Pembuangan Limbah Nuklir Jepang dan Ancaman Serius Bagi Ekologi Dunia Khususnya Indonesia
SABANGMERAUKE NEWS - Baru-baru ini pemerintah Jepang kembali mengumumkan akan membuang limbah nuklir sebanyak 1,25 juta ton ke Samudera Pasifik pada musim semi 2023 ini.
Kendati operator pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) Jepang, TEPCO (Tokyo Electric Power Company) mengklaim bahwa air limbah telah diolah dan diencerkan, tetapi rencana tersebut kembali jadi sorotan dunia internasional, terutama negara-negara Pasifik, termasuk Indonesia. Pembuangan limbah nuklir dinilai rentan membawa dampak buruk secara ekologis akibat air laut yang terkontaminasi akan terbawa arus menyebar kemana-mana, termasuk perairan Indonesia.
Limbah nuklir ini diketahui berasal dari pembangkit listrik tenaga nuklir Fukushima yang bocor akibat gempa bumi bermagnitudo 9,0 dan disusul tsunami yang melanda wilayah timur laut Jepang pada 11 Maret 2011 lalu.
Kejadian masuk dalam kategori kecelakaan nuklir level 7, tingkat tertinggi pada skala kejadian nuklir dan radiologi internasional.
Menurut Profesor Kenichi Oshima dari Universitas Ryukoku, setelah lebih dari 10 tahun pasca insiden tersebut, industri perikanan di Fukushima masih mengalami trauma berkepanjangan dan para nelayan setempat masih berjuang untuk pulih. Hasil tangkapan nelayan hanya tersisa 20 persen dibandingkan sebelum tragedi gempa dan tsunami 2011.
Meskipun telah dilakukan pengujian zat radioaktif dengan standar ketat untuk membuktikan keamanannya, tetapi reputasi produk perikanan lokal masih sulit untuk bangkit.
Berkaca dari dampak tersebut, maka limbah nuklir yang akan dibuang ke Samudera Pasifik dipastikan tetap mengandung zak radioaktif dalam jumlah besar dan dapat menyebabkan dampak somatik dan genetik bagi hewan dan manusia.
Menurut Prof Hefni Effendi, Kepala Pusat Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup IPB, dampak somatik dapat berupa kerusakan terhadap sistem saraf, menurunnya fungsi organ, karsinogenik, anemia, kerusakan kulit dan beragam resiko kanker lainnya.
Sedangkan dampak genetik dapat berupa kerusakan DNA yang berakibat pada keturunan manusia yang lahir dengan kelainan fisik atau cacat.
Pelepasan air limbah nuklir juga akan menghancurkan sumber daya maritim, mengancam sumber daya manusia khusus para nelayan di pesisir laut. Bahkan dampak ini akan berlangsung ratusan tahun. Inilah mengapa air limbah nuklir tidak boleh dilepaskan ke laut.
Bukan hanya itu, Korea Selatan, sebagai negara tetangga telah membuat kebijakan pembatasan impor produk makanan laut dan produk pertanian dari Jepang sejak peristiwa 2011, karena khawatir kemungkinan terkontaminasi zat radioaktif. Pada Maret tahun ini, Korea Selatan secara terbuka meminta Jepang untuk memberikan penjelasan menyeluruh dan detil tentang keamanan rencana pembuangan limbah nuklir tersebut.
Begitu pula negara-negara tetangga lain, seperti China dan Rusia telah menyatakan menentang keras rencana ini dengan alasan kemungkinan dampak lingkungan yang serius.
Sementara di Fukushima sendiri, pada tanggal 11 Maret 2023 lalu, bertepatan peringatan 12 tahun peristiwa bocornya limbah PLTN akibat gempa dan tsunami, warga melakukan demonstrasi di depan kantor TEPCO menentang rencana pembuangan air limbah yang telah terkontaminasi zat radioaktif tersebut.
Dunia Menentang Nuklir
Menyadari bahaya penggunaan nuklir, Majelis Umum Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) telah menetapkan Hari Internasional Menentang Uji Coba Nuklir (International Day Against Nuclear Tests) yang diperingati setiap tanggal 29 Agustus.
Hari ini dibuat untuk mengingatkan dunia mengenai efek samping dan bahaya uji coba energi nuklir terhadap kehidupan manusia. Setiap tahun, upaya besar-besaran dilakukan untuk mengampanyekan pelarangan total uji coba nuklir di seluruh dunia, mulai dari konferensi, simposium, kompetisi, publikasi, siaran media, dan tindakan lainnya.
Tak hanya pemerintah dari banyak negara, berbagai organisasi masyarakat sipil pun ikut dalam kampanye global ini.
Pada tahun 1996, dunia Internasional juga membuat Perjanjian Pelarangan Menyeluruh Uji Coba Nuklir (Comprehensive Nuclear-Test-Ban Treaty/ CTBT) dengan maksud melarang uji coba senjata nuklir oleh siapapun, di manapun baik di permukaan bumi, di atmosfer, di bawah air maupun di bawah tanah.
CTBT sudah ditandatangani oleh 184 negara dan sebanyak 168 negara menindaklanjutinya dengan meratifikasi perjanjian tersebut termasuk didalamnya negara pemilik senjata nuklir seperti Prancis, Rusia dan Inggris.
Indonesia sendiri menandatangani CTBT pada tanggal 24 September 1996 dan baru pada 6 Februari 2012 meratifikasi CTBT menjadi Undang-undang Nomor 1 Tahun 2012 tentang Pengesahan Perjanjian Pelarangan Menyeluruh Uji Coba Nuklir.
Energi Nuklir Beresiko Tinggi
Kendati Indonesia telah meratifikasi CTBT menjadi undang-undang, namun keinginan untuk mengembangkan energi nuklir telah dicanangkan sejak tahun 1985.
Pemerintah Indonesia menganggap bahwa energi nuklir akan menjadi salah satu sumber energi yang dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan listrik yang terus meningkat. Untuk langkah implementasinya, Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) ditugaskan melakukan studi calon lokasi yang akan digunakan untuk membangun PLTN.
Hasilnya telah diperoleh lokasi terbaik untuk PLTN, yaitu di Ujung Lemah Abang, Ujung Watu dan Ujung Grenggengan. Ketiga lokasi tersebut berada di wilayah Kabupaten Jepara.
Dukungan regulasi juga telah dibuat berupa Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 5 Tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN) yang kemudian diperkuat dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Nasional Jangka Panjang Tahun 2005-2025, yang mengamanatkan bahwa energi nuklir akan dimanfaatkan sebagai pembangkit listrik dengan persyaratan keselamatan yang ketat.
Perpres kemudian diganti dengan Pemerintah (PP) Nomor 79 Tahun 2014 tentang KEN yang mengkoreksi ambisi pembangunan energi nuklir sebagai pilihan terakhir.
Dalam perkembangan terakhir, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) melalui Direktorat Kebijakan Pembangunan Lingkungan Hidup, Kemaritiman, Sumber Daya Alam, dan Ketenaganukliran, mengadakan Focus Group Discussion (FGD) tentang kebijakan energi nuklir pada 10 Maret 2022 di Bogor. Diskusi ini bertujuan untuk mendapatkan masukan dalam penyusunan naskah kebijakan pemanfaatan Energi Baru dan Terbarukan (EBT), khususnya energi nuklir.
Namun, jika kita mau menarik pelajaran dari apa yang terjadi di Jepang, maka Indonesia harus berpikir ulang untuk mengembangkan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) di Indonesia, karena Indonesia berada dalam lempeng titik gempa dan beresiko tinggi mengalami kejadian serupa seperti Jepang.
Indonesia Harus Bersikap
Informasi Jepang akan membuang limbah nuklir ke Samudera Pasifik sudah beredar sejak 2 tahun lalu. Kalangan masyarakat Sipil di Indonesia telah mengingatkan Pemerintah Jepang dengan melakukan demonstrasi di depan Kedutaan Besar Jepang di Jalan MH Thamrin Jakarta.
Preseden buruk pembuangan limbah berbahaya sudah pernah terjadi di Jepang dalam kasus Minimata, Kumamoto, yang mengakibatkan anak-anak terlahir cacat dan kematian warga akibat terpapar limbah logam berat merkuri di perairan Jepang tahun 1956. Ketika itu, tercatat sebanyak 10 ribu korban sebagai akibat kasus pencemaran laut di Minimata.
Oleh karena itu, rencana pembuangan limbah pendingin reaktor nuklir Fukushima ke Luat Pasifik harus dihentikan dan Pemerintah Indonesia harus mengeluarkan pernyataan sikap yang tegas sesegara mungkin.
Organisasi lingkungan hidup dan gerakan anti nuklir di Indonesia dan dunia hendaknya kembali menentang rencana Pemerintah Jepang ini. (*)
Penulis: Ahmad Zazali SH, MH (Pemerhati Lingkungan, Praktisi Sosio-Legal dan Resolusi Konflik, Ketua Pusat Hukum dan Resolusi Konflik-PURAKA)