Awal Mula Kata 'Halalbihalal' Ternyata Sarat Politik, Ketika Bung Karno Gusar Undangannya Ditolak Elit Nasional
SABANGMERAUKE NEWS - Indonesia dikenal memiliki banyak istilah dan pemanfaatan kata. Diksi dirancang, ditemukan lalu dipakai untuk memperindah sekaligus menghaluskan cara dan tujuan.
Kekayaan perbendaharaan kata ini sampai sekarang pun terus berkembang. Dan di kalangan kaum milenial, aneka istilah pun muncul.
Salah satu istilah atau pilihan kata yang legendaris yakni halalbihalal. Biasanya kata ini dipakai di kala momentum Lebaran atau saat musim Idul Fitri.
Halalbihalal dipakai sebagai ajang pertemuan silaturahmi antar masyarakat, kelompok dan bahkan di lingkungan pemerintahan serta organisasi.
Tapi, sebenarnya penemuan kata halalbihalal mengandung makna sejarah kebangsaan. Kata ini ditemukan dan diusulkan oleh seorang ulama Nadhlatul Ulama (NU) di kala Republik Indonesia baru berdiri.
Itu sebabnya, awal mula munculnya istilah halalbihalal tak lepas dari konteks sejarah dan pergumulan politik nasional. Istilah ini pun awalnya sarat akan kepentingan politik.
Kekuatan Politik Kabinet Parlementer
Situasi politik dalam negeri di Indonesia memanas pada 1948. Para elite berseteru akibat perbedaan aliran politik pada era kabinet parlementer serta munculnya pemberontakan.
Di saat bersamaan, Belanda juga sedang bernafsu untuk menjajah kembali Indonesia. Hal ini membuat Presiden Soekarno khawatir akan adanya disintergrasi bangsa.
Kondisi ini membuat Bung Karno memutar otak agar bisa menciptakan rekonsiliasi dan mencegah perpecahan.
Seperti dimuat di Harian Kompas terbitan 16 Mei 2021, salah satu upaya yang dilakukan oleh Bung Karno adalah mengundang para elite politik untuk bertemu di Istana Kepresidenan yang saat itu bertempat di Gedung Agung, Yogyakarta.
Namun usaha ini gagal. Undangan Bung Karno tak direspon para tokoh-tokoh politik. Tak satu pun tokoh memenuhi undangan Bung Karno.
Bung Karno kemudian mengundang Rais Am Syuriah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Abdul Wahab Hasbullah untuk berembuk mengenai situasi politik di Indonesia.
Kepada Bung Karno, KH Wahab mengusulkan adanya acara silaturahmi nasional untuk mempertemukan para elite bangsa. Kebetulan, saat itu mendekati Idul Fitri.
Bung Karno tak langsung menerima usulan itu, karena menganggap diksi silaturahmi terlalu umum.
KH Wahab kemudian mengusulkan nama "halalbihalal" untuk pertemuan para elite bangsa itu. Menurut KH Wahab, keengganan para elite politik untuk bersatu karena mereka masih saling menyalahkan satu sama lain. Padahal, saling menyalahkan merupakan perbuatan dosa yang haram dilakukan.
Karenanya, untuk menghapus dosa yang tergolong haram, KH Wahab menyebutkan perlu dihalalkan dengan cara duduk bersama dan saling memaafkan atau menghalalkan.
Usulan penggunaan istilah "halalbihalal" itu pun langsung disetujui oleh Bung Karno.
Hasilnya, para elite bangsa berkumpul dan duduk satu meja dalam bingkai halalbihalal ketika Lebaran 1948.
Namun, meski halalbihalal terus berlangsung pada setiap perayaan Idul Fitri, situasi politik dalam negeri saat itu tetap memanas. Hingga Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dan dimulainya Demokrasi Terpimpin.
Saat tinggal di Istana Merdeka, Jakarta, Presiden Soekarno membuat tradisi halalbihalal setiap perayaan Idul Fitri. Tradisi ini pun terus berlanjut hingga saat ini.
Tidak hanya untuk elite politik, halalbihalal kini digelar oleh seluruh lapisan masyarakat di akar rumput. (*)