Kecelakaan Kerja Tewaskan 3 Buruh Migas di Blok Rokan yang Dikelola PHR, Jaksa Tuntut Karyawan PT PPLI Hukuman 4 Bulan Penjara
SABANGMERAUKE NEWS, Riau - Tim jaksa penuntut dari Kejaksaan Tinggi (Kejati) Riau meminta majelis hakim Pengadilan Negeri Pekanbaru menjatuhkan hukuman terhadap Romi Zamri, terdakwa kasus kematian 3 pekerja di Blok Rokan dengan hukuman 4 bulan kurungan penjara.
Jaksa dalam surat tuntutannya menilai Romi Zamri bersalah melakukan tindak pidana karena kelalaiannya menyebabkan orang mati sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 359 KUHPidana yang merupakan dakwaan tunggal jaksa. Adapun ancaman hukuman pasal 359 KUHPidana yakni pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana kurungan paling lama 1 tahun.
"Menghukum terdakwa Romi Zamri dengan pidana penjara selama 4 bulan dikurangi selama terdakwa berada dalam masa penahanan," demikian bunyi tuntutan jaksa yang diunggah dalam laman SIPP Pengadilan Negeri Pekanbaru pada Selasa (17/10/2023).
Romi Zamri merupakan Supervisor PT Pamunah Prasadah Limbah Industri (PPLI) yang mendapat kontrak pekerjaan di Balam CMTF, Rokan Hilir, Riau.
PPLI merupakan perusahaan pengelolaan limbah yang digandeng PT Pertamina Hulu Rokan (PHR) untuk pengelolaan limbah pengeboran sumur minyak di wilayah tersebut. Sejak 9 Agustus 2021 lalu, PHR mendapat hak konsesi minyak di wilayah kerja (WK) Rokan yang sebelumnya digarap oleh PT Chevron Pacific Indonesia (CPI).
BERITA TERKAIT: Kecelakaan Kerja Tewaskan Buruh Migas di Blok Rokan Cuma Menjerat Kontraktor, Kenapa PT Pertamina Hulu Rokan Selamat dari Hukum?
Kasus kecelakaan di Blok Rokan yang melibatkan PT Pamunah Prasadah Limbah Industri (PPLI) ini telah menewaskan sebanyak 3 buruh PPLI. Ketiganya meninggal dunia karena masuk ke dalam tangki pengelolaan limbah di CMTF Balam, Rokan Hilir.
Ketiga korban tersebut bernama Hendri, Dedi Krismanto dan Ade Ilham. Kejadian naas ini berlangsung pada Jumat (24/2/2023) silam.
Dalam perkara ini, Project Manager PT PPLI bernama Harry Rahmadi telah dihukum percobaan oleh hakim Pengadilan Negeri (PN) Rokan Hilir, Riau. Hakim menjatuhkan pidana penjara terhadap Harry selama 3 bulan dengan masa percobaan 6 bulan. Sidang putusannya digelar pada Jumat (10/3/2023) silam.
Romi Zamri yang menjabat Supervisor Balam CMTF adalah tersangka kedua dalam kasus yang ditangani Polda Riau ini.
Sebenarnya, Polda Riau pernah mengumumkan Harry Rahmady sebagai tersangka pada beberapa bulan lalu. Harry menjabat sebagai Project Manager Balam CMTF.
Namun, hasil penelusuran SabangMerauke News di laman SIPP Pengadilan Negeri Pekanbaru, Senin (23/10/2023), berkas perkara Harry belum teregistrasi dalam daftar perkara yang masuk ke pengadilan.
Sebelumnya, Polda Riau menyatakan kalau Harry sudah ditahan dan sempat diperpanjang penahanannya. Harry juga dijerat dengan pasal 359 KUHPidana.
Belum diketahui mengapa perkara Harry tak kunjung dilimpahkan ke pengadilan, sementara koleganya Romi Zamri sudah disidangkan dan menunggu pembacaan putusan pada Selasa (24/10/2023) besok.
3 Karyawan ACS Dihukum 5 Bulan 15 Hari
Sebelumnya, majelis hakim PN Pekanbaru juga telah menjatuhkan hukuman terhadap tiga karyawan PT Asrindo Citraseni Satria (ACS) yang menjadi terdakwa kasus kematian buruh migas di Blok Rokan dengan korban Derickson Siregar. Ketiganya dijatuhi hukuman pidana 5 bulan dan 15 hari kurungan penjara.
PT Asrindo Citraseni Satria (ACS) merupakan perusahaan kontraktor (mitra kerja) PT Pertamina Hulu Rokan (PHR) yang bergerak dalam pengerjaan sumur minyak di Blok Rokan. Namun, sejauh ini belum diketahui apa sanksi yang diberikan PHR kepada perusahaan tersebut.
Ketiga terdakwa telah divonis dalam persidangan yang berlangsung pada Kamis (21/9/2023) silam. Vonis dijatuhkan oleh trio majelis hakim diketuai Daniel Ronald dan dua hakim anggota yakni Andi Hendrawan dan Iwan Irawan.
Adapun ketiga terdakwa tersebut yakni Octa Fiandri yang bertugas sebagai floorman pada pekerjaan pembuatan sumur minyak di Minas tersebut. Terdakwa kedua adalah Bayu Cherly Wibisono yang bertugas sebagai drillers console. Terdakwa terakhir bernama Afridal bertugas sebagai supervisor bagian perencanaan kerja dan pengawasan. Berkas putusan ketiga terdakwa disidang dalam perkara terpisah.
"Menyatakan terdakwa Afridal telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “karena kelalaiannya menyebabkan orang lain mati” sebagaimana dalam dakwaan tunggal. Menjatuhkan pidana kepada terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 5 bulan dan 15 hari," demikian bunyi amar putusan terhadap terdakwa Afridal seperti ditilik SabangMerauke News, Jumat (13/10/2023).
Adapun bunyi amar putusan terhadap dua terdakwa lain yakni Octa Fiandri dan Bayu Cherly sama seperti putusan terhadap Afridal.
Putusan majelis hakim tersebut lebih ringan dari tuntutan jaksa yang sebelumnya menuntut ketiga terdakwa masing-masing hukuman pidana selama 8 bulan dikurangi masa penahanan.
Ketiga terdakwa yang divonis bersalah ini tergolong sebagai pekerja teknis lapangan. Sementara pengusutan secara hukum level manejemen perusahaan, baik ACS maupun PHR tampaknya tidak dilakukan.
Ketiga terdakwa saat kecelakaan kerja terjadi sedang berada di lokasi sumur minyak Rig-06 pengeboran minyak milik PT PHR di areal Minas yang dikerjakan oleh PT ACS. Kejadian kecelakaan kerja ini berlangsung pada Rabu (18/1/2023) lalu. Korban Derikson Siregar tewas usai tertimpa besi FOSV dalam proses pembuatan sumur minyak.
Dalam tuntutannya, jaksa Benhard menyebut ketiga terdakwa telah terbukti bersalah melakukan tindak pidana karena kelalaiannya menyebabkan orang lain mati sebagaima telah diatur Pasal 359 KUHPidana pada dakwaan tunggal. Adapun ancaman hukuman paling maksimal dalam pasal 359 KUHPidana yakni 5 tahun penjara.
Penegakan Hukum Tak Tuntas
Kalangan aktivis buruh menilai penegakan hukum terhadap kasus kecelakaan kerja yang menelan korban nyawa lebih dari 10 buruh migas di Blok Rokan dinilai tidak tuntas. Sejauh ini, Dinas Tenaga Kerja Provinsi Riau serta kepolisian hanya menjerat secara hukum mitra kerja (kontraktor) PT Pertamina Hulu Rokan (PHR). Sementara, PHR sebagai pemilik wilayah operasional dan pemberi kerja masih selamat dari jerat hukum.
PHR adalah anak perusahaan PT Pertamina Hulu Energi (PHE) yang merupakan Sub Holding Upstream dari PT Pertamina (Persero).
Berdasarkan data yang diolah SabangMerauke News, dari sedikitnya 7 kecelakaan kerja yang terjadi di Blok Rokan di era pengelolaan PHR sejak 9 Agustus 2021 lalu, hanya dua kasus saja yang naik ke proses hukum. Itu pun, dari dua kasus yang naik ke proses hukum, hanya menjerat mitra kerja PHR sebagai pihak yang dianggap bertanggung jawab. Dua perkara kecelakaan kerja yang naik sampai ke meja hijau yakni yang melibatkan PT Asrindo Citraseni Satria (ACS) dan PT Pamunah Prasadah Limbah Industri (PPLI).
Disorot Serikat Buruh
Penanganan hukum kasus kecelakaan kerja di Blok Rokan yang dinilai tak tuntas ini disorot oleh aktivis buruh. Ketua DPC Federasi Pertambangan dan Energi (FPE) Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (KSBSI) Siak, Suwando Hutasoit SH mempertanyakan transparansi kasus ini.
Ia menyatakan, sampai saat ini hasil investigasi dan rekomendasi pihak terkait yakni Dinas Tenaga Kerja Provinsi Riau terhadap pemeriksaan kasus kecelakaan kerja belum pernah diumumkan secara resmi.
"Publik khususnya buruh tidak mengetahui apa hasil investigasi atas kasus-kasus kecelakaan kerja yang terjadi di Blok Rokan," kata Suwandi, Sabtu pagi ini.
Ia juga mempertanyakan mengapa tanggung jawab manajemen PT Pertamina Hulu Rokan (PHR) tidak ditarik dalam kasus-kasus kecelakaan kerja tersebut. Padahal, kata Suwandi, PHR adalah pihak pemberi kerja yang harusnya bertanggung jawab atas peristiwa kecelakaan kerja yang terjadi.
"Hal itu telah diatur dalam peraturan perundang-undangan. Pemberi kerja harusnya bertanggung jawab," kata Suwandi.
Menurutnya, tanggung jawab PHR dalam melakukan pengawasan kepada kontraktor harusnya dipertanyakan.
"Jangan hanya mitra kerja (kontraktor) saja yang diminta pertanggungjawaban dan dipersalahkan. Dimana tanggung jawab pemberi kerja dalam hal ini PHR?" tanya Suwandi.
Ia meminta agar institusi dan otoritas terkait memberikan sanksi dan penanganan hukum yang sama terhadap PHR.
"Harusnya ada sanksi tegas kepada PHR ketika lalai melakukan pengawasan kepada kontraktornya. Semuanya sama di depan hukum. Agar ada efek jerah dan kejadian kecelakaan kerja tidak berulang dan kambuh lagi," tegas Suwandi. (*)