Sidang Suap PT Adimulia Agrolestari dan TPPU Terdakwa Eks Kakanwil BPN Riau Syahrir Ditunda Gara-gara Ini
SABANGMERAUKE NEWS, Riau - Persidangan lanjutan perkara dugaan suap PT Adimulia Agrolestari dan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) dengan terdakwa eks Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional (Kakanwil BPN) Riau, Muhammad Syahrir, Senin, (22/5/2023) batal digelar. Sidang baru akan dilaksanakan besok Selasa (26/5/2023).
Penundaan ini terjadi lantaran terdakwa Syahrir pada saat bersamaan menjadi saksi di Pengadilan Negeri Palembang.
"PU (Penuntut Umum) tidak dapat menghadirkan terdakwa karena terdakwa ada agenda memberikan keterangan sebagai saksi di persidangan pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Klas IA Khusus Palembang yang dilaksanakan pada hari Senin tanggal 22 Mei 2023," demikian tertulis di laman Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) PN Pekanbaru, Senin.
Perkara dengan nomor registrasi 18/Pid.Sus-TPK/2023/PN Pbr ini sudah menjalani sebanyak enam kali persidangan. Adapun agenda yang bergulir saat ini sudah dalam tahap pemeriksaan saksi-saksi.
Aliran Uang dari Perusahaan
Dalam persidangan pekan lalu, terungkap kalau Mantan Kepala Kantor Wilayah BPN Riau, Syahrir ternyata tak hanya menerima uang suap dari PT Adimulia Agrolestari (AA) dalam pengurusan perpanjangan hak guna usaha (HGU) kebun sawit perusahaan. Namun, sejumlah perusahaan perkebunan lainnya juga 'dipeloroti' uang mencapai miliaran rupiah. Salah satunya bersumber dari PT Eka Dura Indonesia, perusahaan perkebunan kelapa sawit di Rokan Hilir.
Pejabat legal PT Eka Dura Indonesia, Ahmad Fahmy Halim dalam kesaksian pada persidangan Selasa (16/5/2023) mengaku menyerahkan uang kepada Syahrir sebesar Rp 1 miliar.
Adapun uang tersebut merupakan permintaan Syahrir untuk memuluskan proses pengajuan HGU. Jumlah uang yang awalnya diminta Syahrir, kata Ahmad sebesar Rp 5 miliar. Namun perusahaan tak bisa menyanggupi.
Belakangan, uang yang diduga diminta Syahrir berkurang menjadi Rp 3,5 miliar dan turun lagi menjadi Rp 2,5 miliar. Tapi, PT Eka Dura hanya bisa menyanggupi sebesar Rp 1 miliar.
Ahmad menjelaskan, penyerahan uang dilakukan di rumah dinas Syahrir di Jalan Kartini, Pekanbaru. Namun, sebelumnya Ahmad telah bertemu dengan Syahrir di ruang kerja Kantor BPN Riau di Jalan Pepaya.
Ahmad lantas membawa uang yang sudah disiapkan di dalam mobil dan dikemas pada sebuah tas koper merek President. Di rumah dinas Syahrir, seorang perempuan bernama Mila sudah menunggu. Mila merupakan keponakan Syahrir.
"Koper saya serahkan di rumah dinas kepada perempuan Mila. Lalu saya langsung pulang," kata Ahmad.
Mila yang juga dihadirkan dalam persidangan tak membantah telah menerima tas koper dari Ahmad.
"Benar saya menerimanya, Pak, " kata Mila.
Mila rupanya telah dititipkan pesan oleh Syahrir, kalau saat penyerahan koper tidak perlu membuat tanda terima atau pun difoto.
"Kalau dia minta foto dan tanda tangan jangan mau," ujar Mila.
Koper tersebut kemudian disimpan Mila di dalam kamar rumah. Kemudian ia kembali masuk kantor.
Penyerahan koper dilakukan Mila kepada Syahrir pada sore harinya. Mila menyebut kalau Syahrir telah menerima koper yang dititipkan tersebut.
Dalam persidangan tadi, Syahrir beralibi kalau koper tersebut bukan berisi uang. Ia menyebut kalau koper hanyalah berisi pakaian kerabatnya bernama Rusdi yang tertinggal dan mau dibawa ke Pelalawan.
Uang Dari Perusahaan Lain
Ikhwal adanya penyerahan uang kepada eks Kakanwil BPN Riau Syahrir ternyata tak hanya dilakukan oleh PT Adimulia Agrolestari. Surat dakwaan jaksa KPK mengungkap sejumlah perusahaan perkebunan kelapa sawit di Riau diduga memberikan uang kepada Syahrir. Fulus diberikan diduga berkaitan dengan proses pengurusan sertifikat tanah dan HGU perusahaan.
Jaksa Penuntut Umum KPK, Rio Fandi dalam surat dakwaannya menyebut selama bertugas menjadi Kakanwil BPN Riau, Syahrir menerima uang untuk pengurusan hak atas tanah dari sejumlah perusahaan. Tak hanya dari PT Adimulia Agrolestari, namun juga dari korporasi kelapa sawit besar lainnya di Riau.
Di antaranya, dakwaan KPK menyebut nama-nama sejumlah perusahaan seperti PT Permata Hijau, PT Ekadura Indonesia, PT Safari Riau dan PTP Nusantara V.
KPK juga menyebut nama perusahaan lain yakni PT Surya Palma Sejahtera, PT Sekar Bumi Alam Lestari, PT Sumber Jaya Indahnusa Coy, PT Meridan Sejati Surya Plantation.
Dalam uraiannya, jaksa KPK menyebut Syahrir juga menerima uang dari pegawai di lingkungan Kanwil BPN Provinsi Riau. Pemberian uang dari anak buahnya itu terkait pengurusan izin HGU perusahaan, pengurusan tanah dan pihak lainnya yang memiliki hubungan kerja dengan Kanwil BPN Provinsi Riau.
Di antara pegawai BPN yang disebut menyerahkan uang kepada Syahrir yakni Risna Virgianto yang adalah Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Kuantan Singingi tahun 2019-2021. Uang disebut diterima Syahrir memang kecil yakni Rp 15 juta.
Selain itu, juga ada pemberian dari seorang bernama Satimin terkait pengurusan tanah terlantar/ permohonan HGU PT Peputra Supra Jaya pada tahun 2020 sebesar Rp20 juta.
Aliran uang lain yang disebut dalam dakwaan KPK diberikan oleh Jusman Bahudin terkait pendaftaran HGU PT Sekarbumi Alam Lestari sebesar Rp 80 juta. Lalu ada juga dari Ahmad Fahmy Halim terkait perpanjangan HGU PT Eka Dura Indonesia sebesar Rp 1 miliar.
Seorang notaris di Kampar bernama Siska Indriyani disebut memberikan uang sebesar Rp 30 juta.
Pemberian lain diperoleh dari Indra Gunawan terkait pengurusan HGU PT Safari Riau/ PT ADEI Plantation & Industry sebesar Rp 10 juta.
Nama lain yang disebut yakni Suhartono terkait pengurusan perpanjangan HGU First Resource Group yang meliputi afiliasi perusahaan antara lain PT Riau Agung Karya Abadi, PT Perdana Inti Sawit Perkasa, PT Surya Intisari Raya dan PT Meridan Sejati Surya Plantation sebesar Rp 15 juta.
SabangMerauke News belum dapat mengonfirmasi ke majemen perusahaan yang disebut dalam dakwaan KPK tersebut.
Sidang pimpin majelis hakim diketuai Salomo Ginting dan dua hakim anggota yakni Yuli Artha Pujayotama dan Yelmi.
Total Suap Rp 20,97 Miliar
Adapun total uang dugaan gratifikasi yang diterima Syahrir mencapai Rp 20,97 miliar yang tidak pernah dilaporkan oleh terdakwa kepada KPK sampai dengan batas waktu 30 hari kerja sebagaimana ditentukan oleh undang-undang.
Total uang yang diterima Syahrir tersebut adalah akumulasi saat ia menjabat di Kakanwil BPN Maluku Utara dan Kakanwil BPN Riau. Rinciannya, sebesar Rp 5,78 miliar diterima saat menjabat Kakanwil BPN Provinsi Maluku Utara dan Rp 15,18 miliar saat menjadi Kakanwil BPN Provinsi Riau.
Jaksa KPK menyebut uang itu diterima dari perusahaan-perusahaan/ perwakilan perusahaan-perusahaan yang mengurus permohonan hak atas tanah dan dari para pihak ASN di lingkungan Kanwil BPN Provinsi Maluku Utara dan Kanwil BPN Provinsi Riau.
Saat bertugas di Kanwil BPN Maluku Utara sejak tahun 2017 hingga 2019, Syahrir disebut menerima uang dari PT Jababeka Morotai, PT Industrial Wedabay Industrial Park (IWIP), PT Teka Mining Resources dan PT PLN dalam pengurusan hak atas tanah.
Syahrir juga disebut menerima uang dari ASN di lingkungan Kanwil BPN Provinsi Maluku Utara dengan perincian penerimaan uang antara lain, dari Tentrem Prihatin (Kabid Hubungan Hukum) tahun 2018-Juni 2019 sebesar Rp16.800.000. Dari Endah Retnowati sebagai Kasi Sengketa Kanwil BPN Maluku Utara sebesar Rp15 juta dan dari Armenius Pao sebagai Kasi Pengukuran dan Pemetaan pada Kantor Pertanahan Halmahera Utara sebesar Rp10 juta.
Uang Disimpan di Bank
KPK dalam dakwaannya menyebut uang hasil gratifikasi itu ditempatkan di sejumlah rekening perbankan antara lain Bank Central Asia (BCA), Bank Negara Indonesia (BNI), Bank Mandiri, Bank Panin, Bank Maybank serta Bank Rakyat Indonesia (BRI) atas nama M Syahrir dan juga Eva Rusnati yang merupakan istri M Syahrir.
Melalui uang tersebut, sejumlah aset dibeli berupa properti tanah tersebar di sejumlah tempat serta juga untuk pembelian mobil.
"Terdakwa mengetahui atau patut menduga bahwa harta kekayaannya tersebut merupakan hasil dari tindak pidana korupsi berkaitan dengan penerimaan suap dan gratifikasi dari perusahaan/ perwakilan perusahaan yang mengurus permohonan hak atas tanah dan juga dari para pihak ASN di lingkungan Kanwil BPN Provinsi Maluku Utara dan Kanwil BPN Provinsi Riau, serta dari pihak terkait lainnya," kata jaksa KPK.
Syahrir didakwa dengan Pasal 12 huruf a dan huruf b jo Pasal 18 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU RI Nomor 31 Tahun 1999 jo. Pasal 65 ayat (1) KUHP dan Pasal 3 Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) jo Pasal 65 ayat (1) KUHP. (*)