Gawat! 90 Persen Kampus Swasta di Indonesia Tak Sehat, Ini Persoalan yang Melilitnya
SABANGMERAUKE NEWS, Jakarta - Kondisi kampus-kampus swasta di Indonesia didominasi dalam keadaan tidak sehat. Hanya sekitar 10 persen dari perguruan tinggi swasta yang beroperasional dengan baik. Selebihnya, 90 persen justru mengalami persoalan yang cukup serius dalam menjalankan kegiatan tri dharma perguruan tinggi.
Wakil Ketua Komisi X DPR RI dari Fraksi Demokrat Dede Yusuf menerangkan, sekitar 90 persen dari total 3.128 perguruan tinggi swasta (PTS) di Indonesia dalam kondisi yang kurang sehat dan mengalami kesulitan dalam operasional.
Untuk mengatasi masalah yang tesebut, pemerintah melakukan penggabungan perguruan tinggi. PTS yang kurang sehat itu sudah bergabung dengan PTS yang sehat.
Kendati demikian, dalam proses penggabungan itu ditemukan masalah baru. Permasalahan yang dihadapi PTS yakni pertama, kesenjangan antara PTS dan Perguruan Tinggi Negeri (PTN).
Dede menuturkan dikotomi PTS dan PTN ditunjukkan pada pola belanja negara khususnya di Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek).
Pembinaan atau bantuan yang diperuntukkan bagi PTS kurang dari enam persen dari anggaran. Sementara PTN menerima kurang lebih 94 persen dari total anggaran.
"Dikotomi ini seharusnya tidak terjadi mengingat PTN dan PTS memiliki tanggungjawab yang sama dalam meningkatkan partisipasi pendidikan tinggi," kata Dede dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Panja Perguruan Tinggi Komisi X DPR RI, Senin (19/9/2022).
Kualitas masih Rendah
Dede juga menyebut soal masalah kualitas. Saat ini PTS mendidik sebanyak 72 persen mahasiswa, sehingga perhatian pada kualitas perlu ditingkatkan. Menurut Dede, tantangan yang harus dihadapi PTS adalah proses pendidikan terjamin dengan manajemen mutu yang baik.
"Upaya-upaya PTS untuk meningkatkan sarana dan prasarana, mutu dosen, mutu lulusan harus dapat didukung pemerintah," ucapnya.
Sebab, kata dia, dosen yang merupakan tulang punggung pendidikan masih banyak yang dalam kondisi memprihatinkan. Sekitar 49 persen dosen masih berpendidikan S-1 dan hampir 50 pesen dosen berstatus tidak tetap atau berinduk lebih dari dua organisasi.
Ia menilai hal itu menyebabkan pekerjaan dosen menjadi tidak optimal, sehingga perlu peningkatan kompetensi dan kesejahteraan.
"Hal ini terjadi di dosen-dosen PTS. Bahkan ada dosen yang hanya dapat honor Rp1,5 juta per bulan. Memprihatinkan sekali," kata Dede.
Ketiga, masalah relevansi. Dede mengatakan bahwa dunia industri membutuhkan banyak sarjana berbasis teknik untuk diterjunkan ke industri manufaktur. Namun, perguruan tinggi justru banyak menawarkan pendidikan berbasis sosial.
Kemudian, terakhir masalah kompetitif perguruan tinggi. Menurutnya, hal yang paling utama adalah bagaimana mendorong agar PTS dapat mengembangkan diri menjadi universitas riset untuk menghasilkan jurnal paten dan hak kekayaan intelektual (HAKI).
"Masalahnya risetnya kemudian dipakai atau tidak oleh dunia usaha dan dunia industri. Atau hanya sekedar istilahnya simbol-simbol," pungkasnya. (*)