPAL) sehingga air limbah yang dibuang ke media lingkungan sudah memenuhi ketentuan baku mutu dalam jangka waktu paling lama 1 tahun.
"Memeriksa kadar parameter baku mutu air limbah cair secara periodik, sekurangnya sekali dalam sebulan atas biaya perusahaan pada laboratorium rujukan. Pelaksanaannya diawasi oleh Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Bengkalis," demikian putusan majelis hakim.
Sementara itu, majelis hakim PT Pekanbaru juga turut menganulir putusan terhadap General Manager PT SIPP, Agus Nugroho dalam berkas perkara terpisah. Sebelumnya, Agus juga divonis PN Bengkalis dengan hukuman 1 tahun percobaan. Namun kini oleh PT Pekanbaru, Agus dijatuhi hukuman pidana badan selama 1 tahun penjara.
Agus juga oleh PT Pekanbaru tetap dijatuhi hukuman denda sebesar Rp100 juta dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar maka diganti dengan pidana kurungan selama 2 bulan.
Vonis Jauh Dari Tuntutan Jaksa
Meski PT Pekanbaru mengabulkan banding, namun putusan yang dijatuhkan terhadap Erick dan Agus tersebut masih sangat jauh dari tuntutan jaksa.
Jaksa penuntut dalam surat tuntutannya meminta majelis hakim untuk menghukum Erick Kurniawan 7 tahun penjara. Jaksa menuntut Erick dengan Pasal 98 Ayat (1) jo Pasal 116 Ayat (1) huruf b Undang undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup jo Pasal 55 Ayat (1) KUHPidana. Selain itu, jaksa juga menuntutnya untuk membayar denda sebesar Rp4 miliar subsider 1 tahun kurungan.
Beda tipis, Agus Nugroho yang merupakan anak buah Erick dituntut dituntut 5 tahun penjara dan denda sebesar Rp4 miliar subsider 1 tahun kurungan.
Tak Berikan Rasa Keadilan
Bagi Roslin Sianturi, korban pencemaran yang tanahnya rusak terkena limbah pabrik sawit PT SIPP, putusan majelis hakim itu dinilai telah merobek rasa keadilan
"Putusan hakim itu sangat tidak adil. Itu jauh sekali dari rasa adil terhadap keluarga kami yang menjadi korban langsung dari limbah perusahaan. Kami tidak menduga putusan hakim seperti itu," kata Roslin Sianturi.
Lahan milik Roslin berbatasan langsung dengan kolam limbah SIPP. Sejak dua tahun silam, tanaman kelapa sawit miliknya rusak dan tak bisa dipanen lagi. Pemicunya, limbah pabrik tersebut menggenangi lahan kebun sumber mata pencaharian keluarganya.
Kini, Roslin merasa frustasi karena putusan hakim jauh dari harapannya.
"Sangat sulit mencari keadilan, jalur hukum di pengadilan tidak lagi menjadi tempat mencari keadilan," kata Rosti.
Kasus pencemaran limbah pabrik sawit PT SIPP sempat naik menjadi isu nasional. Bermula dari penjatuhan sanksi administrasi hingga dicabutnya izin operasional perusahaan oleh Pemkab Bengkalis pada 2022 silam.
Belakangan, kasus ini dibidik oleh Gakkum Kementerian LHK dengan menetapkan dua orang tersangka yang merupakan pengurus perusahaan. Keduanya yakni Direktur Utama SIPP Erick Kurniawan dan General Manajer, Agus Nugroho.
Dalam proses penyidikan hingga penuntutan, keduanya ditahan oleh kejaksaan. Namun, ketika perkara bergulir di pengadilan, yakni jelang Lebaran Idul Fitri April 2023 lalu, majelis hakim mengabulkan permohonan penangguhan penahanan kedua terdakwa.
Pada Selasa, 17 Oktober lalu, trio majelis hakim PN Bengkalis terdiri dari Bayu Soho Rahardjo (ketua majelis) beserta Ulwan Maluf dan Ignas Ridlo Anarki masing-masing anggota majelis hakim, membacakan putusan perkara ini. Isinya, mengecewakan Roslin sebagai pemilik lahan yang tercemar limbah perusahaan. Jaksa penuntut umum pun langsung menyatakan banding atas putusan tersebut.
Majelis hakim dalam putusannya menilai kalau Erick dan Agus terbukti melanggar dakwaan alternatif kedua yakni pasal Pasal 104 Ayat (1) jo Pasal 116 Ayat (1) huruf b Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup jo Pasal 55 Ayat (1) KUHPidana. Adapun ancaman hukuman pasal ini yakni pidana penjara paling
lama 3 tahun dan denda paling banyak
Rp3 miliar.
Preseden Buruk Hukum Lingkungan
Putusan majelis hakim PN Bengkalis tersebut dinilai sebagai preseden buruk dalam penegakan hukum lingkungan di Riau. Dr (Cd) Marnalom Hutahaean SH, MH, kuasa hukum Roslin Sianturi menilai putusan tersebut jauh panggang dari api.
"Ini preseden buruk terhadap penegakan hukum lingkungan di Riau, bahkan di Indonesia. Sangat disayangkan sekali. Tentunya ini juga tidak memberikan rasa keadilan kepada klien saya sebagai korban," kata Marnalom Hutahaean.
Marnalom menilai, putusan hakim yang menghukum terdakwa Erick membayar biaya pemulihan lingkungan atas lahan yang tercemar sebesar Rp 250 juta menjadi tanda tanya. Soalnya, majelis hakim saat menggelar sidang lapangan (pemeriksaan setempat) tidak meninjau langsung ke lokasi lahan yang tercemar.
"Saat itu, majelis hakim hanya meninjau lokasi kolam limbah perusahaan, tapi tak melihat kondisi lingkungan yang tercemar. Jadi, apa dasar penetapan angka biaya pemulihan lingkungan yang tercemar itu?" gugat Marnalom.
Ia juga menilai tidak tepat lagi jika majelis hakim menerapkan asas ultimum remedium dalam penegakan hukum lingkungan pada kasus SIPP. Soalnya, sejak awal kasus ini terungkap, bahkan hingga sampai ke pengadilan, Marnalom menilai tidak ada itikat baik perusahaan untuk melakukan pemulihan lingkungan atau mengganti kerugian kliennya.
Marnalom juga membandingkan tuntutan jaksa kepada kedua terdakwa masing-masing 7 tahun dan 5 tahun dengan putusan hakim yang dijatuhkan.
"Untuk kasus pencemaran nama baik saja, dalam banyak kasus terdakwa dihukum 2 sampai 3 tahun. Masak kasus lingkungan yang seheboh ini diberikan hukuman percobaan," sindir Marnalom.
Menurut Marnalom, putusan majelis hakim dinilai tidak sensitif pada isu lingkungan yang telah menjadi perhatian nasional dan global.
"Coba bayangkan jika ratusan bahkan ribuan pabrik kelapa sawit yang ada di Riau melakukan hal yang sama, namun hanya dihukum percobaan. Maka kehancuran lingkungan dampak limbah sawit hanya akan dianggap sebagai persoalan sepele belaka. Ini preseden buruk terhadap tegaknya hukum lingkungan dan tidak memberikan efek jera. Bertolak belakang dengan kampanye pemerintah yang pro lingkungan," pungkas Marnalom. (R-01)