Gaji Hakim Sang 'Wakil Tuhan' Sudah Tinggi Tapi Masih Korupsi, Pengamat: Serakah!
SabangMerauke News, Surabaya - Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM) Zaenur Rohman menilai tindak korupsi di lembaga peradilan terjadi karena keserakahan.
Hal itu disampaikan Zaenur menanggapi ditangkapnya hakim Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, Itong Isnaini Hidayat dalam operasi tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Rabu (19/1/2022).
Itong kemudian ditetapkan sebagai tersangka dugaan suap pengurusan perkara dalam konferensi pers, Kamis (20/1/2022) malam.
“Hakim banyak terjerat kasus korupsi itu karena keserakahan, bukan karena pendapatannya yang kecil,” sebut Zaenur kepada Kompas.com, Sabtu (22/1/2022).
Zaenur mengatakan, keserakahan itu bisa diberantas dengan beberapa cara. Pertama, meningkatkan integritas dalam diri para hakim.
“Para hakim harus punya penghayatan pada sumpah jabatannya,” ucap dia.
Kedua, terus menerus diingatkan tentang kode etik yang berlaku.
Dalam pandangan Zaenur, sebagai wakil Tuhan di dunia yang bertugas memutus perkara, hakim punya standar kode etik yang tinggi dan lebih ketat.
Jika perlu, lanjut dia, hakim mesti dibatasi pergaulan sosialnya agar tidak terjebak dalam konflik kepentingan yang bisa mempengaruhi pengambilan keputusan dalam suatu perkara.
“Hakim harus menjadi lebih soliter, tidak banyak bergaul dengan aparat penegak hukum lain seperti jaksa, dan advokat, juga mesti dibatasi bergaul dengan pengusaha,” jelasnya.
“Sebab profesi hakim memang profesi yang harusnya menempuh jalan hidup sepi, karena ia harus berdiri ditengah-tengah, harus adil,” sambung Zaenur.
Terakhir, pengawasan. Zaenur berharap Mahkamah Agung (MA) dan Komisi Yudisial (KY) memperketat pengawasan kinerja hakim.
Selain itu, pejabat di pengadilan negeri juga perlu meningkatkan pengawasan pada para pegawainya.
Sebab, tak jarang kasus korupsi terkait pengurusan perkara justru diatur oleh pihak-pihak selain hakim.
“Bisa panitera pengganti, bahkan ada cerita, tukang parkir di pengadilan pun bisa mengatur kesepakatan tentang sebuah perkara,” tutur Zaenur.
Adapun dikutip dari Kompaspedia.kompas.id sejak tahun 2006 terdapat 26 hakim telah terjerat tindak pidana korupsi.
Para hakim yang terjerat korupsi itu beragam dari tingkat pengadilan pertama sampai tingkat MA dan MK.
Kasus cukup besar terjadi medio 2013 ketika Ketua MK Akil Mochtar terbukti menerima suap terkait sengketa pilkada di berbagai daerah.
Akil disebut menerima hingga puluhan miliar rupiah dalam kasus itu. Ia kemudian dijatuhi vonis pidana penjara seumur hidup.
Kemudian kasus korupsi yang menjerat hakim MK Patrialis Akbar tahun 2017.
Kala itu ia terbukti menerima suap terkait perkara uji materi Undang-Undang (UU) Nomor 41 Tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan.
Patrialis kemudian dijatuhi pidana penjara 8 tahun, dan denda Rp 300 juta.
Ia juga diwajibkan membayar pidana pengganti sesuai suap yang diterimanya senilai 10.000 dollar Amerika dan Rp 4.043.000. (*)