Warning! Muncul Seruan KPK Awasi Kementerian LHK Terkait Penetapan Denda Kebun Sawit dalam Kawasan Hutan
SABANGMERAUKE NEWS, Jakarta - Seruan mengajak dilakukannya pengawasan dalam penerapan denda administrasi terhadap kebun sawit di kawasan hutan berdasarkan Undang-Undang Cipta Kerja (UUCK) mengemuka. Inisiatif tersebut dicetuskan oleh praktisi sosio-legal, Ahmad Zazali lewat akun Facebook miliknya yang diposting, Senin (5/12/2022) pagi tadi.
Ahmad Zazali selama ini dikenal sebagai aktivis lingkungan yang juga berprofesi advokat.
"Lebih dari 1.000 subjek hukum ini akan mendapat 'pengampunan' dengan pengenaan sanksi administratif berupa pembayaran denda PSDH/ DR (pasal 110A UUCK) dan denda PNBP (pasal 110B UUCK) dengan tahapan dan mekanisme perhitungan yang dijabarkan dalam PP Nomor 24 Tahun 2021," tulis Ahmad Zazali dalam postingannya.
BERITA TERKAIT: Negara Panen Cuan dari Kebun Sawit dalam Kawasan Hutan, Luasan 10 Ribu Hektar Besaran Denda Administrasi Capai Rp 500 Miliar
SabangMerauke News telah mendapat izin dari Zazali mengutip unggahannya tersebut. Adapun lebih dari 1.000 subjek hukum (korporasi/ koperasi dan lainnya) yang dimaksud Zazali adalah berdasarkan data dari 8 pucuk surat keputusan (SK) yang diteken oleh oleh Menteri LHK Siti Nurbaya sejak 2021 hingga Oktober 2022 lalu. Delapan SK tersebut mencantumkan daftar nama-nama perusahaan, koperasi, kelompok tani, kelompok masyarakat, BUMN dan pihak lain yang dipetakan telah mengelola kawasan hutan tanpa izin.
Menteri LHK menggunakan nomenklatur subjek hukum untuk menyebut pihak-pihak yang menguasai kawasan hutan tanpa izin. Ribuan subjek hukum tersebut tersebar di sejumlah provinsi, secara khusus didominasi berada di Provinsi Riau dan Kalimantan Tengah.
"Delapan Surat Keputusan Menteri LHK tentang penetapan subjek hukum kegiatan usaha tanpa izin dalam kawasan hutan," tulis Zazali yang melampirkan foto-foto capture SK Menteri LHK tersebut.
BERITA TERKAIT: Inilah Tim Lengkap Bentukan Menteri LHK Bertugas Menerapkan UU Cipta Kerja Sektor Kehutanan, Cuan Kebun Sawit dalam Kawasan Hutan Paling Krusial
Dalam unggahannya, Zazali turut memasang tagar mendesak perlunya transparansi dan akuntabilitas dalam proses penetapan denda administrasi terhadap subjek hukum yang menguasai kawasan hutan tanpa izin. Ia bahkan menyinggung soal pentingnya mencegah politisasi menuju 2024, meski tidak secara jelas mengarah kepada siapa.
Zazali juga mengingatkan publik untuk bersama-sama mencegah terjadinya lobi untuk menurunkan besaran denda administratif yang dibebankan kepada subjek hukum sebagai Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Secara khusus ia meminta agar KPK ikut mengawasi Kementerian LHK dalam proses penetapan denda administrasi kebun sawit dalam kawasan hutan.
"#PerluTransparansiDanAkuntabilitas. #CegahPolitisasiMenuju2024. #CegahLobiLobiMenurunkanDenda. #KPKAwasiKLHK" tulis Zazali.
Saat dikonfirmasi SabangMerauke News, Zazali menyatakan sikapnya tersebut sebagai bentuk perhatian pada pentingnya akuntabilitas dalam penetapan denda administrasi yang ditetapkan oleh Kementerian LHK.
"Mendorong agar KLHK transparan dan akuntabel, serta meminta KPK melakukan pengawasan kepada KLHK dalam proses penyelesaian kegiatan usaha dalam kawasan hutan," kata Zazali.
Media ini telah mengonfirmasi Sekretaris Jenderal Kementerian LHK, Bambang Hendroyono soal jaminan adanya transparansi dan akuntabilitas KLHK dalam proses penetapan denda administrasi terhadap penguasaan kawasan hutan tanpa izin. Bambang yang juga merupakan Ketua Satuan Pelaksanaan, Pengawasan dan Implementasi UU Cipta Kerja Bidang Kehutanan bentukan Menteri LHK Siti Nurbaya belum memberikan jawaban.
Diketahui, kalau Menteri LHK Siti Nurbaya telah membentuk sebuah tim untuk implementasi UU Cipta Kerja dan aturan turunannya di sektor kehutanan. Tim tersebut bernama Satuan Pelaksanaan, Pengawasan dan Pengendalian Implementasi UU Cipta Kerja Bidang Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Tim ini ditetapkan berdasarkan SK Menteri LHK nomor: SK.203/ Menlhk/ Setjen/ KUM./ 5/ 2021 yang diteken pada 4 Mei 2021 lalu.
Adapun tim ini jumlahnya cukup besar yang meliputi 10 kelompok kerja (pokja). Tim diketuai oleh Sekretaris Jenderal KLHK dan sekretarisnya ditunjuk Roosi Tjandrakirana. Sementara, Menteri LHK dan Wakil Menteri LHK menjadi pengarah.
Untuk posisi Wakil Ketua Tim ditunjuk dua orang yakni Irjen Kementerian LHK dan Dirjen Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan. Posisi wakil sekretaris juga dipegang oleh dua orang yakni FX Herwirawan dan Sigit Nugroho.
Sementara itu, 6 pejabat Dirjen di lingkungan Kementerian LHK ditunjuk menjadi anggota tim pengarah, termasuk di dalamnya Kepala Badan Standarisasi Instrumen Lingkungan dan Kehutanan.
Tim Satuan Pelaksanaan UU Cipta Kerja Bidang Kehutanan ini juga diisi oleh 5 tenaga ahli yakni Prof San Afri Awang, Prof Asep Warlan Yusuf, Dr Ilyas Assad, Dr Agus Pambagio dan Prof Sigit Hardwinarto.
Tim Satuan Pelaksanaan UU Cipta Kerja ini secara teknis dibagi dalam 10 kelompok kerja (pokja). Yakni Pokja I membidangi sosialisasi, Pokja II membidangi inventory dan analisis konsekuensi implementasi regulasi, Pokja III membidangi standarisasi dan penerapan standar.
Sementara Pokja IV membidangi asistensi perizinan berusaha berbasis risiko (risk based approach). Pokja V membidangi konsolidasi data dan penyelesaian keterlanjuran, Pokja VI membidangi pengembangan dan integrasi sistem tata kelola, Pokja VIII mengurusi finalisasi perhutanan sosial.
Sedangkan Pokja IX membidangi pengembangan kelembagaan dan asistensi daerah serta Pokja X membidangi transisi regulasi dan pengendalian konsekuensi/ ekses.
Cara Perhitungan Denda Administratif
Penyelesaian masalah kebun kelapa sawit ilegal dalam kawasan hutan lewat mekanisme Undang-undang Cipta Kerja menghasilkan cuan jumbo ke pundi-pundi negara. Tarif denda administrasi yang dikenakan bakal membuat negara beroleh dana berjibun.
Terdapat dua pola perhitungan sanksi administrasi yang dijatuhkan kepada pengelola kebun sawit ilegal yang tak mengantongi izin pengelolaan kawasan hutan. Rujukannya adalah Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administrasi dan Tata Cara Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berasal dari Denda Administratif di Bidang Kehutanan.
Peraturan Pemerintah tersebut merupakan instrumen UU Cipta Kerja khususnya yang termuat dalam pasal 110A dan pasal 110B. Penyelesaian kebun sawit dalam kawasan hutan yang menggunakan pasal 110A dikenakan denda berupa pembayaran Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) dan Dana Reboisasi (DR). Acuannya telah ada dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 12 Tahun 2014 tentang Jenis dan Tarif PNBP yang Berlaku pada Kementerian Kehutanan.
Nah, bagaimana dengan penerapan pasal 110B terhadap kebun sawit di dalam kawasan hutan?
Berdasarkan aturan yang dibuat pemerintah, formula perhitungan denda administrasi (D) sebagai tindak lanjut pasal 110B yakni hasil perkalian antara luasan lahan (L), jangka waktu pelanggaran (J) dan tarif denda dari persentase keuntungan pengelola kebun sawit (TD).
Formulanya secara matematika adalah D = L x J x TD.
Jangka waktu pelanggaran ditetapkan berdasarkan usia produktif tanaman kebun sawit. Sementara, tarif denda diperoleh dari perkalian antara pendapatan bersih per tahun dengan tarif denda tutupan hutan.
Penentuan tarif denda dilakukan berdasarkan persentase luas tutupan hutan atau luas kegiatan yang melanggar aturan yang ditentukan melalui informasi citra satelit dan data pendukung lainnya. Dalam ketentuannya ada tiga kelompok tarif denda tutupan hutan yakni skala tinggi (60 persen), skala sedang (40 persen) dan skala rendah (20 persen).
Contohnya, pada kasus kebun sawit dengan luasan pelanggaran 10 ribu hektar dan usia tanaman 15 tahun.
Maka besaran denda administratif yang harus dibayar dengan cara menghitung lebih dulu asumsi keuntungan per hektar. Misalkan keuntungan per tahun mencapai Rp 25 juta setiap hektar kebun sawit. Penetapan keuntungan ini juga dapat menggunakan jasa penaksir (appraisal).
Sedangkan untuk menetapkan jangka waktu produksi yang produktif dihitung mulai tahun keenam umur tanaman. Dengan demikian, masa produksi yang dijadikan perhitungan denda adalah 10 tahun.
Selanjutnya, jika berdasarkan informasi citra satelit diketahui persentase tutupan hutan dulunya pada saat membuka kebun sawit tersebut adalah rendah, maka tarif denda tutupannya yakni sebesar 20 persen. Dengan demikian dapat ditetapkan tarif denda yang ditetapkan yakni hasil keuntungan sebesar Rp 25 juta dikali 20 persen sama dengan Rp 5 juta.
Maka, perhitungan denda administratif yakni menggunakan rumus: D = L x J x TD.
Denda = 10.000 hektare x 10 tahun x Rp 5.000.000. Maka besaran denda administrasi yang harus dibayar yakni Rp 500.000.000.000 (lima ratus miliar rupiah).
Kebun Sawit dalam Kawasan Hutan di Riau
Sebelumnya, sejak tahun 2021 lalu hingga Agustus 2022, Menteri LHK Siti Nurbaya telah menerbitkan sebanyak 8 surat keputusan (SK) tentang hasil inventarisasi kebun kelapa sawit dalam kawasan hutan di Provinsi Riau. Berdasarkan delapan SK itu setidaknya diketahui ada sebanyak 442 subjek hukum (pengelola kawasan hutan tanpa izin) yang berada di Provinsi Riau. Subjek hukum yang dimaksud tergolong dalam korporasi (perusahaan), kelompok tani dan koperasi, masyarakat individu dan pemerintah.
Sayangnya, dalam delapan SK Menteri LHK itu tidak semua mencantumkan luasan hutan yang dikelola oleh subjek hukum. Dari sebanyak 442 subjek hukum yang terdata, sebagian dikenakan dengan penerapan pasal 110A maupun pasal 110B Undang-undang Cipta Kerja. Adapun total luasan yang tercantum yakni sekitar 330 ribu hektar.
Kementerian LHK dalam rapat kerja bersama Komisi IV DPR RI pernah mengekspos ada kawasan hutan yang dikuasai tanpa izin seluas 1,4 juta hektare di Riau. Dari jumlah tersebut, sekitar 535 ribu hektar diduga dikuasai oleh korporasi. Sisanya dikelola oleh kelompok masyarakat dalam bentuk kelompok tani dan koperasi, perorangan dan pemerintah.
Meski demikian, hingga kini belum diperoleh angka pasti berapa luasan kebun sawit dalam kawasan hutan tanpa izin di Riau yang dikuasai oleh korporasi. Pihak Kementerian LHK belum pernah mengungkapnya secara terbuka. (*)