PHR Mangkir, Rapat Disnaker Riau dengan Federasi Pertambangan Energi KSBSI Bahas Kemerosotan Hidup Buruh Kontrak Migas di Blok Rokan Jadi Garing
SABANGMERAUKE NEWS, Riau - Rapat lanjutan antara Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) Provinsi Riau bersama Federasi Pertambangan Energi (FPE) KSBSI berlangsung tanpa kehadiran dari manajemen PT Pertamina Hulu Rokan (PHR). Padahal, pertemuan yang berlangsung pada Jumat (2/8/2024) lalu bersifat urgen, karena menyangkut nasib para buruh kontrak migas yang bekerja di wilayah operasional Blok Migas Rokan yang dikelola PHR yang kondisi kesejahteraannya makin merosot saat ini.
Pertemuan tersebut hanya dihadiri oleh jajaran pengurus FPE-KSBSI Pekanbaru dan Siak, serta perwakilan dari 4 perusahaan sub kontraktor (vendor/alih daya) yang merupakan mitra kerja PHR. Keempat perusahaan yakni PT Nusa Bhakti Wiratama, PT Konsorsium Nawakara Perkasa Nusantara, PT Rezeki Surya Intimakmur dan PT Gobel Dharma Sarana Karya.
Keempat perusahaan tersebut sebelumnya telah diadukan oleh FPE-KSBSI ke Disnaker Riau atas dugaan pelanggaran hak normatif pekerja. Rapat dipimpin langsung oleh Kepala Bidang Hubungan Industrial dan Persyaratan Kerja Disnaker Riau, Muhammad Yunus.
"Ketidakhadiran manajemen PT PHR menunjukkan kesan tidak adanya itikad baik dari perusahaan cucu usaha PT Pertamina dalam menyelesaikan persoalan buruh yang mendasar di lingkungan Blok Rokan. Padahal, sudah nyata-nyata PHR diundang dalam pertemuan tersebut," kata Ketua DPC FPE-KSBSI Kabupaten Siak, Swandi Hutasoit SH kepada media ini, Selasa (6/8/2024).
Swandi mengeritik keras sikap manajemen PHR yang tidak menghormati undangan Disnaker Riau. Ia menyebut, ketidakhadiran manajemen PHR ini bukan cuma kali pertama terjadi. Dalam pertemuan yang digelar bulan lalu di Disnaker Riau, PT PHR juga mangkir dengan hanya memberikan surat ke Disnaker Riau.
"Ironinya, dalam surat penjelasannya PHR menyebut kalau tanggung jawab soal pemenuhan hak buruh berada di bawah vendor/ perusahaan alih daya mitra kerja mereka. Alasan ini yang tak masuk akal, menunjukkan PHR mau lepas tangan dan buang badan atas masalah yang dialami oleh buruh kontrak migas di Blok Rokan," kata Swandi.
Sebelumnya, pada Senin (29/7/2024) lalu, Disnaker Riau telah menggelar rapat yang menghadirkan perwakilan manajemen PT PHR dan FPE-KSBSI. Karena tidak ada kata sepakat, hingga akhirnya Disnaker Riau melakukan rapat lanjutan yang dilakukan Jumat (2/8/2024) lalu.
Dalam pertemuan tersebut, FPE Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (KSBSI) menilai buruknya kesejahteraan pekerja migas di Blok Rokan sejak dikelola oleh PT Pertamina Hulu Rokan (PHR). Serikat buruh migas ini merasakan kemerosotan yang nyata terhadap kemaslahatan pekerja, terutama dialami langsung oleh buruk kontrak yang dipekerjakan oleh vendor (perusahaan alih daya) yang menjadi mitra kerja PHR.
Ketua DPC FPE-KSBSI Kota Pekanbaru, Santoso mengungkap sejumlah dugaan terjadinya praktik buruk yang dialami buruh kontrak migas di Blok Rokan harus segera diselesaikan oleh PT PHR sebagai penanggungjawab (pemberi kerja).
Adapun persoalan yang dialami pekerja yakni terjadinya pembebanan biaya tindak lanjut pemeriksaan kesehatan (MCU) dan treadmill kepada pekerja, bukan ditanggung oleh perusahaan. Biaya yang harus ditanggung buruh untuk MCU itu angkanya di atas Rp 1 juta lebih. Padahal, kenaikan gaji buruh tiap tahunnya tak cukup untuk membiayai MCU dan treadmill.
"Ini tak manusiawi dan tidak adil," tegas Santoso.
Temuan lain yang diungkap adalah tidak dibayarnya uang kehadiran oleh perusahaan alih daya. Selain itu, sejumlah perusahaan alih daya (vendor PHR) juga tidak membayar uang cuti kepada pekerjanya.
Menurutnya, beban hidup yang dialami buruh kontrak migas di Blok Rokan sangat tinggi. Apalagi, mereka hanya menerima gaji sesuai besaran Upah Minimum Kabupaten/ Kota (UMK), sejak upah minimum sektoral migas dihapuskan. Dalam kondisi itu, sejumlah buruh kontrak migas terpaksa harus nyambi pekerjaan sampingan lain, yang menimbulkan dampak terhadap kesehatan dan daya tahan tubuh mereka.
"Padahal, industri migas katanya merupakan industri strategis vital yang menyumbangkan pendapatan besar untuk negara. Tetapi kehidupan buruh migas jauh dari kata sejahtera alias terpuruk," kata Santoso.
Pihaknya menilai, telah terjadi ketidakseragaman dalam penerapan kontrak kerja antara perusahaan alih daya (vendor) dengan PT PHR. Soalnya, pada beberapa perusahaan lain, uang kehadiran dan cuti diberikan kepada pekerja. Selain itu biaya MCU dan treatmill juga ada yang ditanggung perusahaan sebagaimana tertuang dalam kontrak.
"Ketidakseragaman dalam penerapan kontrak antara perusahaan alih daya dengan PHR ini menimbulkan tanda tanya, mengapa bisa terjadi. Apakah ini hanya praktik nakal dari perusahaan alih daya atau memang PT PHR tidak melakukan pengawasan terhadap kontrak yang mereka berikan kepada vendornya," tegas Santoso.
Menurutnya, soal kemashalatan dasar buruh kontrak migas seharusnya tidak dipertandingkan lagi dalam lelang kontrak di PHR. Sebagaimana hal tersebut sudah berlangsung sejak Blok Rokan dikelola oleh PT Caltex dan PT Chevron Pacific Indonesia (CPI).
"Kok setelah Blok Rokan dikelola Pertamina, kondisinya jadi makin amburadul. Padahal saat dikelola perusahaan asing (Chevron), tak pernah terjadi yang seperti ini. Harusnya setelah dikelola perusahaan BUMN makin baik, bukan malah makin kacau," tegas Santoso.
Ia menyebut, hak-hak dan kemashalatan buruh kontrak migas seharusnya sudah tertuang jelas di dalam kontrak perusahaan alih daya. Sehingga, menjadi ironi jika perusahaan alih daya tidak melaksanakannya.
Pihaknya juga mendesak agar PT PHR membuka diri dengan serikat buruh/ serikat pekerja dalam pembahasan kontrak perusahaan alih daya. Tujuannya untuk memastikan hak-hak buruh tertuang jelas di dalam kontrak dan tak bisa diutak-atik lagi.
"Kontrak-kontrak pekerjaan yang sudah dilelang maupun yang akan dilelang, khususnya terkait dengan hak-hak buruh, harus dibicarakan lebih dulu dengan serikat buruh. Tapi selama ini hal itu tidak pernah dilakukan, sehingga dalam pelaksanaannya terjadi persoalan," katanya.
Santoso mengingatkan, bahwa serikat buruh merupakan unsur integral dari sistem pengawasan ketenagakerjaan yang menjadi mitra pemerintah.
"Atas dasar itu, serikat buruh berhak mengetahui sebelum kontrak proyek disepakati apakah elemen yang menyangkut hak-hak buruh sudah diakomodir sesuai ketentuan dan aturan," katanya.
Santoso mengingatkan, serikat buruh bisa saja melakukan aksi unjuk rasa maupun mogok kerja yang dilindungi oleh undang-undang. Namun, langkah keras itu akan menjadi pilihan terakhir yang dilakukan jika PT PHR tidak mau bertanggung jawab atas persoalan yang dialami buruh kontrak migas.
"Apa harus demo atau mogok kerja dulu? Sebenarnya itu bisa kami lakukan, tapi kami masih menahan diri sampai batas kesabaran kami habis," pungkas Santoso.
PT Pertamina Hulu Rokan (PHR) menjadi pengelola blok migas Rokan sejak 9 Agustus 2021 lalu untuk masa konsesi selama 20 tahun hingga 2041 mendatang. Sebelumnya, blok minyak terbesar di Indonesia ini dikelola oleh PT Chevron Pacific Indonesia (CPI).
Berikut hasil pembahasan rapat yang dilakukan Disnaker Riau bersama 4 perusahaan vendor PHR dan pengurus FPE-KSBSI pada Jumat (2/8/2024) lalu:
1. Diminta kepada PT PHR agar hasil MCU dan treadmill dituangkan dalam kontrak menyangkut biaya MCU dan treadmill.
2. Untuk hasil MCU dan treadmill tidak serta merta menjadi dasar pemutusan hubungan kerja (PHK).
3. Dimintakan kepada PT PHR untuk menanggung biaya tindak lanjut MCU dan treadmill.
4. Masalah uang kehadiran diharapkan disamakan oleh pemberi kerja terhadap seluruh kontraktor.
5. Diminta kepada PT Nawakara (ICSS) untuk berkoordinasi dengan PT PHR mengenai uang cuti pekerja yang belum dibayar dan hasil koordinasi tersebut dilaporkan ke Disnaker Riau paling lama satu minggu.
6. Agar PT Nawaraka dalam hal tunjangan jabatan dijadikan sebagai tunjangan tetap.
7. Untuk mendapatkan hak dan kemaslahatan pekerja, agar melibatkan serikat buruh FPE-KSBSI dalam setiap kegiatan yang akan dilaksanakan oleh PHR dan vendor-vendor di bawahnya.
8. Adanya kesenjangan diberikan PT PHR atas kebijakan menaikkan gaji sekuriti sebesar Rp 1 juta, untuk itu diminta pihak PT PHR memberlakukan kenaikan gaji kepada setiap pekerja yang ada di lingkungan PT PHR sejumlah Rp 1 juta.
9. Dijadwalkan kembali pertemuan lanjutan. (R-03)