Gambut dan Abrasi di Kepulauan Meranti: Keindahan yang Rapuh
Penulis: Ilham Muhammad Yasir*
"Hamparan gambutnya menyerupai permaidani hijau yang tak hanya memikat mata, tetapi juga menyimpan kehidupan didalamnya. Namun, di sisi lain, pesisir pantainya perlahan terkikis, menghadirkan drama alam yang menyayat hati --abrasi yang tiada hentinya menggempur garis pantai"
KEPULAUAN Meranti adalah perwujudan sempurna dari kekayaan alam yang juga menyimpan kerapuhannya sendiri. Sebuah seruan diam, menantang kita untuk bertindak demi kelestarian lingkungan, dan menjaga amanah warisan untuk generasi mendatang. Di antara riak ombak yang bersahutan dan daratan yang menghampar hijau, Kepulauan Meranti muncul sebagai sebuah paradoks alam yang menakjubkan. Gugusan empat pulau utamanya --Pulau Tebing Tinggi, Pulau Rangsang, Pulau Padang dan Pulau Merbau--menyimpan kekayaan alam yang besar, namun rapuh di tengah bayang-bayang ancaman lingkungan yang nyata.
Dengan luas wilayah sekitar 3.707,84 km² dan jumlah penduduk yang telah melampaui 217.607 jiwa (BPS, 2024), Kepulauan Meranti bukan sekadar bentang geografis di peta, melainkan narasi kehidupan yang berdenyut di antara peluang dan tantangan besar. Keindahannya memukau, potensinya menggiurkan, namun terancam dari sisi lingkungannya.
Pulau Tebing Tinggi (Kota Selatpanjang), dengan 66.385 jiwa dan luas 81,00 km², menjadi pusat pemerintahan dan pusat konsentrasi penduduk terbesar atau seperempat dari jumlah penduduk Meranti. Kota Selatpanjang yang terletak di pulau ini berfungsi sebagai pusat aktifitas ekonomi dan sosial. Di sisi lain, Pulau Rangsang, yang luasnya mencapai 652,72 km², terkenal sebagai wilayah yang paling terdampak abrasi, terutama di bagian utara. Sementara itu, Pulau Padang dan Pulau Merbau, yang lebih kecil masing-masing dengan luas 477,8 km² dan 717 km², tetap menyimpan hutan gambut yang luas, meski ancaman degradasi juga terus meningkat di sana.
Gambut yang Rapuh
Fakta tanah gambut, menurut laporan Wetlands International and FAO (Food and Agriculture Organization) tahun 2020, hanya mencakupi 3-4 persen dari luas seluruh wilayah daratan di bumi ini. Salah satu ekosistem yang kecil secara geografis, namun memiliki peran yang sangat besar bagi lingkungan global.
Tanah gambut menyimpan 25 - 30 persen dari tanah karbon global. Ini setara dengan dua kali lipat jumlah karbon yang tersimpan di semua hutan di dunia, menjadikan gambut sebagai ekosistem penting dalam mitigasi perubahan iklim. Dalam satu hektare lahan gambut dapat menyimpan hingga 1.500 ton karbon.
Sementara itu menurut Intergovernmental Panel on Climate ChangeI (IPCC) tahun 2019, penyimpanan karbon ini berasal dari bahan organik yang terakumulasi selama ribuan tahun dalam kondisi anaerob (minim oksigen). Karena itu, tanah gambut menjadi salah satu penyerap karbon alami yang paling efektif di bumi.
Ketika gambut dirusak, karbon yang tersimpan dapat terlepas ke atmosfer dalam bentuk gas rumah kaca, seperti karbon dioksida (CO2) dan metana (CH4). Dampak kerusakan, satu hektare lahan gambut yang dikeringkan atau dibakar dapat melepaskan hingga 100 ton karbon per tahun, yang memperburuk krisis iklim global.
Dengan lebih dari 80 persen wilayahnya adalah lahan gambut, Kepulauan Meranti sebenarnya menjadi salah satu di antara penyumbang karbon yang harus diperhatikan. Apalagi saat ini, gambut menjadi salah satu ekosistem yang paling terancam.
Aktifitas manusia, seperti alih fungsi lahan dan pembukaan gambut untuk pertanian, telah mempercepat degradasi. Drainase yang tidak terkendali membuat gambut kehilangan kemampuan alaminya untuk menyerap air, sehingga memicu penurunan permukaan tanah (subsiden).
Ancaman itu semakin diperburuk oleh kenaikan permukaan air laut akibat perubahan iklim global. Abrasi menjadi momok besar, terutama di sepanjang pesisir Pulau Rangsang kurang lebih 73,47 km² dan Pulau Merbau, di mana garis pantai tergerus masuk ke dalam sejauh 20 hingga 25 meter setiap tahunnya. Tanpa intervensi nyata, gambut dan pesisir Meranti bisa menjadi saksi sunyi tenggelamnya tanah yang telah lama menjadi tempat hidup masyarakat setempat.
Aksesibilitas Terbatas
Salah satu tantangan besar di Kepulauan Meranti adalah infrastruktur darat yang belum memadai. Jalan-jalan antarpulau masih terbatas, sehingga distribusi barang dan mobilitas masyarakat menjadi sulit. Namun, posisi geografis Meranti yang strategis di perairan Selat Malaka memberikan keuntungan besar.
Jalur laut memungkinkan konektifitas antarpulau, mengurangi keterisoliran wilayah, dan membuka akses perdagangan dengan wilayah lain, termasuk Siak, Bengkalis, Dumai, Tembilahan, Tanjungbalai, dan Batam, dan bahkan negara-negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura.
Meski infrastruktur darat menjadi hambatan, perairan Selat Malaka menjadikan Meranti bagian dari jalur perdagangan internasional yang sibuk. Potensi ini, jika dikelola dengan baik, bisa menjadi kunci untuk membuka peluang ekonomi baru di masa depan.
Tanggung Jawab Global
Namun, permasalahan Meranti bukan hanya masalah lokal atau nasional. Dunia internasional atau masyarakat global harusnya memiliki kepentingan besar terhadap ekosistem di Kepulauan Meranti.
Lahan gambut di sini tidak hanya semata-mata dari sisi hak milik atas tanah, melainkan harus dimaknai lebih luas sebagai benteng dalam mitigasi perubahan iklim global. Jika gambut ini rusak, karbon yang dilepaskan ke atmosfer akan memperburuk krisis iklim dunia.
Selain itu, hutan mangrove di pesisir Kepulauan Meranti adalah benteng alami dari abrasi dan habitat penting bagi keanekaragaman hayati. Degradasi mangrove tidak hanya berdampak pada lingkungan lokal, tetapi juga pada stabilitas ekosistem global. Dunia internasional harus memandang Meranti sebagai bagian penting dari upaya kolektif untuk menjaga planet yang kita tempati ini.
Melalui program-program global (internasional) yang memungkinkan dan relevan, seharusnya dapat diperoleh oleh Kepulauan Meranti. Seperti misalnya, Pertama, program Green Climate Fund (GCF), sebuah pendanaan untuk menghadapi perubahan iklim melalui proyek mitigasi dan adaptasi. Meranti dapat memanfaatkan GCF untuk rehabilitasi gambut, restorasi mangrove, dan pelatihan masyarakat lokal dalam pengelolaan sumber daya berkelanjutan.
Kedua, program Global Environment Facility (GEF), model pendanaan untuk perlindungan keanekaragaman hayati dan mitigasi perubahan iklim. Untuk Meranti, GEF dapat mendukung konservasi mangrove, pengelolaan limbah, dan pengembangan teknologi hijau di sektor perikanan.
Ketiga, program Adaptation Fund (AF), model pendanaan proyek yang meningkatkan ketahanan wilayah rentan terhadap perubahan iklim. Meranti dapat mengajukan pendanaan untuk infrastruktur hijau seperti tanggul berbasis mangrove untuk melindungi pantai dari abrasi.
Keempat, REDD+ (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation), program ini memberikan insentif untuk melindungi hutan dan mengurangi emisi gas rumah kaca. REDD+ dapat digunakan Meranti untuk melestarikan hutan gambut dan mangrove, sekaligus meningkatkan manfaat ekonomi bagi masyarakat lokal.
Kelima, International Climate Initiative (IKI), model proyek pendanaan dari pemerintah Jerman untuk mendukung proyek mitigasi perubahan iklim, seperti pengelolaan air di lahan gambut. Meranti dapat memanfaatkan IKI untuk konservasi gambut dan transfer teknologi ramah lingkungan.
Kolaborasi
Untuk mendapatkan pendanaan dan menjalankan proyek-proyek perubahan iklim di Kepulauan Meranti, langkah kolaboratif menjadi kunci utama. Niat yang kuat dan komitmen bersama dari berbagai pemangku kepentingan ---baik pemerintah daerah, masyarakat lokal, akademisi, hingga mitra internasional--- sangat diperlukan untuk menyusun dan melaksanakan rencana yang berdampak nyata.
Kolaborasi dimulai dengan melibatkan masyarakat lokal, seperti petani sagu, petani di lahan gambut, rawa, nelayan, usaha mikro (UMKM) dalam proses perencanaan proyek agar program yang ditawarkan sesuai dengan keperluan nyata di lapangan. Pemerintah daerah perlu bekerja sama dan meminta dijembatani oleh lembaga nasional, seperti Kementerian Lingkungan Hidup dan (KLH) atau Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM), untuk menyusun proposal yang memenuhi standar internasional.
Selain itu, penting untuk membangun jaringan dengan mitra global, seperti Green Climate Fund (GCF), Adaptation Fund (AF), atau Global Environment Facility (GEF) tersebut, pemerintah daerah harus menjadi leading sector dengan melibatkan peran serta kelompok dan lembaga swadaya masyarakat. Proyek seperti rehabilitasi gambut, restorasi mangrove, dan pengelolaan limbah memerlukan pendekatan yang tidak hanya berbasis ilmiah, tetapi juga inklusif terhadap komunitas lokal. Niat bersama juga harus diwujudkan dalam bentuk keterbukaan informasi dan transparansi pengelolaan dana.
Dengan demikian, masyarakat lokal dapat merasa menjadi bagian dari perubahan, sementara para donor internasional dapat percaya bahwa dana yang mereka berikan benar-benar digunakan untuk tujuan yang jelas dan berkelanjutan.
Tinggalkan praktek korup, dan praktik suap-menyuap dan yang tak terpuji lainnya dalam pengelolaan anggaran publik. Tanpa kolaborasi dan niat yang tulus dari semua pihak, potensi besar Kepulauan Meranti hanya akan tetap menjadi peluang yang tidak tergarap. Oleh karena itu, inisiatif kolektif ini menjadi langkah pertama untuk mengubah tantangan menjadi keberhasilan yang nyata.
Masa Depan
Masa depan Kepulauan Meranti bukan hanya milik masyarakat lokal, tetapi juga menjadi tanggung jawab global. Solidaritas global, yang diwujudkan melalui pendanaan, teknologi, dan pendidikan, adalah kunci untuk menghadapi tantangan lingkungan yang ada. Namun, Meranti juga membutuhkan kepemimpinan yang bersih dan visioner untuk mengelola potensi besar ini.
Pemimpin yang bebas dari konflik kepentingan dan berkomitmen pada keberlanjutan adalah harapan baru bagi masyarakat Meranti. Masa depan Meranti tidak hanya tentang menyelamatkan gambut atau mangrove, tetapi juga tentang membangun kebanggaan dan harapan bagi generasi mendatang.
Dengan kekayaan lingkungan ini, Kepulauan Meranti memiliki peluang besar untuk menjadi contoh daerah yang berhasil memanfaatkan sumber daya alam secara berkelanjutan.
Namun, keberhasilan ini sangat bergantung pada pengelolaan yang baik, pelestarian ekosistem, serta keterlibatan semua pihak dalam melindungi lingkungan. Seperti pepatah Melayu yang mengingatkan kita: “Berat sama dipikul, ringan sama dijinjing”.
Dengan gotong-royong dan solidaritas, baik lokal maupun global, Kepulauan Meranti tidak hanya akan bertahan, tetapi juga berkembang menjadi inspirasi bagi warisan generasi mendatang.Semoga. (R-01)
*Penulis merupakan jurnalis tinggal di Pekanbaru dan berasal dari Kepulauan Meranti.