Dagang Perkara di Mahkamah Agung Kian Terbongkar: Mulai Dari Pengaturan Majelis Hakim Sampai Tarif Putusan Perkara
SABANGMERAUKE NEWS, Jakarta - Sisi gelap dagang perkara di Mahkamah Agung kian terbongkar. Satu per satu tudingan terhadap perilaku oknum Hakim Agung yang memasang tarif perkara pun dibuka.
Setidaknya hal itu terkuak dalam persidangan lanjutan kasus suap perkara di Pengadilan Tipikor PN Bandung, Rabu (14/6/2023). Nama Hakim Agung Takdir Rahmadi pun terseret dan disebut sejumlah saksi di persidangan. Ia bahkan disebut memiliki tarif ratusan juta rupiah untuk bisa memuluskan perkara yang diajukan ke Mahkamah Agung.
Cerita itu dibeberkan Staf Kepaniteraan Kamar Perdata MA, Muhajir Habibie saat bersaksi untuk terdakwa hakim yustisial Edy Wibowo sekaligus asisten hakim agung Takdir Rahmadi dan Ketua Yayasan RS Sandi Karsa Makassar Wahyudi Hardi. Muhajir telah berstatus sebagai terdakwa dalam pusaran kasus suap di lingkungan MA.
Sebagaimana diketahui, Edy Wibowo telah didakwa secara bersama-sama menerima suap Rp 500 juta dan SGD 202 ribu. Ia disebut berperan sebagai penghubung ke Hakim Agung Takdir Rahmadi supaya mengabulkan perkara kasasi dengan nomor 1262K/Pdt.Sus-Pailit/2022 yang diajukan Yayasan Rumah Sakit Sandi Karsa Makassar. Selain itu juga agar menolak permohonan Peninjauan Kembali (PK) Nomor 43PK/Pdt.Sus-Pailit/2022 KSP Intidana.
Sementara Wahyudi Hardi, didakwa sebagai pemberi suap sebesar Rp 500 juta. Uang itu telah disiapkan supaya permohonan kasasi Nomor 1262 K/Pdt.Sus-Pailit/2022 dari Yayasan Rumah Sakit Sandi Karsa Makassar dikabulkan.
Dalam kesaksiannya, Muhajir mengatakan pusaran kasus suap itu bermula saat ia dikenalkan oleh seseorang bernama Ramli dengan Wahyudi Hardi sekitar Agustus 2022. Wahyudi pun saat itu meminta bantuan Muhajir supaya permohonan kasasi kepailitan yang diajukan yayasan rumah sakitnya di tingkat MA bisa dibantu untuk diurus.
Di pertemuan itu, Wahyudi juga menjanjikan uang sebesar Rp 250 juta kepada Muhajir jika kasasinya bisa dikabulkan. Muhajir lantas menyanggupi permohonan itu dan langsung meminta bantuan kepada Albasri, staf Takdir Rahmadi yang bertugas di Kamar Pembinaan Mahkamah Agung.
"Saya menyampaikan kepada Pak Wahyudi, coba koordinasi dulu. Ternyata pas bertemu itu nomor registernya sudah ada, majelisnya juga sudah ada. Nomor perkaranya 1262 dan ketua majelisnya Prof Takdir, panitera penggantinya Pak Edy Wibowo," kata Muhajir di Pengadilan Tipikor Bandung, Rabu (14/6/2023).
Muhajir kemudian menghubungi Albasri yang dianggapnya bisa menghubungkan permintaan ini kepada Takdir Rahmadi melalui asistennya, Edy Wibowo. Ia juga menyampaikan akan disiapkan uang Rp 250 juta untuk mengurus perkara ini. Albasri kata Muhajir, menyanggupinya dan mengatakan akan mengkoordinasikan hal tersebut.
Tak lama setelah itu, Albasri menghubungi balik Muhajir. Albasri menurut keterangannya, meminta tambahan uang jika nanti perkara kasasinya bisa dikabulkan. Kemudian dari obrolan tersebut, keluarlah angka Rp 500 juta supaya perkara ini bisa diurus seseuai permintaan.
"Itu (tarif Rp 500 juta) keluar dari Albasri. Saya tidak tahu itu inisiatif dia atau dari siapa," ucapnya.
Setelah tarifnya disepakati, Albasri kembali mengatakan bahwa perkara kasasi tersebut bisa dikabulkan melalui keputusan majelis hakim yang diketuai Hakim Agung Takdir Rahmadi. Albasri juga meminta ke Muhajir supaya uangnya segera disiapkan sebelum perkara itu diputus pada 14 September 2022.
Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK Wawan Sunaryanto lantas menanyakan mengenai tarif ratusan juta tersebut. Menurut Muhajir, itu sudah menjadi pola dari dulu jika perkaranya ditangani Takdir Rahmadi, maka harus ada uang terlebih dahulu yang diberikan supaya permohonan yang diajukan bisa dikabulkan.
"Iya, benar. Sama-sama paham dengan Albasri kalau seperti itu (penyerahan uang terlebih dahulu jika ketua majelisnya Hakim Agung Takdir Rahmadi). Saya tidak tahu itu (permintaan) dari Prof (Takdir) atau Pak Edy. Tapi pikiran saya pada saat itu (permintaan dari) Pak Edy. Karena Albasri mengkoordinasikan dulu dengan Pak Edy," tutur Muhajir.
Muhajir kemudian meminta kepada Wahyudi Hardi untuk segera menyiapkan uangnya sebelum perkara itu diputus 14 September 2022. Uang Rp 500 juta pun kemudian diserahkan bertahap dalam 2 kali yaitu di Makassar dan di Jakarta.
"Setelah sidang, disampaikan Albasri hasilnya sesuai. Putusannya Kabul dan sesuai dengan permohonan Setelah tanggal 14 itu saya bertemu dan Albasri menyerahkan uang Rp 10 juta ke saya. Karena menurut dia, dia dapat uang Rp 25 juta. Uangnya diserahkan di mobil, di parkiran depan masjid Mahkamah Agung," ungkapnya.
Perkara suap yang diduga melibatkan Hakim Agung Takdir Rahmadi kembali berlanjut saat ada permintaan untuk menolak PK kasasi kepailitan KSP Intidana. Saat itu, pihak yang telah dimenangkan pada perkara kasasi sebelumnya yaitu Heryanto Tanaka dan Ivan Dwi Kusuma melalui pengacaranya Theodorus Yosep Parera dan Eko Suparno, meminta supaya permohonan PK itu ditolak.
Muhajir pun mendapat permintaan itu melalui perantara PNS MA lainnya, Desy Yustria. Pada intinya, Desy meminta bantuan kepada Muhajir supaya bisa mengurus penunjukan Hakim Agung yang nantinya bakal menolak permohonan PK yang diajukan.
"Desy menyampaikan, kira-kira mas, ketika PK pailit dilanjutkan, itu majelis PK-nya siapa. Bisa enggak diamankan. Saya sampaikan ke Desy, kalau di tingkat kasasi ketua majelisnya adalah hakim senior, dalam hal ini Hakim Agung yang sudah lama, biasanya di PK pimpinan yang akan menjadi pemutusnya atau ketua majelisnya," ujarnya.
Dari situ, Muhajir mengaku sesuai kebiasaan yang telah diamatinya, ada dua kemungkinan Hakim Agung yang akan ditunjuk untuk menjadi ketua majelis. Yaitu Hakim Agung I Gusti Agung Sumanatha dan Hakim Agung Takdir Rahmadi.
Muhajir kemudian menawarkan perkara itu ke Desy diatur supaya ketua majelisnya adalah Hakim Agung Takdir Rahmadi. Sebab ia meyakini, Hakim Agung Takdir Rahmadi bisa memenuhi permintaan dari Heryanto Tanaka cs mengenai penolakan PK kasasi kepailitan KSP Intidana. Alasannya pun kata dia sederhana yaitu Takdir Rahmadi lebih akurat karena sudah ada permintaan di awal pengurusan perkara.
"Saya sampaikan ke Desy, kalau memang bisa, nanti coba saya koordinasikan (hubungkan) ke prof (Takdir Rahmadi). Karena sudah kebiasaan di prof itu lebih akurat karena mintanya di awal. Itu bahasa saya ke Desy," ungkapnya.
Desy kemudian mengiyakan rekomendasi Muhajir. Ia lantas meminta bantuan kembali ke Albasri supaya bisa menjadi penghubung ke Takdir Rahmadi melalui asistennya Edy Wibowo. Meski sempat tidak menemui kejelasan di awal pengurusan perkara, namun ternyata, ketua majelis yang ditunjuk untuk menangani PK ini adalah Takdir Rahmadi.
Muhajir lantas menghubungi Desy kembali supaya segera menyiapkan uang dari Heryanto Tanaka cs selaku pemesan permohonan tersebut. Desy kemudian kata Muhajir, memastikan biaya untuk tidak dikabulkan PK kasasi ini sudah disiapkan senilai Rp 2 miliar. Dalam dakwaan rupanya uang yang disapkan adalah sebesar SGD 202 ribu.
Sebelum uang itu diterima Desy, keduanya sudah sepakat untuk menyiapkan uang sekitar Rp 250 juta untuk Takdir Rahmadi. Sebab menurut keduanya, kisaran tarif penunjukan Takdir Rahmadi sebagai majelis saja mencapai Rp 150-250 juta.
"Apakah ada pembicaraan dengan Desy mengenai seting majelis supaya ke Prof Takdir?" tanya JPU KPK.
"Jadi itu Desy mengharapkan Prof takdir supaya jadi ketua majelisnya. Saya menyampaikan, jadi saya berpikir itu hanya spekulasi saya saja waktu itu. Kan ditanya, kira-kira berapa, mas, kata Desy. Coba Des 250 (Rp 250 juta). Karena range-nya itu dua, 150 dan 250 supaya prof jadi ketua majelisnya," tutur Muhajir.
Menurut Muhajir, uang itu disiapkan hanya untuk kebutuhan setelah Takdir Rahmadi ditunjuk menjadi ketua majelis. Jika perkaranya sesuai pesanan, maka uang senilai Rp 2 miliar sudah disiapkan termasuk dibagi untuk Takdir Rahmadi melalui perantara Albasri ke Edy Wibowo.
Uang senilai Rp 2 miliar kemudian sudah Desy terima pada 21 September 2022. Namun di malam harinya, Desy terkena OTT KPK dan uang haram tersebut tak jadi dibagikan ke sejumlah pihak yang mengurus perkara tersebut.
Di persidangan terpisah, Albasri, staf Takdir Rahmadi yang bertugas di Kamar Pembinaan Mahkamah Agung juga turut menyampaikan kesaksiannya. Albasri sendiri sudah ditetapkan sebagai terdakwa dalam pusaran kasus suap MA tersebut.
Dalam keterangannya, Albasri mengaku setelah menerima uang Rp 500 juta dari Muhajir untuk pengurusan kasasi kepailitan Yayasan Rumah Sakit Sandi Karsa Makassar yang diajukan Wahyudi Hardi. Ia lalu mengantarkan uang tersebut ke ruangan asisten Takdir Rahmadi, Edy Wibowo. Dari uang haram tersebut, ia mendapat Rp 25 juta lalu turut dibagi Rp 10 juta kepada Muhajir Habibie.
Kemudian sisanya, diakui Albasri langsung diantar ke ruangan Edy Wibowo. Uang tersebut diserahkan dengan cara dibungkus dalam plastik berwarna hitam dan disimpan di bawah mejanya Edy Wibowo selaku asisten Takdir Rahmadi.
"Betul, uang itu saya simpan di ruang saya. Setelah paginya putus, lalu siang, karena ruangan kosong, uang itu taruh diletakan di meja kerjanya (Edy Wibowo)," pungkasnya. (*)