Ngeri! Pembela Lingkungan Indonesia Makin Terancam Sejak Omnibus Law, Ini Data Lengkap Penyebaran dan Jenis Kasusnya
SABANGMERAUKE NEWS, Riau - Kasus ancaman terhadap pembela lingkungan di Indonesia kian mengkhawatirkan. Tiap tahunnya sejak 2014 hingga 2023, peningkatan kasus ancaman terhadap pembela lingkungan makin melonjak.
Kasus terbaru yakni digugatnya Profesor Bambang Hero oleh perusahaan kelapa sawit di Riau, yakni PT Jatim Jaya Perkasa (JJP). Guru besar bidang forensik kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB University) tersebut digugat sebesar Rp501 miliar di Pengadilan Negeri Cibinong awal tahun ini. Ini adalah gugatan kali kedua yang ditujukan ke Profesor Bambang oleh PT JJP, setelah pada 2018 lalu perusahaan itu mencabut lebih awal gugatannya sebelum masuk ke materi persidangan.
Profesor Bambang digugat lantaran memberikan keterangan ahlinya dalam persidangan kebakaran lahan PT JJP di Pengadilan Negeri Jakarta Utara. Ia dihadirkan oleh Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup (KLHK) sebagai ahli, hingga akhirnya Mahkamah Agung menghukum PT JJP ratusan miliar dalam bentuk denda dan biaya pemulihan atas terbakarnya lahan perusahaan seluas 1.000 hektare.
Mengutip Auriga Nusantara, tindakan PT JJP diduga merupakan Strategic Lawsuit Against Public Participation (SLAPP). Tindakan ini acap kali dilakukan pihak yang terganggu oleh upaya penyelamatan sumber daya alam dan lingkungan hidup.
Auriga Nusantara menyebut, kurun waktu 2014-2023, setidaknya terjadi 133 tindakan SLAPP atau ancaman terhadap pembela lingkungan di Indonesia. Angka ini dicatat Auriga Nusantara dengan mengumpulkan informasi yang tersedia di ruang publik dan atau disampaikan langsung oleh korban dan atau pihak lain yang mengetahui ancaman tersebut.
Peningkatan kasus ancaman terhadap pembela lingkungan kembali melonjak pada 2021 bila dibandingkan 2020, ketika omnibus law (Undang-undang Cipta Kerja) disahkan.
Adapun rincian kasus ancaman terhadap pembela lingkungan, yakni pada 2014 sebanyak 5 kasus, tahun 2015 sebanyak 5 kasus, 2016 terdapat 2 kasus dan 2017 terjadi 14 kasus.
Sementara pada 2018 terjadi 4 kasus, di tahun 2019 ada 8 kasus, tahun 2020 melonjak menjadi 14 kasus dan di tahun 2021 terjadi 24 kasus. Pada tahun 2022 terjadi 27 kasus dan terus meningkat pada 2023 sebanyak 30 kasus.
Meski Indonesia telah meratifikasi Deklarasi Universal HAM PBB, kovenan hak sipil dan politik, kovenan hak ekonomi, sosial dan budaya, dan deklarasi pembela hak asasi manusia yang dalam semangatnya termasuk melindungi pembela lingkungan, namun regulasi maupun kebijakan melindungi pembela lingkungan jauh dari memadai.
Tak sedikit peraturan perundangan yang justru membuka ruang ancaman terhadap pembela lingkungan. Seperti UU ITE yang memenjarakan kritik dengan dalih nama baik, UU Minerba yang memasukkan protes pertambangan sebagai tindakan kriminal.
"Bahkan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang dapat dipelintir hanya sekedar untuk membuat para pembela lingkungan meringkuk di tahanan sehingga menghentikannya membela sumber daya alam dan lingkungan," demikian pernyataan Auriga Nusantara.
Upaya perlindungan terhadap pembela lingkungan oleh negara muncul secara sporadis, namun semuanya berupa aturan teknis (aturan ini tentu sangat mungkin diabaikan bila dibenturkan dengan di atasnya).
Misalnya Pedoman Jaksa Agung Nomor 8 Tahun 2022 yang pada intinya mengarahkan jaksa untuk lebih melindungi pembela lingkungan atau membuka ruang membebaskannya bila penyidik melakukan kriminalisasi. Mahkamah Agung pun telah menerbitkan PERMA Nomor 1 Tahun 2023 sebagai panduan bagi hakim untuk memberikan perlindungan hukum terhadap hak-hak pembela lingkungan hidup.
"Pedoman Jaksa maupun Peraturan Mahkamah Agung di atas tidak cukup untuk mencegah pembela lingkungan menjadi korban kriminalisasi," tulis Auriga Nusantara.
Meningkatnya ancaman terhadap pembela lingkungan terjadi lantaran rendahnya jaminan hukum terhadap mereka, tingginya kriminalisasi, maupun tiadanya efek jera terhadap pelaku kekerasan.
"Ini menunjukkan negara belum sepenuhnya hadir melindungi pembela lingkungan. Saatnya negara hadir mengisi kekosongan-kekosongan tersebut, seperti menerbitkan peraturan yang memberikan jaminan perlindungan terhadap pembela lingkungan. Goodwill dan political will pemerintah juga harus tampak jelas karena apa yang dilakukan pembela lingkungan, yakni menjaga dan melestarikan kekayaan alam Indonesia, adalah pemenuhan sebesar-besarnya kemakmuran sebagaimana diamanatkan konstitusi," tegas Auriga Nusantara.
Ancaman terhadap pembela lingkungan tersebar di seluruh pulau besar Indonesia. Dilansir dari Environmental Defender, tercatat 133 kasus ancaman terhadap pembela lingkungan yang terdokumentasi.
Kasus terbanyak terjadi di Jawa (36 kasus), disusul Sumatera (30 kasus), Sulawesi (23 kasus), Kalimantan (22 kasus), Bali dan Nusa Tenggara (15 kasus), Kepulauan Maluku (5 kasus), dan Tanah Papua (2 kasus). Berikut datanya tiap provinsi:
1. Jawa Tengah (11 kasus)
2. Jawa Timur (10 kasus
3. Kalimantan Tengah (10 kasus)
4. Nusa Tenggara Timur (10 kasus)
5. Sumatera Utara (10 kasus)
6. DKI Jakarta (8 kasus)
7. Jawa Barat (7 kasus)
8. Sulawesi Tenggara (7 kasus)
9. Sulawesi Utara (7 kasus)
10. Kalimantan Timur (5 kasus)
11. Sulawesi Tengah (5 kasus)
12. Bengkulu (4 kasus)
13. Jambi (4 kasus)
14. Kalimantan Barat (4 kasus)
15. Kepulauan Bangka Belitung (4 kasus)
16. Maluku Utara (4 kasus)
17. Sulawesi Selatan (4 kasus)
18. Nusa Tenggara Barat (4 kasus)
19. Kalimantan Selatan ( 3 kasus)
20. Sumatera Barat (3 kasus)
21. Aceh (2 kasus)
22. Kepulauan Riau (2 kasus)
23. Papua (1 kasus)
24. Papua Barat (1 kasus)
25. Maluku (1 kasus)
26. Bali (1 kasus)
27. Sumatera Selatan (1 kasus)
Adapun ancaman terhadap pembela lingkungan hidup terjadi pada sejumlah sektor yakni:
1. Pertambangan dan energi: 60 kasus
2. Perkebunan: 34 kasus
3. Kehutanan: 14 kasus
4. Agraria dan tanah adat: 9 kasus
5. Perikanan dan maritim: 9 kasus
6. Lingkungan hidup: 7 kasus
Sementara itu, jenis ancaman yang dialami oleh para pembela lingkungan terdiri dari:
1. Kriminalisasi: 82 kasus
2. Kekerasan fisik: 20 kasus
3. Intimidasi: 15 kasus
4. Pembunuhan: 12 kasus
5. Imigrasi atau deportasi: 2 kasus
6. Perusakan properti: 2 kasus
Kurun tahun 2014-2023 terdapat setidaknya 13 orang pembela lingkungan yang dibunuh karena aktivitas pembelaannya terhadap lingkungan, yakni:
1. Maradam Sianipar di Sumatera Utara
2. Martua Siregar di Sumatera Utara
3. Golfrid Siregar di Sumatera Utara
4. Erni Pinem di Sumatera Utara
5. Jurkani di Kalimantan Selatan
6. Sabriansyah di Kalimantan Selatan
7. Indra Pelani di Jambi
8. Yopi Perangiangin di Jakarta
9. Salim Kancil di Jawa Timur
10. Gijik di Kalimantan Tengah
11. Erfaldi Erwin Lahadado di Sulawesi Tengah
12. Arman Damopolii di Sulawesi Utara
13. Marius Batera di Tanah Papua
Ancaman terhadap pembela lingkungan cenderung meninggi tahun demi tahun, terutama pada periode kedua pemerintahan Jokowi yang konsisten meningkat tahun demi tahun.
Tahun-tahun menjelang pemilu juga menunjukkan tren meningkatnya ancaman terhadap pembela lingkungan. Indonesia saat ini sedang bersiap menghadapi Pemilu 2024 yang mana tidak hanya pemilihan presiden dan parlemen baik pusat maupun daerah, tapi juga pemilihan kepala daerah serentak di 548 daerah.
"Sehingga sangat mungkin berimbas pada meningkatnya ancaman terhadap pembela lingkungan hingga akhir tahun 2024," tulis Environmental Defender. (*)