Ibu Kota Baru 'Nusantara' Dikritik karena Jawa Sentris, Begini Awal Mulanya
SabangMerauke News, Kalimantan - Penamaan ibu kota baru di Kalimantan sebagai Nusantara dikritik oleh sejarawan. Nama tersebut dianggap Jawa sentris dan melanggar peraturan.
Menurut sejarawan JJ Rizal, penamaan Nusantara justru bertentangan dengan tujuan awal pembentukan ibu kota baru untuk memutus ketimpangan Jawa dan luar Jawa. Istilah Nusantara juga berakar dari cara pandang orang Jawa di masa Majapahit yang dikotomis, kata dia.
"Sebab istilah Nusantara mencerminkan bias Jawa yang dominan. Nusantara adalah produk cara pandang Jawa masa Majapahit yang mendikotomi antara negara agung (kota Majapahit) dengan mancanegara (luar kota Majapahit)," kata Rizal kepada kumparanSAINS, Selasa (18/1/2022).
"Dalam konteks Jawa sebutan mancanegara untuk menjelaskan wilayah yang tidak beradab, kasar tidak teratur atau sesuatu yang sebaliknya dari negaragung yang beradab, harmonis," sambungnya, sembari menekankan bahwa pemerintah telah melanggar PP No.2 tahun 2021 karena tidak mengangkat nama tempat sesuai penamaan setempat.
Asal usul Nusantara
Nusantara berasal dari dua istilah Sanskrit yakni 'nusa' (pulau) dan 'antara' (di antara). Menurut sejarawan Belanda, Bernard Vlekke, kata tersebut merujuk kepada wilayah luar negeri dari sudut pandang orang Jawa atau Bali.
"Arti aslinya adalah “pulau-pulau lain” dilihat dari Jawa atau Bali, maka diambil makna yang lebih umum dari “luar dunia” atau “luar negeri”. Dalam arti ini digunakan dalam teks-teks abad kelima belas," jelasnya dalam buku Nusantara: Sejarah Indonesia yang pertama terbit pada 1943 lalu.
Menurut sosiolog Universiti Kebangsaan Malaysia, Hans-Dieter Evers, sulit untuk menelusuri asal usul kata Nusantara. Namun, istilah itu telah tercatat dalam prasasti lempengan tembaga bertanggal 1305 dan dalam manuskrip Jawa abad ke-14 belas dan ke-15, termasuk Kakawin Negarakertagama dan Kitab Pararaton.
Dalam artikelnya di Journal of the Malaysian Branch of the Royal Asiatic Society (2016), Evers menjelaskan bahwa popularitas istilah Nusantara muncul dari Kitab Pararaton, sebuah teks Jawa tentang kerajaan Jawa Singasari dan Majapahit serta leluhur mitos mereka Ken Arok. Teks ini melaporkan bahwa Gadjah Mada, mahapatih Kerajaan Majapahit, menyampaikan sumpah palapa pada tahun 1334 — di mana dia akan menahan diri dari menggunakan rempah-rempah di dalam makanannya sampai sejumlah kerajaan di Nusantara di pinggiran Kerajaan Majapahit berhasil ditundukkan.
Mengingat pentingnya sambal untuk semua masakan Jawa, sumpah ini memang harus ditanggapi dengan sangat serius!
- Hans-Dieter Evers, sosiolog di Universiti Kebangsaan Malaysia -
Makna Nusantara sendiri tak hanya sebatas wilayah Indonesia modern, menurut sejarawan asal Inggris, Philip Bowring. "Nusantara mencakup negara-negara pesisir di sebagian besar wilayah maritim," katanya dalam buku berjudul Empire of the Winds yang terbit pada 2019.
Bowring mencatat, makna Nusantara dalam teks Nagarakertagama merupakan hierarki negara yang pusatnya adalah Majapahit. Selain mencakup sebagian besar wilayah Indonesia, Nusantara dalam teks itu juga terdiri dari wilayah Tumasik, Pahang, Terengganu, Kelantan, Langkasuka, Klang dan Kedah — yang kini berlokasi di Singapura dan Malaysia.
Dengan demikian sebagian besar Nusantaria didefinisikan dalam hal keeratan hubungan yang bervariasi dengan otoritas pusat.
- Philip Bowring, sejarawan -
"Orang Jawa juga menarik perbedaan yang jelas antara 'Bhumi Jawa' dan 'Bhumi Melayu', yang terakhir termasuk negara-negara non-Jawa yang telah menjadi bagian dari sistem Sriwijaya dan di mana bahasa Melayu adalah bahasa perdagangan," jelas Bowring.
Pada abad-abad berikutnya, istilah Nusantara lebih banyak vakum dan tidak muncul dalam dokumen tertulis dalam waktu yang lama. Meski demikian, istilah ini diwariskan secara turun-temurun sebagai tradisi lisan, terutama lewat kisah sumpah palapa-nya Gadjah Mada.
Kata Nusantara baru muncul kembali pada abad ke-20, ketika para pejuang anti-kolonial mencari nama alternatif untuk istilah Hindia Belanda. Beberapa tokoh yang mempopulerkan istilah ini termasuk Ki Hajar Dewantara dan Ernest Douwes Dekker.
Kendati Nusantara kerap dipakai untuk merujuk wilayah Hindia Belanda, kata Indonesia lebih dipilih sebagai nama negara yang resmi. Istilah Indonesia muncul pertama kali pada 1850, di sebuah artikel di Journal of Indian Archipelago and Eastern Asia. Penggagasnya adalah etnolog Skotlandia, James Logan, bersama antropolog Inggris, George Earl.
Istilah Nusantara juga dipakai oleh tokoh kemerdekaan Malaya, Ibrahim Yacoob, sebagai gagasan untuk memerdekakan wilayahnya dari penjajahan Inggris.
Yacoob bahkan sempat bertemu dengan Soekarno dan Hatta di Perak pada 13 Agustus 1945 untuk mendirikan negara poskolonial bernama Indonesia Raya — yang terdiri dari bekas jajahan Hindia Belanda dan Negara Federasi Malaysia. Gagasan tersebut akhirnya batal.
"Visi Nusantara (sebagai) 'Indonesia Raya', membangun sejarah dan kejayaan Kerajaan Majapahit, kembali mengemuka dengan kedok perjuangan antikolonial selama Konfrontasi, perang sederhana antara Indonesia dan Malaysia (1963–6)," jelas Evers.
"Penentangan Sukarno terhadap integrasi Sabah dan Sarawak menjadi negara bagian baru Malaysia gagal, dan diakhiri dengan kesepakatan untuk mengakui dan menghormati kedaulatan kedua negara. Kesepakatan itu menandai berakhirnya ambisi Indonesia Raya sekaligus akhir Nusantara sebagai konsep geopolitik."
Kendati negara Indonesia Raya gagal dibentuk, istilah Nusantara masih dipakai untuk merujuk kesamaan kultural antara Indonesia, Singapura, Malaysia, dan Brunei. Salah satu contohnya adalah Organisasi Sasterawan Nusantara yang dibentuk pada 1973 oleh para sastrawan di keempat negara tersebut.
Dalam beberapa dekade terakhir, istilah Nusantara mulai dipakai di luar konteks geopolitik. Ia dicatut mulai dari nama maskapai penerbangan hingga nama jalan. "Alasan di balik kebangkitan (istilah Nusantara) ini tidak sepenuhnya jelas," kata Evers. (*)