Haji Katan Akui Uang Rp 10 Juta dari Petrus Edy Susanto Bantuan Sosial untuk Anaknya yang Sakit
SabangMerauke News, Pekanbaru - Sidang perkara proyek jalan lingkar Pulau Bengkalis menghadirkan lima orang saksi, Rabu (24/2/2022) di Pengadilan Tipikor Pekanbaru. Tiga di antaranya adalah ketua dan anggota kelompok kerja (pokja) lelang yakni Syarifuddin alias Haji Katan, Adi Zulhami dan Rozali.
Sementara dua lainnya adalah Makmur alias Aan yang merupakan Direktur Mitra Bungo Abadi, sub kontraktor proyek jalan Batu Panjang-Pangkalan Nyirih, Bengkalis yang digarap oleh PT Mawatindo Road Construction. Seorang saksi lainnya adalah Bambang Saptadi.
Perkara ini menjerat lima orang sebagai terdakwa yakni Firjan Taufa, Tirtha Adhi Kazmi, Didiet Hadianto, I Ketut Suarbawa serta Petrus Edy Susanto.
Dalam kesaksiannya, Makmur menyatakan kalau proyek jalan Batu Panjang-Pangkalan Nyirih yang merupakan satu dari 6 paket proyek multiyears 2013-2015, memang diatur pemenangnya yakni PT Mawatindo.
Makmur juga menyebut tidak mengetahui peran dari Petrus Edy Susanto dalam paket proyek multiyears lainnya. Ia hanya mengetahui soal proyek dari H Ismail.
Sebelumnya dalam persidangan pekan lalu, fakta persidangan mengungkap tidak adanya keterangan yang berkesuaian antara para saksi soal adanya pertemuan pengaturan calon pengantin (perusahaan) yang akan menggarap 6 paket proyek multiyears. Apalagi, soal fakta adanya uang pelicin sebesar Rp 3 miliar yang diserahkan perwakilan PT Multi Structure ke Ribut Susanto, ternyata PT Multi tidak memperoleh proyek yang diinginkan.
BERITA TERKAIT: Kuasa Hukum Petrus Edy Susanto Tegaskan Kliennya Tak Kenal Ribut Susanto: Negara Rusak karena Makelar Proyek!
Terkait sanggahan dari PT ANN atas penetapan Wika Sumindo sebagai pemenang tender jalan lingkar Pulau Bengkalis, saksi menyebut diabaikan dan ditolak oleh panitia lelang. Hal tersebut karena PT ANN telah memenangkan paket proyek Bukit Batu-Siak Kecil.
Faktanya, PT Wika-Sumindo adalah merupakan perusahaan yang memberi penawaran terendah dan terbaik jauh di bawah pagu anggaran sebesar Rp 429 miliar. Diketahui, Wika-Sumindo joint operation menawar sebesar Rp 395 miliar hingga ditetapkan sebagai pemenang lelang.
Yakubus Welianto SH, MHum menyatakan PT Wika-Sumindo tidak pernah menerima bocoran harga penawaran sementara (HPS) dari pokja lelang. Hal tersebut berbeda dengan PT Wasco dan PT Mawatindo atau PT Multi yang diduga memperoleh HPS dari pokja lelang.
Dalam kesaksiannya, Syarifuddin alias Haji Katan mengakui pernah menerima bantuan pinjaman dari Petrus Edy Susanto. Namun, Syarifuddin menegaskan kalau bantuan uang sebesar Rp 10 juta, tidak terkait dengan dimenangkannya PT Wika-Sumindo sebagai pemenang tender.
"Saya memang meminta bantuan untuk anak saya yang sakit di Jakarta. Saya mendapat bantuan Rp 10 juta dari Pak Petrus. Tapi, itu tidak terkait dengan proyek. Hanya hubungan pribadi karena anak saya sakit di Jakarta," jelas Syarifuddin.
Sementara anggota dan sekretaris pokja lelang, Adi Zulhami dan Rozali mengakui tidak pernah berhubungan dengan terdakwa Petrus Edy Susanto.
Sebelumnya, empat orang saksi pekan lalu telah diperiksa oleh majelis hakim. Keempatnya yakni Wayan Sumertha selaku tenaga ahli PT Mawatindo Road Construction, Dwi Prakoso dari PT Wika, Viktor Sitorus selaku Wakil Presiden PT Widya Sapto Colas (Wasco) dan Jefri Situmorang dari PT Multi Structure.
Dalam keterangannya, Jefri Situmorang mengakui kalau PT Multi Structure pernah memberikan uang kepada Ribut Susanto sebesar Rp 3 miliar. Ribut disebut-sebut sebagai orang dekat Bupati Bengkalis, Herliyan Saleh. Namun belakangan, mesti sudah menyetor uang, justru PT Multi Structure tidak mendapatkan proyek yang diinginkan.
Jaksa KPK dalam sidang kemarin menanyakan kepada para saksi terkait sejumlah pertemuan yang digelar di Jakarta dan Surabaya. Namun, para saksi mengaku tidak pernah membicarakan soal pengaturan 6 paket proyek multiyears yang didanai APBD Bengkalis 2013-2015. Menurut para saksi, pertemuan semata hanya silaturahmi.
Giliran Yakubus Welianto SH, MHum, penasihat hukum Petrus Edy Susanto yang mencecar para saksi. Welianto mempertanyakan apakah dalam sejumlah pertemuan yang pernah digelar, para saksi melihat kehadiran secara fisik Petrus Edy Susanto. Namun para saksi mengaku tidak mengenal dengan persis wajah Petrus sehingga tidak mengetahui secara pasti ada tidaknya Petrus dalam pertemuan. Sebagian saksi lain mengaku memang sama sekali tidak melihat kehadiran Petrus.
"Tolong berikan keterangan yang jujur, Saudara saksi. Ini menyangkut soal nyawa orang. Jangan asal bicara menyebut orang hadir," tegas Welianto.
Welianto menegaskan kalau kliennya tidak pernah hadir dalam pertemuan-pertemuan yang dituduhkan. Menurutnya, segala urusan teknis pelelangan proyek sudah dipercayakan kepada pihak Wika dan orang-orang yang sudah ditugaskan.
Sebelumnya, Welianto juga telah membantah keras pernyataan Ribut Susanto yang menyebut pernah berkomunikasi dengan kliennya soal proyek jalan Lingkar Pulau Bengkalis. Kesaksian Ribut yang merupakan Ketua Tim Sukses Bupati Bengkalis 2010-2015, Herliyan Saleh dalam persidangan sebelumnya, dinilai hanyalah pengakuan sepihak yang tak berdasar.
"Justru klien kami tidak mengenal sama sekali dengan Ribut Susanto. Seribu persen tidak kenal dengan Ribut Susanto," kata Yakubus Welianto SH, MHum, penasihat hukum Petrus Edy Susanto dalam keterangan tertulisnya kepada SabangMerauke News, Kamis (10/2/2022) lalu.
Menurut Welianto, PT Wika-Sumindo joint operation, memenangkan proyek tersebut sesuai prosedur dan tahapan mekanisme lelang yang sah dan legal. Seluruh persyaratan telah terpenuhi, bahkan penawaran perusahaan terbaik dan terendah jauh di bawah pagu anggaran dan penawaran dua perusahaan kompetitor lainnya. Welianto menegaskan kalau kliennya menyarankan kepada PT Wika-Sumindo untuk menawar lelang dengan menurunkan (potong) 7-8 persen dari pagu anggaran.
Dari tiga perusahaan peserta tender, PT Wika-Sumindo joint operation, melakukan penawaran Rp 395,4 miliar dari pagu anggaran Rp 429,9 miliar. Sementara dua perusahaan lain yakni PT Modern Widya dan PT Pembangunan Perumahan menawar masing-masing Rp 401,5 miliar dan Rp 402 miliar.
"Kalau ada dugaan suap, maka tak mungkin klien kami menawar paling rendah. Justru, kami telah melakukan efisiensi keuangan daerah dan negara lewat penawaran terendah dari dua perusahaan lainnya" jelas Welianto.
Ia menegaskan kalau seluruh pekerjaan 100 persen telah tuntas dan pada saat serah terima proyek/ final hand over (FHO) pada Desember 2016 lalu, sama sekali tidak ditemukan adanya penyimpangan.
Menurutnya, dugaan adanya makelar proyek dalam 6 paket anggaran multiyears APBD Bengkalis 2013-2015 telah membuat kekacauan pelaksanaan tender. Tindakan makelar proyek kerap berujung pada permintaan komisi, meski pekerjaan belum dilaksanakan.
"Negara rusak gara-gara ulah para makelar proyek. Ujung-ujungnya minta komisi kepada kontraktor. Kecenderungannya belum kerja tapi kontraktor sudah keluar duit," tegas Welianto seraya berharap ke depannya agar proyek milik pemerintah melibatkan divisi pencegahan KPK dan pelaksanaan tahapan proyek.
Sebelumnya, Rabu (9/2/2022) kemarin di Pengadilan Tipikor, Welianto menilai penjeratan hukum yang dialami oleh kliennya memiliki sejumlah kecacatan hukum. Petrus disebut dipaksakan harus menjalani proses hukum yang tidak adil akibat penerapan hukum yang tidak tepat dan gegabah.
"Klien kami menjadi korban dari penerapan hukum yang tidak adil. Yakni penerapan hukum yang tidak hati-hati dan gegabah sehingga klien kami serta nasib karyawan perusahaan berjumlah ribuan orang yang telah menyumbang pajak hingga ratusan miliar, harus diperlakukan seperti saat ini," kata Welianto.
Welianto menilai penetapan status tersangka terhadap Petrus bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi nomor 25/PUU-XIV/2016 yang menguji frasa 'dapat' dalam pasal 2 dan pasal 3 Undang-undang Pemberantasan Tipikor.
Putusan MK tersebut berimplikasi terhadap kerugian negara tidak lagi menjadi delik formil, namun telah bergeser menjadi delik materil. Dengan demikian, kerugian negara tidak lagi berdasarkan potential loss (perkiraan kerugian), melainkan menjadi actual loss (kerugian aktual).
Sementara faktanya kata Welianto, kliennya ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK pada 10 Januari 2020. Padahal, hasil audit dari BPK RI baru terbit hampir dua tahun kemudian yakni pada 24 Desember 2021.
"Coba bayangkan, hampir dua tahun setelah klien saya ditetapkan sebagai tersangka, baru muncul kemudian hasil audit kerugian negara dari BPK. Ini sebenarnya sudah melanggar putusan Mahkamah Konstitusi. Kerugian negara itu haruslah actual loss," jelas Welianto dalam legal opininya.
Ia juga mempertanyakan soal mindset penyidik kasus ini dalam menerapkan pasal Tindak Pidana Korupsi terhadap pekerjaan konstruksi. Padahal, dalam urusan konstruksi sudah diatur dalam Undang-undang nomor 2 tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi. Menurutnya, dalam kasus ini, penyidik seharusnya tidak hanya bersandar pada UU Tipikor, namun pada ketentuan yang lebih khusus serta juga undang-undang terbaru. Dalam hal ini, Welianto menyitir asas hukum Lex posterior derogat legi priori. Ditambah dengan dengan lahirnya Undang-undang nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang mengubah nuansa dan sistematika dalam bisnis jasa konstruksi.
"Jasa konstruksi sudah masuk dalam ranah investasi, tidak lagi semata jasa konstruksi. Oleh karenanya, jasa konstruksi jangan dihancurkan dengan alibi penegakan hukum yang tidak lurus dengan iklim investasi. Seharusnya, jasa konstruksi dilindungi dan diperkuat agar dapat bersaing dengan kompetitor global dan luar negeri. Agar kontraktor dalam negeri tidak menjadi kuli di negeri sendiri," kata Welianto.
Welianto berharap agar kasus yang menerpa kliennya ini mendapat perhatian khusus dari pemerintahan di bawah komando Presiden Joko Widodo yang saat ini menggalakkan program strategis nasional (PSN). Menurutnya, perlakuan hukum terhadap pelaku usaha jasa konstruksi yang dialami kliennya, telah menyebabkan gangguan serius pada perusahaan dan membuat nasib ribuan tenaga kerja terlantar.
"Kami ingin mengetuk pintu hati Pak Presiden Jokowi. Kalau hal-hal begini terus terjadi, maka usaha jasa konstruksi dalam negeri akan rusak. Padahal semangat positif Presiden Jokowi menumbuhkan daya saing usaha dalam negeri sangat baik. Tapi, kenyataannya hal seperti yang dialami klien kami terjadi," tegas Welianto.
Petrus Edy Susanto menjadi pesakitan hukum bersama bos BUMN PT Wijaya Karya (Wika), I Ketut Suarbawa. Tiga orang lainnya dari unsur Pemkab Bengkalis dan pelaksana teknis proyek juga sudah berstatus terdakwa. Kelimanya didakwa oleh jaksa KPK merugikan negara sebesar Rp 59,6 miliar.
Jaksa KPK mendakwa dengan dengan pasal 2 ayat 1 jucnto pasal 18 Undang-undang Pemberantasan Tipikor juncto pasal 55 ayat (1) ke-1 jo pasal 64 ayat (1) KUHPidana.
Petrus Edy Susanto adalah pemilik PT Cemerlang Samudera Kotrindo. Ia berminat menggarap proyek jalan lingkar Pulau Bengkalis tahun 2013-2015. Ia kemudian mengontak koleganya PT Sumatera Indah Indonesia (Sumindo), tapi ternyata kemampuan dasar (KD) dari PT Sumindo untuk mengerjakan proyek multiyears masih kurang. Belakangan PT Sumindo pun menjalin kerjasama dengan PT Wika untuk mengerjakan proyek jalan tersebut dengan pola joint operation. (*)