Sengkarut Kelapa Sawit, Ombudsman RI Soroti Tumpang Tindih Regulasi: Masyarakat Rugi Rp 524 Miliar
SABANGMERAUKE NEWS, Jakarta - Anggota Ombudsman RI Yeka Hendra Fatika menuturkan indikasi potensi maladministrasi pada tata kelola industri kelapa sawit. Indikasi ini, kata dia salah satunya ditandai dengan adanya tumpang tindih regulasi.
"Kita akan turun bareng-bareng, kami ajak para stakeholder terkait. Kita akan lihat sama-sama penerapan regulasi di lapangan bagaimana, sejauh mana penyimpangan terjadi di lapangan," katanya dalam diskusi tata kelola industri kelapa sawit di Kantor Ombudsman RI, Jakarta pada Senin (27/5/2024).
Dia mengatakan, ada beberapa regulasi yang membuat pelayanan publik pemerintah di industri kelapa sawit terganggu. Seperti tumpang tindih izin lahan.
"Misalnya lahan kelapa sawit yang dianggap masuk kawasan hutan. Mau sampai kapan masalah ini berlarut? Ini harus ditata tanpa ada pihak yang dirugikan," tutur Yeka.
Ombudsman melihat adanya benturan regulasi terkait tumpang tindih lahan, kawasan hutan serta perizinan. Benturan ini terjadi antara rezim kawasan dan pemberlakuan Undang-Undang Cipta Kerja yang membingungkan petani dan pelaku usaha. "Mulai dari penunjukan, tata batas, pemetaan dan penetapan."
Dalam hal ini, Ombudsman memetakan masalah pada tata kelola industri kelapa sawit. Ombudsman telah memetakan bahwa masalah tata kelola pelayanan industri kelapa sawit ternyata masih dihinggapi dengan permasalahan lahan dan perizinan, serta tata niaga.
"Permasalahan lahan dan perizinan mencakup kepastian izin lokasi perkebunan kelapa sawit berupa isu overlapping kawasan dan plasma 20 persen," kata Yeka.
Dalam permasalahan kepastian izin usaha, terkendala dua isu. Pertama, soal penilaian usaha perkebunan atau PUP. Kedua, perihal Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) dan Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO).
Sementara dari sisi tata niaga, ada empat isu yang menjadi persoalan. Pertama, produk sawit terkendala kebijakan Domestic Market Obligation (DMO) untuk memenuhi kebutuhan crude palm oil (CPO) dalam negeri untuk fame/B20-B40 dan minyak konsumsi.
Kedua, pengolahan produk sawit terkendala kemitraan antara petani rakyat dengan industri. Ketiga, harga tidak dapat memberikan keuntungan bagi petani, masyarakat bahkan pedagang minyak goreng sawit. Terakhir, teknologi yang masih terbatas sehingga target peningkatan produktivitas per belum terpenuhi.
Kerugian Capai Rp 524 Miliar
Selain itu Yeka Hendra Fatika juga mengungkapkan potensi kerugian masyarakat dari aduan maladministrasi sejak 2021 sampai sekarang senilai Rp 524,71 miliar. Hal ini khususnya pada sektor ekonomi I Ombudsman RI.
"Jadi, potensi kerugian dari aduan yang masuk, yang saya handle dari 2021 sampai 2024 sekitar 524,71 miliar kerugian material. Ini bukan immaterial, materialnya," kata dia di kantor Ombudsman RI pada Senin (27/5/2024).
Dari jumlah tersebut, total potensi kerugian yang diselamatkan Ombudsman sebesar Rp 322,59 miliar.
Yeka mengatakan, ada 239 laporan maladministrasi terkait sawit yang masuk ke Ombudsman dari tahun 2018 sampai 2024.
"Nah, kalau dilihat dari substansi ataupun juga lembaganya, sebetulnya terdistribusi ke banyak substansi dan ke banyak lembaga," tutur dia.
Berdasarkan substansinya, aduan yang masuk yakni terkait agraria 69 aduan, perkebunan, pertanian dan pangan 36 aduan, kepolisian 24 aduan serta perizinan 23 aduan. Kemudian masing-masing 21 aduan terkait kehutanan dan ketenagakerjaan, 16 aduan terkait koperasi, usaha kecil dan menengah. Sementara aduan terkait perdagangan, industri dan logistik mencapai 11 aduan, 10 aduan lingkungan hidup serta 8 aduan terkait kejaksaan.
Sedangkan bila diklasifikasikan menurut sisi lembaga yang diadukan, paling banyak adalah pemerintah kabupaten/kota. Jumlahnya 92 aduan per April 2024. Menyusul Kementerian ATR/BPN, Polri, pemerintah provinsi, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Pertanian dan kejaksaan. Lalu, ada PT Perkebunan Nusantara, Kementerian ESDM, BPJS Ketenagakerjaan hingga Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit.
"Jadi, begitu luasnya dimensi persoalan sawit ini, yang akhirnya kami coba (selesaikan). Bagi Ombudsman, aduan ini harus diperkecil. Karena kalau tidak dicegah, maka nanti bisa saja akan tambah banyak aduan ini," kata Yeka.
Ruang lingkup permasalahan yang dilaporkan kepada Ombudsman RI ada empat. Keempatnya adalah perihal lahan, izin usaha, tata niaga hingga tata kelola sawit itu sendiri. (R-03)