Perjanjian Ekstradisi dengan Singapura Sudah Diteken Sejak SBY, Tak Perlu Glorifikasi Saat Ini
SabangMerauke News - Tidak perlu ada kebanggaan atau glorifikasi berlebihan pada penandatangaan perjanjian ekstradisi Indonesia-Singapura.
Rektor Universitas Achmad Yani, Prof. Hikmahanto Juwana mengatakan, glorifikasi menjadi tidak perlu karena perjanjian ekstradisi Indonesia-Singapura telah ditandatangani pada tahun 2007 di Istana Tampak Siring saat pertemuan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dengan Perdana Menteri Lee Hsien Loong.
"Perjanjian ekstradisi yang ditandangani pada Selasa kemarin hanya pengulangan penandatanganan dengan amandemen pasal yang mengatur keberlakuan secara retroaktif dari 15 tahun menjadi 18 tahun,” ujar Hikmahanto kepada wartawan, Kamis (27/1).
Gurubesar ilmu hukum internasional itu menyebutkan, di tahun 2007 pemberlakuan 15 tahun agar perjanjian ekstradisi dapat menjangkau mereka yang terlibat dalam pengucuran Bantuan Likuiditas BI (BLBI), utamanya mereka yang telah mengganti kewarganegaraanya menjadi WN Singapura.
"Lalu apakah amandemen 18 tahun akan dapat menjangkau peristiwa BLBI bila diberlakukan tahun 2022 ini?” imbuhnya.
Kemudian, alasan kedua disebutkannya, bahwa glorifikasi seolah perjanjian ekstradisi yang ditandatangani Selasa kemarin langsung berlaku.
"Padahal setiap penandatangan perjanjian ekstradisi masih harus diikuti dengan proses pengesahan (ratifikasi) oleh DPR. Setelah itu dilakukan pertukaran dokumen ratifikasi antara Indonesia dan Singapura barul kemudian perjanjian ekstradisi berlaku,” katanya.
Selanjutnya yang ketiga, kata Hikmahnato, glorifikasi sangat tidak berdasar jika Singapura masih mensyaratkan perjanjian ektradisi berlaku dikaitkan dengan berlakunya perjanjian pertahanan (Defence Cooperation Agreement/DCA) yang sangat berpihak pada kepentingan Singapura.
"Pada tahun 2007 Presiden tidak mengirim surat Presiden ke DPR untuk pembahasan perjanjian ekstradisi karena publik tidak setuju dengan perjanjian pertahanan. Atas alasan tersebut perjanjian ekstradisi tidak pernah mendapat pembahasan, apalagi pengesahan dari DPR,” ujarnya.
Terakhir, lanjut Hikmahanto, glofikasi sangat tidak berdasar karena belakangan Singapura sangat kooperatif bila ada permintaan dari Indonesia terkait buron tertentu meski perjanjian ekstradisi belum efektif berlaku.
"Perubahan sikap Singapura ini karena Sinagpura tidak ingin dipersepsi oleh publik Indonesia sebagai tempat pelarian pelaku kejahatan kerah putih,” pungkasnya. (*)