Menteri LHK Makin Disorot Gara-gara Belum Laksanakan Putusan MA Segel-Proses Hukum Kebun Sawit 1.200 Ha di TNTN: Penyelamatan Hutan Pencitraan?
SABANGMERAUKE NEWS, Riau - Sorotan terhadap Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya yang belum melaksanakan putusan kasasi Mahkamah Agung (MA) terkait keberadaan kebun sawit 1.200 hektare di hutan konservasi Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN) terus meluas. Kalangan aktivis mempertanyakan komitmen dan keseriusan Kementerian LHK dalam menyelamatkan TNTN yang kini sudah hancur lebur bersalin rupa menjadi perkebunan kelapa sawit.
"Sungguh mengherankan ketika ada putusan hukum yang sudah berkekuatan hukum tetap, yang tujuannya untuk penyelamatan TNTN, tapi KLHK justru sampai saat ini belum melaksanakan putusan hukum tersebut," kata Direktur LSM Pelita Bangsa, Herman Moyan, Kamis (14/12/2023).
Herman Moyan yang merupakan pendiri Mahasiswa Pecinta Alam (Mapala) UIN Suska Riau ini menilai, kepatuhan Menteri LHK dalam melaksanakan putusan MA merupakan ujian nyata apakah KLHK masih memiliki tanggung jawab dan keseriusan dalam penyelamatan hutan konservasi di Riau.
"Jika putusan kasasi MA itu tidak dilaksanakan, maka wajar saja publik menilai tindakan pengamanan dan penyelamatan hutan oleh KLHK sekadar lips services, tebang pilih dan terkesan hanya pencitraan semata," kata Herman Moyan.
Sebelumnya, gugatan Yayasan Riau Madani terhadap Menteri LHK, Dirjen Gakkum KLHK dan Kepala Balai TNTN terkait kebun sawit seluas 1.200 hektare di TNTN telah dinyatakan inkrah sejak 27 November lalu. Adapun putusan akhirnya tertuang dalam putusan kasasi MA bernomor 359K/TUN/ TF/2023 tanggal 3 Oktober 2023.
Menindaklanjuti putusan kasasi MA tersebut, Ketua PTUN Pekanbaru Hariyanto Sulistyo Wibowo telah menerbitkan surat penetapan nomor: 36/PEN/PTS.BHT/TF/ 2022/PTUN.PBR pada 27 November 2023 lalu.
Substansi isi surat penetapan itu yakni menyatakan kalau putusan MA nomor 359K/TUN/TF/2023 tertanggal 3 Oktober 2023 telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
"Putusan Mahkamah Agung Nomor: 359K/TUN/TF/2023, tertanggal 3 Oktober 2023 telah berkekuatan hukum tetap," demikian isi surat penetapan yang ditandatangani Ketua PTUN Pekanbaru Hariyanto Sulistyo Wibowo sebagaimana diperoleh SabangMerauke News, Kamis (7/12/2023) lalu.
MA dalam putusannya telah menolak kasasi yang diajukan Menteri LHK, Dirjen Gakkum KLHK dan Kepala Balai TNTN. MA memerintahkan Menteri LHK dan Dirjen Gakkum KLHK melakukan penegakan hukum di bidang kehutanan dengan menghentikan kegiatan pemanfaatan dan menutup sebagian area TNTN khususnya pada areal perkebunan kelapa sawit seluas 1.200 hektare, melakukan penyegelan, pemasangan plang, penyidikan dan tindakan penegakan hukum lainnya.
Herman Moyan menyatakan, pihaknya akan menyatukan kekuatan seluruh elemen masyarakat pro hutan dan lingkungan di Riau untuk mendesak Menteri LHK Siti Nurbaya segera melaksanakan putusan tersebut.
"Jika putusan tidak dilaksanakan, maka kami akan turun ke jalan melakukan aksi damai agar publik mengetahui kinerja KLHK dalam penyelamatan TNTN yang dinilai separuh hati dan memiliki beban," kata Herman.
Kepala Biro Humas KLHK, Nunu Anugrah telah dikonfirmasi SabangMerauke News ikhwal putusan MA yang sudah berkekuatan hukum tetap tersebut. Namun, sejak kemarin Nunu Anugrah belum memberikan respon.
Masyarakat Adat Kecewa ke Menteri LHK
Sebelumnya, masyarakat adat Pelalawan, Provinsi Riau kecewa berat dengan sikap Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya yang belum melaksanakan putusan Mahkamah Agung (MA) terkait keberadaan kebun kelapa sawit seluas 1.200 hektare di hutan konservasi TNTN.
Hulubalang Datuk Engku Raja Lela Putra Wajir Tengku Besar Pelalawan, Marjoni menyatakan, langkah Menteri LHK Siti Nurbaya yang tidak melaksanakan putusan MA patut dicurigai.
"Ada apa di balik semua ini? Mengapa putusan hukum MA sebagai putusan hukum yang tertinggi belum dilaksanakan. Katanya, kita negara hukum yang harus taat pada hukum, tapi institusi pemerintah sendiri terkesan tidak patuh pada putusan hukum," kata Marjoni kepada SabangMerauke News, Selasa (12/12/2023).
Marjoni menyatakan, jika pemerintah saja tidak tunduk pada putusan hukum, maka hal itu akan dicontoh oleh masyarakat. Ia khawatir, dengan tidak dilakukannya putusan MA terhadap 1.200 hektare kebun sawit di TNTN tersebut, akan membuat para perambah TNTN bersorak-sorai bergembira serta melanjutkan aksi perambahan hutan konservasi TNTN.
Marjoni khawatir, tidak dilaksanakannya putusan MA yang sudah inkrah tersebut, akan menjadi preseden buruk dan meningkatkan laju pengerusakan TNTN.
"Apakah memang TNTN ini mau dihancurkan sampai habis? Mengapa Menteri LHK tidak langsung menjalankan putusan MA yang sudah inkrah itu? Rasanya aneh sekali," kata Marjoni.
Menurutnya, masyarakat adat Pelalawan memberikan apresiasi atas langkah gugatan hukum yang ditempuh oleh Yayasan Riau Madani terhadap keberadaan kebun sawit di TNTN. Sebab, upaya hukum itu merupakan perjuangan yang paling sportif dan fair untuk menyelamatkan TNTN yang sudah hancur lebur saat ini.
"Kan ini aneh namanya, ketika ada putusan hukum yang pro pada penyelamatan hutan TNTN, tapi Menteri LHK tak melaksanakannya dengan segera. Apakah memang Menteri LHK tidak pro penyelamatan hutan? Ini menjadi tanda tanya publik, ada apa di belakang semua ini. Kami minta agar Menteri LHK patuh dan menjalankan putusan MA tersebut," tegas Marjoni.
Ia mengingatkan, lahan area hutan konservasi TNTN secara historis merupakan warisan Kerajaan Pelalawan yang diserahkan ke negara. Harapannya, keberadaan hutan tersebut bisa lestari dan menjadi penyangga kehidupan masyarakat. Masyarakat adat Pelalawan dulunya hidup berdampingan dengan alam.
Atas dasar itu, pihaknya berencana melakukan gerakan sosial penyelamatan TNTN. Putusan gugatan Yayasan Riau Madani menjadi energi masyarakat adat untuk melakukan tindakan yang terukur. Apalagi jika Menteri LHK tidak mau melaksanakan putusan MA yang sudah inkrah tersebut.
"Putusan MA atas gugatan Yayasan Riau Madani yang sudah inkrah ini harusnya menjadi momentum penyelamatan TNTN. Kami akan mengawalnya. Segera harus dieksekusi," pungkas Marjoni.
Layangkan Permohonan Eksekusi
Sebelumnya, Yayasan Riau Madani resmi melayangkan surat permohonan eksekusi atas putusan Mahkamah Agung (MA) terkait keberadaan kebun kelapa sawit seluas 1.200 hektare di hutan konservasi Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN). Surat permohonan eksekusi terhadap putusan hukum yang sudah berkekuatan hukum tetap (inkrah) tersebut, telah disampaikan ke Ketua PTUN Pekanbaru, Senin (11/12/2023).
Ketua Tim Hukum Yayasan Riau Madani, Dr (Cd) Surya Darma, SAg, SH, MH menjelaskan, pengajuan eksekusi putusan MA dilakukan karena sampai saat ini Menteri LHK dan Dirjen Penegakan Hukum KLHK tak kunjung melaksanakan isi putusan MA yang sudah berkekuatan hukum tetap sejak 27 November 2023 lalu.
"Demi kepastian hukum atas putusan yang sudah berkekuatan hukum tetap, dan belum dilaksanakannya putusan kasasi MA oleh Menteri LHK dan Dirjen Gakkum KLHK, maka hari ini kami layangkan surat permohonan eksekusi putusan ke PTUN Pekanbaru," kata Surya Darma, Senin pagi.
Adapun surat permohonan eksekusi yang dikirimkan ke PTUN Pekanbaru bernomor 21/KH-SDR/XII/2023 tanggal 11 Desember 2023. Dalam surat permohonannya, Yayasan Riau Madani menilai eksekusi putusan MA semestinya segera dilakukan, karena hingga saat ini kegiatan pengelolaan kebun sawit di hutan konservasi TNTN yang merupakan objek perkara terus berlangsung.
"Pemohon eksekusi memohon kepada Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara Pekanbaru, supaya isi putusan Pengadilan Tata Usaha Negara tersebut dilaksanakan eksekusi," demikian isi surat permohonan eksekusi yang dilayangkan Yayasan Riau Madani.
Isi Putusan Kasasi MA
Dalam putusan kasasinya MA mengabulkan gugatan Yayasan Riau Madani. MA juga memerintahkan Dirjen Gakkum KLHK semula merupakan tergugat I (pemohon kasasi I) untuk membatalkan izin-izin yang berada di hutan konservasi kawasan pelestarian alam TNTN, khususnya terhadap areal kebun sawit seluas 1.200 hektare yang menjadi objek gugatan.
Sementara, majelis hakim agung MA dalam putusannya juga telah mewajibkan Kepala Balai TNTN awalnya tergugat II (pemohon kasasi II) untuk menertibkan izin-izin di TNTN, khususnya terhadap areal kebun sawit seluas 1.200 hektare.
Secara khusus, MA juga mewajibkan Dirjen Gakkum KLHK dan Menteri LHK semula tergugat III (pemohon kasasi III) untuk melakukan penegakan hukum di bidang lingkungan hidup dan kehutanan dengan menghentikan kegiatan pemanfaatan TNTN yang telah disulap menjadi kebun sawit seluas 1.200 hektare.
"Dengan cara melakukan penyegelan, pemasangan plang, penyidikan dan atau tindakan hukum lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku," demikian bunyi putusan kasasi MA.
Adapun trio majelis hakim yang menyidangkan kasasi ini diketuai oleh Dr Yulius dan dua anggota majelis hakim agung Lulik Tri Cahyaningrum serta Yodi Martono Wahyunadi.
Kesampingkan UU Cipta Kerja
Putusan kasasi MA memunculkan fakta hukum yang menarik. Soalnya, trio majelis hakim agung MA yang memutus perkara kasasi ini, telah mengesampingkan dalil-dalil yang diajukan Menteri LHK, Dirjen Penegakan Hukum KLHK dan Kepala Balai TNTN dalam memori kasasi yang diajukan sebelumnya.
Adapun salah satu dalil memori kasasi Menteri LHK dkk yakni menjadikan tameng Undang-undang Cipta Kerja nomor 11 Tahun 2020 sebagaimana telah diubah menjadi Undang-undang Nomor 6 Tahun 2023. Termasuk aturan turunan UU Cipta Kerja yakni Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administrasi dan Tata Cara PNBP yang Berasal dari Denda Administratif di Bidang Kehutanan.
Putusan MA ini terbit di tengah jor-jorannya aksi pemerintah pusat dalam melakukan "legalisasi" atau "pemutihan" penguasaan kawasan hutan yang telah dijadikan kebun kelapa sawit tanpa izin dengan dalih keterlanjuran. Bahkan, Presiden Jokowi telah membentuk Satuan Tugas (Satgas) Peningkatan Tata Kelola Industri Kelapa Sawit dan Optimalisasi Penerimaan Negara melalui Keputusan Presiden Nomor 9 Tahun 2023 pada 14 April 2023 lalu.
Satgas tersebut dikomandoi oleh Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan dan Ketua Pelaksana Wakil Menteri Keuangan, Suahasil Nazara. Saat ini, Satgas Sawit tengah gencar melakukan verifikasi lanjutan terhadap sedikitnya 12 Surat Keputusan Menteri LHK Siti Nurbaya yang berisi data dan informasi ribuan korporasi dan kelompok penguasa hutan tanpa izin, khususnya yang bergerak di sektor kelapa sawit.
Sebagaimana diketahui, Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja telah dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi (MK) berdasarkan putusan perkara uji materiil Nomor 91 Tahun 2021.
Hal yang sama juga berlaku terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2021 yang merupakan turunan langsung UU Cipta Kerja. Berdasarkan putusan MK, pemerintah dilarang untuk mengambil kebijakan dan langkah strategis sebagai tindak lanjut pelaksanaan UU Cipta Kerja sebelum dilakukan perbaikan.
Alih-alih melakukan perbaikan sebagaimana diperintahkan MK, kenyataannya pemerintah justru menerbitkan instrumen turunan UU Cipta Kerja dalam bentuk Peraturan Pemerintah dan sejumlah produk peraturan dan keputusan menteri terkait.
Singgung COP28 di Dubai
Ketua Tim Hukum Yayasan Riau Madani, Dr (Cd) Surya Darma SAg, SH, MH menyatakan, seharusnya Menteri LHK Siti Nurbaya dan perangkat-perangkatnya dengan sukarela melaksanakan eksekusi putusan perkara tersebut. Sebab tidak ada alibi dan celah lain bagi KLHK untuk mengulur-ulur waktu, mengingat dua upaya hukum yakni banding dan kasasi telah ditolak oleh pengadilan.
"Sebagai pejabat negara yang berwenang dan diberikan hak oleh konstitusi mengurus sektor kehutanan, maka sewajarnya Menteri LHK legowo mengeksekusi putusan kasasi tersebut. Akan menjadi tanda tanya publik, jika Menteri LHK tidak melaksanakannya," kata Surya Darma.
Ia juga menyinggung soal kampanye pemerintah pusat dalam agenda World Climate Change Action Summit Conference of the Parties (COP) ke 28 di Dubai, Uni Emirat Arab pada 30 November hingga 12 Desember mendatang. Dimana dalam forum dunia tentang perubahan iklim tersebut, pemerintah dengan lantang menyuarakan penguatan komitmen nyata dunia untuk menahan laju perubahan iklim.
"Soal penegakan hukum terhadap kebun sawit seluas 1.200 hektare di TNTN ini sebenarnya hanyalah komitmen kecil. Tapi, kesannya itu tidak dilakukan. Jadi, bagaimana mungkin bisa menyerukan komitmen untuk dunia,?" kritik Surya Darma yang aktif dan konsisten melakukan gugatan hukum terhadap pengrusakan hutan.
Surya Darma menyatakan, kondisi TNTN yang kerap dikampanyekan merupakan paru-paru dunia kini telah rusak parah. Alih fungsi hutan konservasi menjadi kebun kelapa sawit berlangsung tak terkendali oleh otoritas terkait hingga menyebabkan lebih dari separuh areal TNTN telah bersalin rupa menjadi kebun sawit.
"Keadaan ini menunjukkan negara tidak berdaya di TNTN. Ini belum lagi jika kita melihat kondisi hutan konservasi lainnya yang juga rusak dan amburadul. Misalnya saja Suaka Margasatwa Balairaja di Bengkalis, Riau," pungkas Surya Darma.
Kemenangan Sempurna
Yayasan Riau Madani memperoleh kemenangan sempurna dalam gugatannya terkait kebun sawit seluas 1.200 hektare di TNTN. Tiga tingkatan putusan pengadilan yang diketuk majelis hakim selalu dimenangkan oleh Yayasan Riau Madani, mulai dari PTUN Pekanbaru, PT TUN Medan dan terakhir Mahkamah Agung. Skor 3-0, tanpa balas.
"Ini kemenangan bagi setiap orang yang masih pro pada eksistensi hutan tersisa, khususnya hutan konservasi yang sudah porak-poranda disulap menjadi kebun sawit. Terlebih-lebih ketika pemerintah menerbitkan UU Cipta Kerja yang terkesan memberikan privilege bagi perambah hutan. Putusan MA ini memiliki semangat mengesampingkan UU Cipta Kerja di sektor kehutanan tersebut," kata Surya Darma, Selasa (31/10/2023).
Pihak Kementerian LHK telah dikonfirmasi ikhwal putusan kasasi MA ini. Namun, hingga berita ini diterbitkan, belum ada penjelasan dari KLHK.
Sebelumnya, Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT TUN) Medan dalam putusannya pada Selasa, 21 Maret 2023 silam, telah menguatkan putusan PTUN Pekanbaru terkait perintah penegakan hukum terhadap kebun kelapa sawit ilegal seluas 1.200 hektare di atas kawasan hutan konservasi Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN), Riau.
Dimana PTUN Pekanbaru dalam putusan tingkat pertama perkara nomor: 26/G/TF/2022/ PTUN.PBR tanggal 15 November 2022, mengabulkan gugatan Yayasan Riau Madani terhadap Menteri LHK, Dirjen Gakkum KLHK dan Kepala Balai TNTN berkaitan dengan keberadaan kebun sawit seluas 1.200 hektare di kawasan terlarang itu.
Majelis hakim dalam pertimbangan hukumnya saat itu menyebut Menteri LHK dkk melakukan perbuatan melanggar hukum karena tidak melakukan tindakan dan perbuatan yang konkret dalam upaya perlindungan TNTN.
Adapun putusan banding PT TUN Medan itu teregistrasi dengan nomor putusan perkara: 26/B/TF/2023/PTTUN.MDN. Putusan banding dijatuhkan oleh trio majelis hakim yakni H. L Mustafa Nasution SH, MH sebagai ketua majelis hakim dan Herman Baeha SH, MH serta Dra Marsinta Uli Saragih SH, MH masing-masing sebagai anggota.
Dalam perkara kualifikasi tindakan administrasi pemerintah/ tindakan faktual ini, Yayasan Riau Madani menyeret Kepala Balai TNTN, Menteri LHK dan Dirjen Penegakan Hukum KLHK.
Dalam perkara ini disebut-sebut kalau kebun kelapa sawit seluas 1.200 hektar di kawasan konservasi TNTN diduga dikelola atau terafiliasi dengan PT Inti Indosawit Subur. Meski demikian, manajemen PT Inti Indosawit Subur telah membantah keras tudingan serius tersebut.
Perusahaan yang terafiliasi dengan Asian Agri Grup ini menolak disebut sebagai pengelola kebun sawit. PT Inti Indosawit Subur sepanjang persidangan selalu mangkir, meski PTUN Pekanbaru sudah melakukan dua kali pemanggilan. (*)