Pengampunan Kejahatan Hutan di Tahun Politik Disorot Keras, Walhi: Ruang Transaksional Sengaja Dibuat, Elit Dapat Ongkos Politik!
SABANGMERAUKE NEWS, Riau - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menyorot secara keras kebijakan pengampunan kejahatan hutan yang ditempuh pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Dalih program pengampunan keterlanjuran penggunaan kawasan hutan tanpa izin di tahun politik yang memanas dituding sengaja diciptakan sebagai ruang transaksional para elit politik kekuasaan.
“Tidak berlebihan jika kita sebut Pasal 110A dan 110B (Undang-undang Cipta Kerja) merupakan ruang transaksional yang sengaja dibuat untuk mempertemukan kepentingan korporasi dan para elit di tahun politik. Korporasi dapat pengampunan, para elit dapat ongkos politik,” kata Uli Arta Siagian, Manager Kampanye Hutan dan Kebun Walhi Nasional dalam siaran pers, Jumat (14/4/2023).
Pasal 110A dan pasal 110B memuat tentang kebijakan 'pengampunan' atas keterlanjuran penguasaan kawasan hutan tanpa izin. Lewat pasal tersebut, pelaku kejahatan kehutanan bisa tidak dijerat pidana kehutanan dengan syarat ikut dalam program pengampunan dengan membayar denda administrasi.
Adapun instrumen yang dipakai yakni Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administrasi dan Tata Cara Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berasal dari Denda Administrasi di Bidang Kehutanan. PP ini merupakan turunan langsung dari UU Cipta Kerja.
Menurut Uli Arta, pengampunan kejahatan kehutanan melalui Undang-undang Cipta Kerja melaju cepat di tahun politik. Yang terakhir, pada Maret 2023 lalu, Menteri LHK Siti Nurbaya kembali menerbitkan Surat Keputusan (SK) ke XI yang berisi data serta informasi kegiatan usaha yang telah terbangun dalam kawasan hutan tanpa perizinan kehutanan.
Dalam SK itu terdapat 890 subjek hukum yang didominasi oleh korporasi sawit sebanyak 531 unit, korporasi pertambangan 175 unit dan selebihnya adalah individu, koperasi, dan kelompok tani.
Sebelumnya, dalam SK tahap I hingga tahap II yang diterbitkan Menteri Siti sepanjang 2021-2022 lalu, terdata sebanyak 1.192 subjek hukum. Yang mana sebanyak 616 di antaranya merupakan korporasi sawit, 130 unit korporasi pertambangan. Selebihnya 241 subjek hukum individu dan kelompok dengan aktivitas perkebunan sawit, dan 205 unit kegiatan lainnya.
Sebagai catatan, Menteri LHK Siti Nurbaya telah meneken sebanyak 11 SK yang memuat jumlah dan data subjek hukum penguasa ilegal kawasan hutan di seluruh wilayah Indonesia. Jumlah terbesar berada di Provinsi Riau dan Kalimantan Tengah.
Jika ditotal sejak SK Menteri LHK tahap I hingga tahap XI diteken Siti Nurbaya, maka jumlah subjek hukum perusahaan, individu, kelompok tani, koperasi dan infrastruktur pemerintah yang akan mendapat pengampunan mencapai 2.671 subjek hukum.
Subjek hukum adalah istilah (nomenklatur) yang dipakai Kementerian LHK merujuk pada kelompok penguasa hutan ilegal (tanpa izin), meliputi korporasi, koperasi, kelompok tani, individu, kelompok masyarakat dan lembaga instansi pemerintah.
Uli Arta menjelaskan, dipastikan KLHK akan menyelesaikan program pengampunan ini sebelum 2 November 2023, sebagaimana mandat 110 A dan 110 B.
"Tentunya batas tenggang waktu ini bukan tanpa konteks yang jelas," jelas Uli.
Berdasarkan tahapan pemilu, pada 19 Oktober 2023 hingga 25 November 2023 adalah masa waktu pendaftaran presiden dan calon wakil presiden, gubernur dan calon wakil gubernur, serta bupati dan calon wakil bupati. Maka setidaknya awal November konsolidasi kepentingan antara, partai-partai politik dan pemberi biaya sudah harus selesai. Hal ini diperkuat dengan proses yang begitu tertutup oleh KLHK.
Uli juga menambahkan subjek hukum selain korporasi juga patut diperiksa lebih jauh. Pasalnya, dalam SK diidentifikasi individu-individu yang memiliki kebun sawit di hutan dengan luasan di atas 25 hektar.
Uli Arya mencuplik temuan dari terbitnya SK Menteri LHK tahap XI di mana teridentifikasi sebanyak 31 individu yang memiliki kebun sawit di atas 25 hektar. Selain individu, kelompok tani dengan komoditas sawit juga rentan dijadikan modus oleh korporasi untuk bisa mendapatkan pengampunan.
"Fakta-fakta yang sering ditemui di lapangan, korporasi membentuk kelompok plasma yang anggotanya merupakan karyawan-karyawan perusahaannya, ataupun beberapa kelompok masyarakat, untuk bisa mendapatkan akses legal di kawasan hutan”, kata Uli.
Berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian Nomor 833/KPTS/SR.020/M/12/2019 tentang Penetapan Luas Tutupan Kelapa Sawit Indonesia, Provinsi Riau merupakan daerah yang memiliki luas perkebunan kelapa sawit paling luas di Indonesia. Data tersebut menyebut luas kebun kelapa sawit di Indonesia 16,36 juta hektar. Luas perkebunan komoditi tersebut di Riau mencapai 3,39 juta hektar atau setara 20,08% luas kebun kelapa sawit di Indonesia.
Sementara, Data Pusat Pengendalian Pembangunan Ekoregion Sumatera (P3ES) pada 2020 menyebut luas kebun kelapa sawit di Riau jauh lebih luas. P3ES menyebut luas kebun kelapa sawit di Riau 4,17 juta hektar.
Isu Pejabat KLHK Bentuk Perusahaan Konsultan Hutan
Di tengah membludaknya subjek hukum program pengampunan hutan ini, muncul rumor dan tuduhan tak sedap. Oknum pejabat KLHK disebut mendirikan perusahaan jasa konsultan kehutanan diduga membantu subjek hukum mengurus program keterlanjuran penggunaan kawasan hutan tanpa izin.
Hal itu diungkap oleh Ketua Umum LSM Lingkungan Hidup dan Anti Korupsi Soni. Dilansir sidik24jam.com, Soni mengungkap hasil investigasi organisasinya yang menemukan ada oknum pejabat di lingkungan KLHK mendirikan perusahaan konsultan untuk meraup keuntungan dari bisnis keterlanjuran dalam kawasan hutan saat ini.
“Ya saya ada datanya beberapa oknum orang kementerian kehutanan yang mendirikan perusahaan jasa konsultan terkait keterlanjuran dalam kawasan hutan tersebut,” kata Soni pada berita yang dimuat 23 Maret lalu. Soni belum bisa dikonfirmasi ulang oleh SabangMeraukeNews.
Soni menyatakan, perusahaan jasa konsultan kehutanan dibuat dalam akta notaris dan perizinan lainnya.
"Datanya dalam waktu dekat ini akan kita kirimkan ke KPK di Jakarta," terang Soni.
Ia juga menduga selain oknum KLHK, ada oknum BPN yang diduga terlibat dalam dugaan skandal utak-atik kawasan hutan yang memudahkan orang dapat menguasai hutan seolah-olah sesuai prosedur dan ketentuan.
Desak KPK Mengawasi
Terpisah, Managing Partner AZ Law Office & Conflict Resolution Center Ahmad Zazali SH, MH menyatakan, munculnya isu dugaan adanya oknum KLHK yang membuka praktik bisnis konsultan kehutanan sungguh miris. Ia menyesalkan sikap KLHK yang tertutup sejak inventarisasi dan pengadministrasian subjek hukum penguasa hutan tanpa izin dilakukan.
"Mengingat kabar angin mulai berhembus kalau ada oknum-oknum di KLHK yang ikut bermain menawarkan jasa konsultan kepada subjek hukum yang membayar denda sebagai syarat pengampunan, maka hal ini sangat disayangkan," tegas Ahmad Zazali yang sejak tahun lalu sudah bersuara keras agar KPK memonitor tahapan di KLHK.
"Kan jadi lucu tapi miris. Kalau di Kementerian Keuangan ada jasa konsultan pajak, maka isu saat ini di Kementerian LHK ada konsultan jasa pengurusan keterlanjuran usaha tanpa izin dalam kawasan hutan," jelas Zazali yang juga merupakan Ketua Pusat Hukum dan Resolusi Konflik (PURAKA).
Menurutnya, publik tidak mengharapkan isu miring di Kementerian Keuangan terjadi juga di Kementerian LHK. Apalagi cuan yang diharapkan negara dari pembayaran denda kehutanan sangat besar mencapai triliunan rupiah.
"Mengingat potensi pendapatan negara dari pembayaran denda pemanfaatan hutan tanpa izin ini bisa mencapai puluhan hingga ratusan triliunan rupiah jika dapat dimaksimalkan. Jadi, mestinya para pihak terlibat dan dilibatkan," tegas Zazali.
Ia meminta agar KLHK melibatkan partisipasi pemangku kepentingan daerah dan membuka secara transparan nama-nama serta proses pengampunan melalui pembayaran denda yang ditetapkan pemerintah. Hal ini agar ada kontrol dari publik jika ada oknum KLHK maupun afiliasi kekuatan politik ingin bermain curang meloloskan subjek hukum dari denda.
"KPK juga diharapkan turun tangan melakukan pengawasan untuk menekan adanya potensi 'kongkalikong' dalam pengurusan denda dan pengampunan sektor kehutanan ini," tegas Zazali.
Berdasarkan data yang dihimpun PURAKA, sejak Agustus 2021 hingga Maret 2023, Menteri LHK Siti Nurbaya telah menerbitkan 11 surat keputusan yang berisi subjek hukum yang melakukan pembukaan hutan dan kegiatan usaha tanpa izin dalam kawasan hutan.
Tujuan penerbitan SK tersebut untuk memberikan 'pengampunan' hingga batas waktu 23 November 2023 mendatang. Hal tersebut merupakan mandat pasal 110A dan 110B Undang-undang Cipta Kerja.
Berdasarkan beleid itu, bisa dilakukan upaya pembebasan jerat pidana kehutanan kepada pelaku usaha tanpa izin yang ada sebelum terbitnya UU Cipta Kerja. Syaratnya, para penguasa hutan tanpa izin bersedia membayar denda dengan rumus perhitungan yang ditentukan oleh KLHK berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2021.
Subjek Hukum Bertambah
Baru-baru ini, Menteri LHK Siti Nurbaya kembali menerbitkan Surat Keputusan tahap X pada 30 Desember 2022 berisi 150 subjek hukum baru penguasa hutan tanpa izin. Kemudian pada 7 Maret 2023 lalu, Menteri Siti kembali meneken Surat Keputusan Tahap XI berisi 890 subjek hukum.
Sebanyak 1.040 subjek hukum baru tersebut teridentifikasi melakukan kegiatan usaha pertambangan nikel dan batubara, penguasaan untuk pemanfaatan infrastruktur fisik, pemukiman dan perkebunan kelapa sawit.
Jika ditotal sejak SK Menteri LHK tahap I hingga tahap XI diteken Siti Nurbaya, maka jumlah subjek hukum perusahaan, individu, kelompok tani, koperasi dan infrastruktur pemerintah yang akan mendapat pengampunan mencapai 2.671 subjek hukum.
Menteri LHK Siti Nurbaya, Dirjen Gakkum KLHK Rasio Ridho Sani dan Sekjen KLHK Bambang Hendroyono telah dikonfirmasi soal isu adanya pejabat KLHK yang mendirikan bisnis konsultan kehutanan tersebut. Namun, ketiganya tidak membalas pesan konfirmasi yang dikirimkan sejak kemarin. (R-03)