6 Masalah Kelapa Sawit yang Bikin Jokowi Tunjuk Luhut Jadi Komandan Satgas, Mulai HGU Bermasalah Sampai Manipulasi Perusahaan Besar ke Petani
SABANGMERAUKE NEWS, Jakarta - Keputusan Presiden (Keppres) RI Nomor 9 Tahun 2023 tentang Satuan Tugas Peningkatan Tata Kelola Industri Kelapa Sawit dan Optimalisasi Penerimaan Negara, resmi diteken oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi). Jokowi menunjuk Menko Maritim dan Investasi, Luhut Binsar Panjaitan sebagai Ketua Pengarah pada posisi tertinggi Satgas.
Jokowi dalam Keppres yang ditekennya menyebut industri berbasis komoditas kelapa sawit Indonesia memang mengalami peningkatan produktivitas, tetapi masih mengalami masalah.
"Pengembangan industri berbasis komoditas kelapa sawit di Indonesia terus mengalami peningkatan produktivitas, namun berdasarkan hasil audit masih terdapat permasalahan dalam tata kelola industri kelapa sawit yang berpotensi pada hilangnya penerimaan negara dari pajak dan/atau bukan pajak," kata Jokowi seperti dikutip dari pertimbangan Keppres yang diteken pada (14/4/23) kemarin.
"Pembentukan Satuan Tugas bertujuan melakukan penanganan dan peningkatan tata kelola industri kelapa sawit serta penyelesaian dan pemulihan penerimaan negara dari pajak dan bukan pajak pada industri kelapa sawit," dikutip dari Pasal 3 Keppres itu.
Lantas apa permasalahan industri kelapa sawit hingga Jokowi harus menerbitkan Keppres itu?
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan setidaknya ada enam masalah terkait industri kelapa sawit.
Pertama, pendataan lahan Hak Guna Usaha (HGU) sawit yang perlu diperbaiki sehingga menurunkan risiko perusahaan sawit menggunakan lahan tidak sesuai peruntukannya.
Misalnya, perusahaan sawit yang diberikan HGU 10 ribu hektar tetapi menanam di 15 ribu hektar, artinya tidak sesuai data dan bisa menimbulkan masalah penggunaan lahan ilegal.
"Contohnya kasus PT Duta Palma yang menggunakan lahan ilegal dalam operasional sawit. Itu kerugian negara besar di atas Rp78 triliun," kata Bhima, Selasa (17/4/2023).
Kedua, beberapa oknum perusahaan sawit mencoba melakukan underinvoicing atau tidak melaporkan ekspor sesuai fakta.
Hal ini terjadi ketika data bea cukai dengan data di negara tujuan ekspor beda sekali, padahal memiliki HS Code yang sama. Ini berarti ada potensi pendapatan negara yang hilang.
Ketiga, perusahaan sawit melakukan layering dengan menggunakan perusahaan cangkang di luar negeri untuk mengelabui transaksi keuangan dan menghindari pajak. Hal ini, kata Bhima, harus segera dilacak dan diatur ketat.
"Parah kalau ekspor sawitnya sedang booming tapi Devisa Hasil Ekspor yang masuk tidak seberapa. Belum soal pajak pajaknya," kata Bhima.
Keempat, terkait pengaturan stok sawit untuk bahan baku minyak goreng di mana pengusaha lebih senang ekspor karena harganya lebih tinggi dibanding memasok di dalam negeri.
Padahal, minyak goreng dalam negeri harus diprioritaskan karena merupakan kebutuhan pokok masyarakat dan menjadi pemicu inflasi tinggi di 2022 lalu.
Kelima, referensi harga acuan sawit sering menggunakan bursa di Malaysia padahal produsen sawit terbesar andalan Indonesia. Alhasil penentuan harga juga tidak dikendalikan pemerintah Indonesia. Bhima menyebut Keppres 9 tahun 2023 harusnya juga mengatur harga acuan sawit.
Keenam, ketimpangan harga tandan buah segar (TBS) sawit yang sering terjadi antara petani swadaya dengan pabrik kelapa sawit.
Bhima menyebut keberpihakan pemerintah kepada petani sawit skala kecil penting sekali sehingga tidak dimanipulasi oleh perusahaan besar.
Banyak PR Benahi Industri Sawit
Di lain sisi, Senior Indonesia Strategic and Economic Action Institution Ronny P Sasmita mengatakan Keppres 9 tahun 2023 menjadi tanda bahwa masih banyak pekerjaan rumah yang harus dikerjakan pemerintah terkait dengan sawit. Pertama, terkait optimasi produktivitas sawit nasional, terutama produktivitas sawit milik rakyat.
Menurut Ronny, satgas baru yang dibentuk melalui Keppres itu diharapkan bisa menghasilkan kebijakan yang tepat untuk meningkatkan produktivitas sawit per hektar di mana sampai hari ini masih berada di bawah Malaysia.
Kedua, pembenahan tata kelola agar di saat-saat tertentu tidak kontraproduktif terhadap ekonomi nasional, seperti kepastian soal DMO sawit.
"Karena pengalaman tempo hari, harga minyak goreng menjadi tak terkendali karena kebijakan DMO tak berjalan dengan baik. Harga bahan mentah minyak goreng ikut bergejolak mengikuti harga komoditas dunia, sehingga membuat harga jual minyak goreng menjadi sangat tinggi," kata Ronny.
Ketiga, terkait pendapatan negara. Ronny mengatakan pemerintah memang tak menyebutkan secara spesifik pada bagian mana potensi pendapatan terganggu. Namun, ia menduga masalah utama terletak pada perkembangan perkebunan kelapa sawit yang tidak sesuai lagi dengan data pemerintah, terutama terkait HGU.
Dengan kata lain, perkembangan perkebunan kelapa sawit banyak yang belum terdata oleh pemerintah, baik karena maladministrasi atau karena lemahnya kapasitas pendataan pemerintah. Kondisi ini yang kemudian membuat pemerintah kehilangan potensi pendapatan yang cukup besar.
"Jika memang demikian, pemerintah kehilangan pendapatan dari dana konsesi HGU dan pendapatan pajak, pun non pajak dari produksi sawit di luar data HGU yang dikeluarkan pemerintah," kata Ronny. (*)