Mahasiswa Sebut Wapres Ma'ruf Amin 'Patung Istana', Akademisi Minta Pejabat Tak Tipis Telinga
SABANGMERAUKE, Kaltim - Sebanyak 16 dosen Universitas Mulawarman (Unmul) menyampaikan sikap bersama merespon pro dan kontra terkait kritik BEM KM Unmul terhadap Wakil Presiden RI, Ma'ruf Amin, yang menyebut "Patung Istana Merdeka Datang ke Samarinda", Sabtu (6/11/2021).
Untuk diketahui, Wakil Presiden RI, Ma'ruf Amin melakukan kunjungan kerja (kunker) di Samarinda didampingi Gubernur Kalimantan Timur (Kaltim), Isran Noor beserta rombongannya pada Selasa, 2 November 2021 lalu.
Saat melakukan kunjungannya, di waktu bersamaan pula Wapres mendapat kritik dari BEM KM Unmul melalui akun instagramnya. Organisasi perkumpulan mahasiswa Unmul menilai, selama dua tahun kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan wakilnya Ma'ruf Amin, kebijakan yang dikeluarkan keduanya tidak mampu memberikan rasa aman dan nyaman kepada masyarakat.
"Seperti revisi UU Minerba yang memusatkan seluruh perizinan mengenai pertambangan di Indonesia. Selain itu pengesahan UU Cipta Kerja yang kami nilai bermasalah. Kinerja Jokowi-Ma'ruf semakin mati karena tak mampu menguatkan pemberantasan korupsi. Ditambah hutang NKRI semakin melambung tinggi," tulis BEM KM dalam akun instagramnya, Selasa, 2 November 2021.
Hal tersebut kemudian menuai beragam pendapat publik atas sikap BEM KM Unmul yang menyebut orang nomor dua RI itu adalah "Patung Istana Datang ke Samarinda".
Untuk diketahui juga, kedatangan Ma'ruf Amin turut diwarnai aksi demonstrasi oleh massa mahasiswa yang menamakan dirinya Aliansi BEM Samarinda. Aksi digelar di kawasan Jalan APT Pranoto, Kelurahan Sungai Keledang, Samarinda Seberang. Merupakan salah satu wilayah yang dikunjungi Ma'ruf Amin dan gubernur saat itu.
Salah satu dosen Unmul yang menyepakati rilis bersama, Sri Murlianti menyebut, publik telah salah kaprah menilai isi pesan yang disampaikan BEM KM Unmul dalam akun instagramnya.
Menurutnya, kalimat metaforik bernada kritik dan sedikit sarkastik yang disampaikan BEM KM Unmul menimbulkan pro dan kontra di tengah publik. Sayangnya, silang pendapat itu tidak berkaitan dengan subtansi dari kritik BEM KM terhadap Wakil Presiden RI.
"Publik justru dominan terlibat dalam pro dan kontra terhadap pilihan diksi "patung istana merdeka" yang digunakan dalam unggahan BEM KM tersebut. Padahal, membincangkan isi tentu jauh lebih baik daripada meributkan kulit," ungkap Sri Murlianti dilansir Presisi.co, Minggu (7/11/2021).
Metafora adalah gaya bahasa tingkat tinggi yang mencerminkan tingkat intelektualitas seseorang. Para dosen melalui Sri menilai, tak banyak pihak yang mampu sampai pada tingkat kecerdasan demikian, bahkan pejabat negara atau ilmuwan bergelar tinggi sekalipun. Ia menegaskan, pembatasan kebebasan akademik adalah kejahatan intelektual.
"Olehnya, membungkam dan berupaya mematikan gaya bahasa metafor berarti berupaya mematikan kecerdasan dan intelektualitas sang empunya metafor," lanjut para dosen menilai.
Pejabat Jangan Tipis Telinga
Sri menjelaskan, adapun sarkasme sendiri, serupa dengan kata-kata pedas, cemoohan, atau ejekan yang biasanya dibungkus dengan perumpamaan dan sedikit humor. Dalam tradisi kritik, selain satire dan sinisme, sarkasme juga kerap digunakan untuk mengekspresikan rasa kesal dan amarah. Sementara dalam kapasitas pejabat publik, sarkasme itu adalah hal yang lumrah. Terlebih kepada pejabat publik yang cenderung menutup mata dan telinga atas berbagai persoalan rakyat.
"Yang tidak lumrah adalah, justru pejabat publik yang tipis telinga, anti kritik, bereaksi berlebihan, dan punya kebiasaan menyerang balik para pengkritiknya," kata Sri bersama para dosen.
Dosen-dosen kemudian melanjutkan, terkait dengan diksi "patung istana merdeka", mestinya publik memahami konteks dibaliknya. Sri menyebut, hal itu sudah dijawab oleh BEM KM Unmul dalam beberapa kesempatan. Intinya, kata dia, Wakil Presiden dianggap terkesan lebih berdiam diri dan menghindar dari riuhnya protes publik terhadap kebijakan pemerintah yang selama ini jauh dari harapan publik.
"Padahalnya layaknya Presiden, Wakil Presiden juga dipilih langsung oleh rakyat, sehingga memiliki tanggung jawab penuh untuk bertindak memperjuangkan kepentingan rakyat. Jadi mutlak, kalimat metaforik bernada sarkastik "patung istana merdeka" ini adalah kritik kepada Wakil Presiden yang dianggap gagal menjalankan fungsinya, bukan terhadap pribadinya," lanjut Sri.
Para dosen pun dikatakan Sri turut mengkritik pihak kampus Universitas Mulawarman yang terkesan kehilangan marwahnya sebagai wadah akademik. Sebanyak 16 dosen ini menilik, kampus Unmul tempat BEM KM bernaung, justru memberikan respon di luar dugaan. Dalam akun instagram resminya, Unmul menyampaikan release terbuka terkait dengan unggahan BEM KM pada Jumat, 5 November 2021 kemarin.
Dari 6 poin isi yang dirilis Unmul itu, 3 poin ditujukan atau berhubungan langsung dengan BEM KM, yakni menginstruksikan BEM KM untuk menghapus unggahan, menginstruksikan BEM KM untuk meminta maaf kepada Wakil Presiden, masyarakat dan Unmul sendiri, serta segera melakukan tindakan internal untuk mengambil langkah tegas kepada BEM KM.
Akan hal tersebut, Sri bersama 15 dosen lainnya menjelaskan, sikap Unmul merupakan bentuk pembatasan kebebasan berpendapat bagi civitas akademik.
"UNESCO mendefinisikan kebebasan akademik sebagai hak atas kebebasan mengajar, kebebasan berdiskusi, kebebasan melakukan penelitian termasuk menyebarluaskan hasil-hasilnya, kebebasan menyatakan pendapat secara terbuka, kebebasan dari sensor institusional, dan kebebasan untuk berpartisipasi dalam keputusan-keputusan politik, baik di dalam maupun di luar institusi pendidikan."
"Sikap Unmul secara kelembagaan tersebut, sangat jauh dari prinsip-prinsip kebebasan akademik yang dilindungi oleh konstitusi, khususnya Pasal 28E ayat (3) UUD 1945, ataupun dari apa yang telah ditegaskan secara eksplisit dalam Universal Declaration of Human Rights, ICCPR, dan Undang-Undang 39 Tahun 1999 tentang HAM. Bahkan dalam aturan spesifik sendiri melalui UU 12/2012 tentang Perguruan Tinggi, pihak birokrasi kampus semestinya bertanggung jawab memastikan kebebasan akademik itu diperoleh dengan baik oleh setiap civitas akademik, bukan sebaliknya," imbuh para dosen. (*)