Soroti Denda Kebun Sawit dalam Kawasan Hutan, Tom Lembong Timnas AMIN: Fenomena Kutukan Periode Kedua, Peluang Menguangkan Kekuasaan!
SABANGMERAUKE NEWS, Riau - Co Captain Timnas AMIN, Thomas Trikasih Lembong memiliki penilaian kritis soal kebijakan penerapan denda kebun kelapa sawit dalam kawasan hutan yang diberlakukan pemerintah saat ini. Ia menyebut, penerapan denda itu sebagai fenomena politik populer yang disebut dengan istilah second term curse atau kutukan periode kedua.
"Itu bagian dari fenomena legendaris yang namanya second term curse, kutukan periode kedua. Dimana polanya sudah terbangun, setelah terpilih kembali ada konsolidasi kekuasaan," kata Tom Lembong dalam diskusi poscast di channel YouTube Novel Baswedan yang ditayangkan, Sabtu (27/1/2024).
Kebijakan penerapan denda kebun sawit dalam kawasan ini diungkit oleh Novel Baswedan dalam sesi tanya jawab di podcastnya. Eks penyidik KPK tersebut meminta respon Tom Lembong soal kebijakan pemerintah soal pengenaan denda terhadap kebun sawit seluas 3,3 juta hektare dalam kawasan hutan.
"Ada 3,3 juta hektare kebun kelapa sawit di dalam kawasan hutan, dan itu kemudian direncanakan akan diputihkan dengan mekanisme pembayaran denda. Dan itu dendanya pun belum dibayar-bayar juga. Itu katanya seolah-olah karena kepentingan investasi," tanya Novel Baswedan.
Menurut Tom Lembong, dalam fenomena kutukan periode kedua, setelah terpilih kembali maka terjadi konsolidasi kekuasaan.
"Terus muncullah ada perasaan inilah peluang terakhir kali untuk menguangkan kekuasaan, karena kan setelah ini selesai," kata mantan Menteri Perdagangan dan Kepala BKPM periode pertama pemerintahan Jokowi Ini.
BACA JUGA: Ini Daftar Lengkap Pejabat dan Tugas Pokok Satgas Kelapa Sawit yang Baru Dibentuk Jokowi
Ia menyebut, dalam kondisi itu maka muncul motivasi untuk berbondong-bondong dalam memaksimalkan peluang kekuasaan.
"Muncullah motivasi berbondong-bondong, gimanalah caranya maksimalkan peluang untuk menguangkan kekuasaan," kata Tom Lembong.
Tom Lembong juga mengingatkan soal perlunya transparansi dalam perumusan dan pelaksanaan kebijakan oleh negara.
"Karena kan transparansi itu berkaitan dengan korupsi. Oleh karena itu masyarakat sipil harus dilibatkan. Perlu dialog publik," tegas Tom Lembong.
Sebelumnya, pemerintah sejak tiga tahun lalu telah menempuh upaya penerapan denda administrasi berupa pembayaran denda terhadap keberadaan 3,3 juta hektare kebun kelapa sawit dalam kawasan hutan. Kebijakan ini diinisiasi sebagai bagian dari implementasi Undang-undang Cipta Kerja pada sektor kehutanan, sebagaimana dirumuskan dalam pasal 110A dan pasal 110B UU Cipta Kerja.
Langkah penerapan denda terhadap penguasa kebun sawit dalam kawasan hutan diawali dengan gencarnya gerakan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) melakukan inventarisasi keberadaan usaha di dalam kawasan hutan tanpa izin sejak 2021 lalu.
Setidaknya ada 12 pucuk surat keputusan telah diteken Menteri LHK Siti Nurbaya yang memuat data dan informasi tentang keberadaan usaha, khususnya kebun sawit dan tambang dalam kawasan hutan tanpa izin.
Pendataan usaha khususnya kebun sawit dalam kawasan itu dilakukan KLHK sebagai tahapan penyelesaian masalah keterlanjuran penguasaan hutan tanpa izin (ilegal) mengacu pada Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 Cipta Kerja yang telah diubah menjadi Undang-undang Nomor 6 Tahun 2023. Adapun rujukan penting tentang pola penyelesaian masalah kebun sawit ilegal dalam kawasan hutan diatur pada pasal 110A dan pasal 110B undang-undang tersebut.
Pada kluster kategori Pasal 110A melingkupi perkebunan kelapa sawit yang telah terbangun, mempunyai izin usaha perkebunan, dan sesuai tata ruang pada saat izin diterbitkan, namun statusnya saat ini berada pada kawasan hutan produksi, kawasan hutan lindung, dan kawasan hutan konservasi.
Sementara, Pasal 110B mengatur mengenai penyelesaian perkebunan kelapa sawit yang telah terbangun di dalam kawasan hutan produksi, kawasan hutan lindung, dan kawasan hutan konservasi namun tidak mempunyai perizinan di bidang kehutanan.
Sementara, skema penyelesaiannya akan ditempuh melalui pengenaan sanksi administrasi berupa kewajiban membayar denda administratif di bidang kehutanan. Secara teknis, perhitungan denda diatur lewat Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2021 Tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif dan Tata Cara Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berasal dari Denda Administratif di Bidang Kehutanan.
Pemberlakukan kebijakan penerapan denda berdasarkan pasal 110A dan 110B Undang-undang tentang Cipta Kerja telah berakhir batas waktunya pada 3 November 2023 lalu. Batasan waktu itu mengacu pada tiga tahun setelah UU Cipta Kerja disahkan.
Potensi Penerimaan Negara Rp 50 Triliun
Sebelumnya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya menyebut proyeksi penerimaan negara dari denda kebun kelapa sawit dalam kawasan hutan mencapai Rp 50 triliun. Namun, penanganan soal dendanya akan dilaksanakan oleh Satuan Tugas (Satgas) Tata Kelola Kelapa Sawit yang dibentuk Presiden Jokowi. Adapun Ketua Pengarah Satgas Sawit ini dipimpin oleh Menko Marves Luhut Binsar Panjaitan dan Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara sebagai Ketua Pelaksana Satgas Sawit.
"Diproyeksikan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) Rp 50 triliun. Tapi di-enforce oleh satgas nasional yang diketuai oleh Wakil Menteri Keuangan," kata Siti Nurbaya dalam rapat kerja bersama Komisi IV DPR yang disiarkan lewat channel YouTube, Selasa (13/6/2023) lalu.
Siti Nurbaya menyebut KLHK dalam penanganan denda kebun sawit tersebut akan memberikan dukungan data kepada Satgas Tata Kelola Kelapa Sawit.
"Jadi telah ditangani oleh Satgas," katanya saat itu.
Diketahui sejak 2021 lalu, Menteri LHK Siti Nurbaya telah menerbitkan sebanyak 12 pucuk surat keputusan berisi daftar dan informasi tentang penguasaan hutan tanpa izin. SK terbaru diterbitkan pada 5 April 2023 lalu berisi 30 subjek hukum tambahan yang akan mendapat program pengampunan keterlanjuran penggunaan kawasan hutan tanpa izin.
Subjek hukum adalah istilah (nomenklatur) yang dipakai Kementerian LHK merujuk pada kelompok penguasa hutan ilegal (tanpa izin), meliputi korporasi, koperasi, kelompok tani, individu, kelompok masyarakat dan lembaga instansi pemerintah.
Sebelumnya, dalam 11 SK terdahulu yang diteken Menteri Siti, jumlah subjek hukum pengguna hutan tanpa izin ada sebanyak 2.671 subjek hukum. Dengan demikian, saat ini sudah ada sebanyak 2.701 subjek hukum yang terdata di KLHK.
Kawasan hutan itu mayoritas telah dialihfungsikan secara ilegal menjadi kebun kelapa sawit. Adapun lokasi penguasaan hutan ilegal terluas berada di Provinsi Riau.
Tahun Politik
Sebelumnya, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menyorot secara keras kebijakan pengampunan kejahatan hutan yang ditempuh pemerintah tersebut. Dalih program pengampunan keterlanjuran penggunaan kawasan hutan tanpa izin di tahun politik yang memanas dituding sengaja diciptakan sebagai ruang transaksional para elit politik kekuasaan.
“Tidak berlebihan jika kita sebut Pasal 110A dan 110B (Undang-undang Cipta Kerja) merupakan ruang transaksional yang sengaja dibuat untuk mempertemukan kepentingan korporasi dan para elit di tahun politik. Korporasi dapat pengampunan, para elit dapat ongkos politik,” kata Uli Arta Siagian, Manager Kampanye Hutan dan Kebun Walhi Nasional dalam siaran pers, Jumat (14/4/2023) lalu.
Menurut Uli Arta, pengampunan kejahatan kehutanan melalui Undang-undang Cipta Kerja melaju cepat di tahun politik. Uli menyebut dipastikan KLHK akan menyelesaikan program pengampunan ini sebelum 2 November 2023, sebagaimana mandat 110 A dan 110 B.
"Tentunya batas tenggang waktu ini bukan tanpa konteks yang jelas," jelas Uli.
Berdasarkan tahapan pemilu, pada 19 Oktober 2023 hingga 25 November 2023 adalah masa waktu pendaftaran presiden dan calon wakil presiden, gubernur dan calon wakil gubernur, serta bupati dan calon wakil bupati. Maka setidaknya awal November konsolidasi kepentingan antara, partai-partai politik dan pemberi biaya sudah harus selesai. Hal ini diperkuat dengan proses yang begitu tertutup oleh KLHK.
Uli juga menambahkan subjek hukum selain korporasi juga patut diperiksa lebih jauh. Pasalnya, dalam SK diidentifikasi individu-individu yang memiliki kebun sawit di hutan dengan luasan di atas 25 hektar.
Uli Arya mencuplik temuan dari terbitnya SK Menteri LHK tahap XI di mana teridentifikasi sebanyak 31 individu yang memiliki kebun sawit di atas 25 hektar. Selain individu, kelompok tani dengan komoditas sawit juga rentan dijadikan modus oleh korporasi untuk bisa mendapatkan pengampunan.
"Fakta-fakta yang sering ditemui di lapangan, korporasi membentuk kelompok plasma yang anggotanya merupakan karyawan-karyawan perusahaannya, ataupun beberapa kelompok masyarakat, untuk bisa mendapatkan akses legal di kawasan hutan”, kata Uli. (R-03)