Terungkap! KPK Sebut Sejumlah Perusahaan Perkebunan Beri Uang ke Eks Kakanwil BPN Riau Syahrir, Ini Daftarnya
SABANGMERAUKE NEWS, Riau - Jaksa penuntut umum dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkap informasi baru terkait kasus suap (gratifikasi) yang menjerat mantan Kepala Kantor Wilayah (Kanwil) BPN Riau Syahrir. Dalam pembacaan surat dakwaan di Pengadilan Tipikor PN Pekanbaru, Selasa (18/4/2023), jaksa KPK menyebut sejumlah perusahaan perkebunan kelapa sawit di Riau diduga memberikan uang kepada Syahrir. Fulus diberikan diduga berkaitan dengan proses pengurusan sertifikat tanah dan HGU perusahaan.
Syahrir pada persidangan kemarin menjadi pesakitan dalam kasus suap dari PT Adimulia Agrolestari sebesar Rp 1,5 miliar yang merupakan bagian total hadiah yang dijanjikan sebesar Rp 3,5 miliar. Pemberian uang terkait dengan perpanjangan hak guna usaha (HGU) PT Adimulia di Kampar dan Kuansing yang akan habis pada 2024 mendatang.
Selain itu, KPK juga mendakwa Syahrir atas dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU). Adapun perbuatan Syahrir terakumulasi sejak ia menjabat sebagai Kepala Kanwil BPN Maluku Utara dan Kakanwil BPN Riau pada periode 2017-2022 lalu.
Sidang perdana ini diketuai Salomo Ginting dan dua hakim anggota yakni Yuli Artha Pujayotama dan Yelmi. Sementara, Syahrir mengikutinya secara telekonference dari ruang tahanan.
Jaksa Penuntut Umum KPK, Rio Fandi dalam surat dakwaannya menyebut selama bertugas menjadi Kakanwil BPN Riau, Syahrir menerima uang untuk pengurusan hak atas tanah dari sejumlah perusahaan. Tak hanya dari PT Adimulia Agrolestari, namun juga dari korporasi kelapa sawit besar lainnya di Riau.
Di antaranya, dakwaan KPK menyebut nama-nama sejumlah perusahaan seperti PT Permata Hijau, PT Ekadura Indonesia, PT Safari Riau dan PTP Nusantara V.
KPK juga menyebut nama perusahaan lain yakni PT Surya Palma Sejahtera, PT Sekar Bumi Alam Lestari, PT Sumber Jaya Indahnusa Coy, PT Meridan Sejati Surya Plantation.
Dalam uraiannya, jaksa KPK menyebut Syahrir juga menerima uang dari pegawai di lingkungan Kanwil BPN Provinsi Riau. Pemberian uang dari anak buahnya itu terkait pengurusan izin HGU perusahaan, pengurusan tanah dan pihak lainnya yang memiliki hubungan kerja dengan Kanwil BPN Provinsi Riau.
Di antara pegawai BPN yang disebut menyerahkan uang kepada Syahrir yakni Risna Virgianto yang adalah Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Kuantan Singingi tahun 2019-2021. Uang disebut diterima Syahrir memang kecil yakni Rp 15 juta.
Selain itu, juga ada pemberian dari seorang bernama Satimin terkait pengurusan tanah terlantar/ permohonan HGU PT Peputra Supra Jaya pada tahun 2020 sebesar Rp20 juta.
Aliran uang lain yang disebut dalam dakwaan KPK diberikan oleh Jusman Bahudin terkait pendaftaran HGU PT Sekarbumi Alam Lestari sebesar Rp 80 juta. Lalu ada juga dari Ahmad Fahmy Halim terkait perpanjangan HGU PT Eka Dura Indonesia sebesar Rp 1 miliar.
Seorang notaris di Kampar bernama Siska Indriyani disebut memberikan uang sebesar Rp 30 juta.
Pemberian lain diperoleh dari Indra Gunawan terkait pengurusan HGU PT Safari Riau/ PT ADEI Plantation & Industry sebesar Rp 10 juta.
Nama lain yang disebut yakni Suhartono terkait pengurusan perpanjangan HGU First Resource Group yang meliputi afiliasi perusahaan antara lain PT Riau Agung Karya Abadi, PT Perdana Inti Sawit Perkasa, PT Surya Intisari Raya dan PT Meridan Sejati Surya Plantation sebesar Rp 15 juta.
SabangMerauke News belum dapat mengonfirmasi ke majemen perusahaan yang disebut dalam dakwaan KPK tersebut.
Total Suap Rp 20,97 Miliar
Adapun total uang dugaan gratifikasi yang diterima Syahrir mencapai Rp 20,97 miliar yang tidak pernah dilaporkan oleh terdakwa kepada KPK sampai dengan batas waktu 30 hari kerja sebagaimana ditentukan oleh undang-undang.
Total uang yang diterima Syahrir tersebut adalah akumulasi saat ia menjabat di Kakanwil BPN Maluku Utara dan Kakanwil BPN Riau. Rinciannya, sebesar Rp 5,78 miliar diterima saat menjabat Kakanwil BPN Provinsi Maluku Utara dan Rp 15,18 miliar saat menjadi Kakanwil BPN Provinsi Riau.
Jaksa KPK menyebut uang itu diterima dari perusahaan-perusahaan/ perwakilan perusahaan-perusahaan yang mengurus permohonan hak atas tanah dan dari para pihak ASN di lingkungan Kanwil BPN Provinsi Maluku Utara dan Kanwil BPN Provinsi Riau.
Saat bertugas di Kanwil BPN Maluku Utara sejak tahun 2017 hingga 2019, Syahrir disebut menerima uang dari PT Jababeka Morotai, PT Industrial Wedabay Industrial Park (IWIP), PT Teka Mining Resources dan PT PLN dalam pengurusan hak atas tanah.
Syahrir juga disebut menerima uang dari ASN di lingkungan Kanwil BPN Provinsi Maluku Utara dengan perincian penerimaan uang antara lain, dari Tentrem Prihatin (Kabid Hubungan Hukum) tahun 2018-Juni 2019 sebesar Rp16.800.000. Dari Endah Retnowati sebagai Kasi Sengketa Kanwil BPN Maluku Utara sebesar Rp15 juta dan dari Armenius Pao sebagai Kasi Pengukuran dan Pemetaan pada Kantor Pertanahan Halmahera Utara sebesar Rp10 juta.
Uang Disimpan di Bank
KPK dalam dakwaannya menyebut uang hasil gratifikasi itu ditempatkan di sejumlah rekening perbankan antara lain Bank Central Asia (BCA), Bank Negara Indonesia (BNI), Bank Mandiri, Bank Panin, Bank Maybank serta Bank Rakyat Indonesia (BRI) atas nama M Syahrir dan juga Eva Rusnati yang merupakan istri M Syahrir.
Melalui uang tersebut, sejumlah aset dibeli berupa properti tanah tersebar di sejumlah tempat serta juga untuk pembelian mobil.
"Terdakwa mengetahui atau patut menduga bahwa harta kekayaannya tersebut merupakan hasil dari tindak pidana korupsi berkaitan dengan penerimaan suap dan gratifikasi dari perusahaan/ perwakilan perusahaan yang mengurus permohonan hak atas tanah dan juga dari para pihak ASN di lingkungan Kanwil BPN Provinsi Maluku Utara dan Kanwil BPN Provinsi Riau, serta dari pihak terkait lainnya," kata jaksa KPK.
Syahrir didakwa dengan Pasal 12 huruf a dan huruf b jo Pasal 18 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU RI Nomor 31 Tahun 1999 jo. Pasal 65 ayat (1) KUHP dan Pasal 3 Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) jo Pasal 65 ayat (1) KUHP. (*)