Komisaris-Direksi Korporasi Sawit Indonesia Dihuni Banyak Eks Aktor Kekuasaan, Rentan Koruptif Perdagangan Pengaruh
SABANGMERAUKE NEWS, Jakarta - Perkebunan kelapa sawit menjadi salah satu sarang korupsi di sektor sumber daya alam. Fakta ini terkuak dari kasus perkebunan kelapa sawit PT Duta Palma Group di Indragiri Hulu, Riau yang merugikan negara mencapai Rp 40 triliun dalam putusan yang ditetapkan majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat bulan lalu.
Transparency International (TI) Indonesia mengungkap persepsi antikorupsi di kalangan perusahaan sawit di Indonesia sangat rendah. Lembaga tersebut menilai 50 perusahaan sawit dari berbagai aspek, termasuk program antikorupsi, keberadaan politically exposed persons (PEPs), dan pelaporan pemilik manfaat akhir perusahaan. PEPs adalah keterlibatan aktor politik dan orang-orang berpengaruh terkait kekuasaan negara.
“Temuan kami, nilai rata-ratanya 3.5 dari skor 10. Ini buruk sekali. Tapi sebagai warning, perusahaan dengan skor tertinggi tidak menjamin bahwa perusahaan itu baik,” kata Bellicia Angelia Tanvil, penulis laporan dan peneliti TI Indonesia, dalam peluncuran laporan akhir pekan lalu dirilis betahita.
“Sebagai contoh, perusahaan Sinar Mas dan Bumitama Gunajaya Agro mendapatkan skor paling tinggi. Tetapi pada nyatanya memiliki PEPs paling banyak di jajaran komisaris dan direksi,” tambah Bellicia.
Skor tersebut juga mengindikasikan bahwa rata-rata perolehan skor dari 50 perusahaan sawit yang dinilai berada di bawah nilai median tidak cukup baik dalam mengungkap transparansi kegiatan politik perusahaan.
Bellicia mengatakan, masih banyak perusahaan yang tidak melengkapi kebijakan anti-korupsi. Dari 50 perusahaan sawit di Indonesia yang dinilai oleh TI Indonesia, hanya empat perusahaan yang memiliki program antikorupsi.
Sementara itu 26 dari 50 perusahaan memiliki komitmen anti-korupsi yang berlaku bagi seluruh level pegawai perusahaan.
“Sisanya, parsial ataupun menggunakan bahasa abu-abu,” kata Bellicia.
Soal transparansi keterlibatan dengan politik, hanya satu dari 50 perusahaan yang mencantumkan rincian donasi politik yang diberikan perusahaan. Sedangkan sisanya tidak mempublikasikan rincian seluruh donasi politik atau tanpa pernyataan bahwa perusahaan tidak memberikan donasi politik.
Bellicia mengatakan permasalahan tata kelola sawit kompleks karena banyaknya aktor dan kepentingan.
“Seharusnya semakin banyak pihak terlibat dalam tata kelola, idealnya bisa membenahi itu semua. Tetapi ini justru menjauhkan dari kata adil dan berkelanjutan,” tuturnya.
Hal ini ditunjukkan dengan adanya temuan banyak politically exposed persons (PEPs) dalam jajaran direksi dan komisaris perusahaan sawit di Indonesia.
Dalam penelitian tersebut, orang-orang ini didefinisikan sebagai yang pernah terpapar atau pernah memegang wewenang atau memiliki pengaruh besar dan atau masih memegang jabatan khususnya di perusahaan sawit.
Menurut Bellicia, ada enam kategori PEPs yang diteliti antara lain birokrat, militer, jaksa, hakim, polisi, orang dekat PEPs, oligarki, dan orang yang memiliki jabatan strategis.
“Ketika kami profiling komisaris dan direksi 50 perusahaan tersebut, paling banyak yang memiliki latar belakang birokrat. Biasanya eks staf khusus menteri, pegawai negeri sipil, atau mantan menteri. Misalnya Bungaran Saragih, mantan menteri pada zaman Presiden Megawati, sekarang jadi komisaris di perusahaan sawit,” kata Bellicia.
Penelitian itu menemukan 33 dari 50 perusahaan sawit yang dinilai memiliki direksi dan komisaris yang tergolong sebagai PEPs. Totalnya sebanyak 80 orang, dengan rincian 19 orang birokrat, 7 oligarki, 15 orang dekat PEPs, 13 aparat penegak hukum, 7 militer, dan 19 orang dengan jabatan strategis.
“Jumlah ini sangat banyak. Memang, ini tidak selalu berkonotasi negatif. Tapi sangat diperlukan pengawasan ekstra, mengingat mereka erat hubungannya dengan konflik kepentingan dan perdagangan pengaruh,” jelas Bellicia.
“Artinya, tata kelola sawit dari sisi swasta masih perlu banyak perbaikan dan pekerjaan rumah untuk segera dibenahi,” tukas Bellicia. (*)