Perceraian di Kepulauan Meranti Naik Jadi 284 Kasus Sepanjang 2024, Paling Banyak Dipicu Pertengkaran
SABANGMERAUKE NEWS, Riau - Angka perceraian di Kabupaten Kepulauan Meranti terus meningkat dan menjadi sorotan publik.
Data terbaru pada tanggal 3 Januari 2024 dari Pengadilan Agama Selatpanjang mencatat sebanyak 284 kasus perceraian sepanjang tahun 2024.
Tren ini menunjukkan peningkatan signifikan dibandingkan pertengahan tahun yang baru mencatat 123 kasus.
Rinciannya adalah, pada Januari 17 perkara, Februari 35 perkara, Maret 20 perkara, April 11 perkara, Mei 13 perkara, dan Juni 27 perkara. Selanjutnya pada bulan Juli 32 perkara, Agustus 23 perkara, September 29 perkara, Oktober 17 perkara, November 33 perkara dan Desember 26 perkara.
Dari total kasus perceraian tersebut, cerai gugat atau gugatan cerai yang diajukan istri mendominasi dengan 233 perkara, atau sekitar 78 persen dari keseluruhan kasus. Sementara itu, cerai talak yang diajukan oleh suami hanya tercatat 51 perkara.
Jika dibandingkan tahun sebelumnya, kasus cerai pada tahun 2023 tercatat sebanyak 303 kasus cerai. Dalam perjalanannya, 15 kasus gugatan cerai memilih jalur mediasi dan mencabut gugatannya, sehingga perkara yang diputuskan sebanyak 246.
Sebelumnya lagi angka perceraian pada tahun 2022 periode bulan Januari- November sebanyak 277 perkara.
Panitera Pengadilan Agama Selatpanjang, Nur Qhomariyah, mengungkapkan bahwa penyebab utama perceraian di tahun 2024 masih sama dengan tahun sebelumnya. Perselisihan dan pertengkaran yang terus menerus menjadi faktor dominan, tercatat dalam 197 perkara.
Selain itu penyebab perceraian lainnya dikarenakan karena masalah ekonomi sebanyak 43 perkara diikuti kasus perceraian karena meninggalkan salah satu pihak sebanyak 19 kasus, diakibatkan KDRT 11 kasus, karena Judi 6 kasus, dihukum penjara dan madat masing-masing 2 kasus dan terakhir akibat mabuk sehingga berujung perceraian ada 3 kasus.
Nur Qhomariyah menjelaskan bahwa setiap perkara perceraian yang diajukan wajib melalui proses mediasi sesuai dengan Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2016 tentang Mediasi. Langkah ini bertujuan untuk memberikan kesempatan kepada pasangan suami-istri untuk menyelesaikan konflik mereka secara damai sebelum melanjutkan ke persidangan.
"Yang jelas saat proses persidangan kami selaku pihak yang menyelesaikan perkara khususnya majelis hakim berkewajiban menasehati para pihak, karena terkadang ada juga hal sepele jadi penyebab keretakan dalam keluarga dan mengakibatkan adanya gugatan cerai. Kita berharap juga bagaimana untuk meminimalisir angka perceraian," tuturnya.
"Kami berharap angka perceraian tidak terus meningkat. Selama persidangan, majelis hakim selalu menasihati pihak-pihak yang bersengketa untuk mempertahankan rumah tangga mereka, terutama jika masalahnya sepele," ungkapnya lagi.
Nur Qhomariyah menyoroti pentingnya peran pemerintah daerah dan tokoh agama dalam mengatasi meningkatnya angka perceraian. Sayangnya, hingga saat ini belum ada koordinasi khusus dari pemerintah daerah terkait pencegahan perceraian.
"Anggaran kami hanya mencakup pembuatan surat gugatan, pendampingan hukum gratis, perkara prodeo, dan sidang di luar gedung. Namun, kami tidak memiliki alokasi khusus untuk penyuluhan hukum atau program pencegahan perceraian," jelasnya.
Pengadilan Agama Selatpanjang juga telah menjalin kerja sama dengan Dinas Sosial untuk mencegah pernikahan anak di bawah umur serta melakukan MoU dengan Dinas Kesehatan untuk edukasi terkait pernikahan dini.
"Kami berupaya meminimalisir pernikahan di bawah umur melalui konseling dan edukasi. Namun, untuk perceraian, kami membutuhkan dukungan lebih dari berbagai pihak, termasuk pemerintah daerah," pungkasnya.
Dengan data menunjukkan peningkatan angka perceraian dari tahun ke tahun, langkah-langkah konkret diperlukan untuk mengatasi masalah ini. Pemerintah daerah dan pemangku kepentingan lainnya diharapkan dapat lebih aktif berkoordinasi dengan Pengadilan Agama Selatpanjang demi menjaga ketahanan keluarga dan kualitas generasi penerus.(R-04)