Kasus Korupsi Dugaan Pertamax Oplosan Tak Cukup Minta Maaf: Kerugian Masyarakat Harus Dipulihkan!
Dugaan pengoplosan Pertalite menjadi Pertamax. Foto: Dok SM News
SABANGMERAUKE NEWS, Jakarta - Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta melayangkan gugatan class action terhadap Pertamina menyusul adanya dugaan pengoplosan Pertalite menjadi Pertamax.
LBH Jakarta menyoroti bahwa hingga kini belum ada pemeriksaan menyeluruh terhadap dugaan pengoplosan BBM di periode 2018-2023, meskipun Kejaksaan Agung menyatakan bahwa praktik itu memang terjadi dalam rentang waktu tersebut.
Atas dasar itu, LBH Jakarta mendesak agar pemeriksaan dilakukan oleh tim independen yang terdiri dari pakar, ahli, serta perwakilan masyarakat.
Jika tim independen tersebut menyimpulkan bahwa tidak ada pengoplosan BBM, maka kasus ini bisa dianggap selesai.
"Kami membuka posko pengaduan ini bukan untuk mencari sensasi, tapi mencari kebenaran dan keadilan. Kalau memang tidak ada pengoplosan dan hasilnya transparan, ya sudah, case closed," ujar Direktur LBH Jakarta Fadhil Alfathan, Kamis (6/3/2025).
Selama tujuh hari membuka posko pengaduan, LBH Jakarta menerima total 619 laporan dari berbagai daerah di Indonesia.
Demi keadilan
Fadhil mengatakan, gugatan class action yang akan mereka ajukan tidak fokus untuk mencari kemenangan, tetapi untuk keadilan.
"Langkah hukum yang kita ajukan ini kan enggak cari menang ya, tapi berorientasi pada keadilan," ujar Fadhil.
Fadhil mengatakan, keadilan bisa datang dalam berbagai bentuk. Terkadang, bentuknya bukan dicapai di depan meja hijau.
Seperti yang terjadi pada awal tahun 2000 lalu. Saat itu, LBH Jakarta baru pertama kali mengajukan gugatan warga untuk membela sejumlah buruh migran yang dideportasi massal dari Malaysia.
Usai dideportasi, para buruh ditempatkan sementara di Nunukan, Kalimantan Utara.
“Gugatannya pada ujungnya kalah ya, tapi kemudian dia melahirkan satu diskursus atau pembahasan bahwa penting kita melindungi orang yang selama ini disebut sebagai pahlawan devisa. Dibuatlah UU Perlindungan Pekerja Migran,” jelas Fadhil.
Dia menegaskan, dalam gugatan kali ini, LBH Jakarta berusaha mendorong hal yang sama, yaitu mengedukasi masyarakat agar tidak mau lagi dibohongi atau dicurangi korporasi besar, bahkan oleh kebijakan pemerintah.
“Warga jadi tahu, mereka ini enggak lawan tembok, tapi melawan satu entitas yang bisa digugat juga. Jadi itu, kami mau mendorong edukasi publik,” lanjut dia.
Tak cukup minta maaf
Fadhil pun menilai, permintaan maaf dari PT Pertamina (Persero) tidak cukup untuk menyelesaikan masalah yang ditimbulkan oleh isu Pertamax oplosan.
Menurut dia, permintaan maaf itu seharusnya disertai pemulihan kerugian masyarakat yang merupakan konsumen Pertamina.
“Minta maaf sebagai sikap positif ya sah-sah saja kan, kita maafkan, tapi sebagai pemulihan kerugian, kayaknya belum cukup,” ujar Fadhil.
Fadhil berpandangan, Pertamina terhitung lambat dalam menangani kegelisahan masyarakat setelah isu Pertamax oplosan ramai dibicarakan.
“Masyarakat ini kan sejak pecah peristiwa ini enggak tahu mau mengadu ke mana, baru-baru saja Pertamina konferensi pers kemudian bilang, ‘Kami bikin tim crisis center, ini nomor saya’," ujar dia.
Menurut Fadhil, LBH Jakarta sejak awal sudah mendorong agar Pertamina tidak hanya membantah isu yang beredar, tetapi harus membuat tim independen untuk mengusut dugaan yang beredar di masyarakat.
Namun, pernyataan dan sikap dari Pertamina dinilai memiliki pesan yang sama.
Sembilan tersangka
Adapun sebelumnya, Kejagung telah menetapkan sembilan tersangka atas kasus dugaan korupsi Pertamina, di mana enam di antaranya merupakan petinggi dari anak usaha atau subholding Pertamina.
Keenamnya yakni Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga Riva Siahaan (RS); Direktur Utama PT Pertamina International Shipping Yoki Firnandi (YF); Direktur Feedstock and Product Optimization PT Kilang Pertamina Internasional, Sani Dinar Saifuddin (SDS); VP Feedstock Management PT Kilang Pertamina Internasional, Agus Purwono (AP); Direktur Pemasaran Pusat dan Niaga PT Pertamina Patra Niaga, Maya Kusmaya (MK); dan VP Trading Operation PT Pertamina Patra Niaga, Edward Corne (EC).
Sedangkan, tiga broker yang menjadi tersangka yakni MKAR selaku beneficial owner PT Navigator Khatulistiwa; DW selaku Komisaris PT Navigator Khatulistiwa sekaligus Komisaris PT Jenggala Maritim; dan GRJ selaku Komisaris PT Jenggala Maritim dan Direktur Utama PT Orbit Terminal Merak.
Atas perbuatan sembilan tersangka ini, negara disebut mengalami kerugian paling tidak senilai Rp 193,7 triliun.
Para tersangka disangkakan melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 jo Pasal 18 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. (R-03)