Sosok Idrus Tintin, Seniman Riau yang Diabadikan Menjadi Nama Gedung di Kota Pekanbaru
SABANGMERAUKE NEWS - Masyarakat Riau pastinya tidak asing lagi ya dengan Anjungan Seni Idrus Tintin.
Anjung Seni Idrus Tintin adalah sebuah bangunan pertunjukan seni dan budaya di Kota Pekanbaru, Provinsi Riau. Bangunan ini hanya memiliki satu lantai, tetapi berdiri cukup tinggi dengan warna kuning yang mendominasi serta motif-motif yang sangat kental dengan corak Melayu Riau.
Anjung Seni Idrus Tintin berada di dalam Kompleks Bandar Seni Raja Ali Haji (Kompleks Bandar Serai), yang juga dikenal dengan nama Arena Purna MTQ.
Anjung Seni Idrus Tintin pernah digunakan sebagai tempat penyelenggaraan untuk menggelar acara Festival Film Indonesia (FFI) pada 2007.
Gedung Anjung Seni Idrus Tintin telah digunakan oleh seniman-seniman sebagai tempat mempertunjukkan seni musik, teater, dan seni tari. Gedung Anjung Seni Idrus Tintin memiliki bangunan berstandar internasional yang mampu menampung jumlah penonton pertunjukan seni dengan kapasitas 600 kursi.
Tapi taukah kamu, bahwa nama Idrus Tintin itu diambil dari salah satu tokoh seniman yang berasal dari Provinsi Riau.
Idrus Tintin merupakan Peraih Bintang Budaya Parama Dharma 2011 ini dikenal sebagai pembaharu seni teater Melayu khususnya di Riau. Dalam berkarya, ia sanggup menjadikan hal-hal yang tragedik menjadi komedik.
Sejumlah naskah drama, sajak dan puisi yang terangkum dalam berbagai judul buku menjadi bukti kepiawaiannya dalam merangkai kata.
Idrus Tintin melalui masa kecilnya di zaman pergolakan di saat para pemuda masih memperjuangkan kemerdekaan. Namun dalam situasi yang serba sulit itu, Idrus seakan menemukan dunianya sendiri.
Pria kelahiran Rengat, Kepulauan Riau, 10 November 1932 ini tenggelam dalam kegiatannya di bidang seni, mulai dari teater hingga sastra.
Idrus dibesarkan dalam lingkungan keluarga berdarah asli Melayu Riau. Ayahnya, Tintin, berasal dari Lubuk Ambacang, Indragiri, sekarang termasuk wilayah Kabupaten Kuantan Singingi, Riau. Sementara ibunya, Tiamah, berasal dari Penyimahan dan menetap di Enok Dalam, Melayu Timur, Indragiri, sekarang termasuk wilayah Indragiri Hilir, Riau.
Ayah Idrus yang berprofesi sebagai nakhoda awalnya bekerja di Jawatan Pelayaran Indonesia, baru kemudian dipindahtugaskan ke Laut Cina Selatan, Tarempa, Kepulauan Riau menakhodai Kapal Patroli Pemerintah.
Dengan berbagai pertimbangan, Tintin memboyong keluarganya untuk menetap di Tarempa. Pada 14 Desember 1941, pasukan Jepang membombardir wilayah Tarempa. Dalam peristiwa tersebut sekitar 300 orang masyarakat sipil menjadi korban, termasuk ayahanda Idrus yang kemudian meninggal dunia pada tahun 1942.
Setelah kepergian ayahnya, Idrus bersama ibu dan ketiga saudaranya pindah ke Rengat. Di sana ia meneruskan pendidikannya yang sempat terbengkalai akibat perang. Setamatnya dari Sekolah Rakyat, anak ketiga dari empat bersaudara ini melanjutkan pendidikannya di Chugakko, namun tidak selesai.
Sekitar tahun 1941, ia dititipkan oleh ibunya di asrama penampungan yatim piatu Dai Toa Kodomo Ryo milik Pemerintah Jepang. Semenjak tinggal di asrama inilah, Idrus mulai mengenal dunia drama.
Idrus kemudian memulai debutnya sebagai pemain teater setelah direkrut grup drama pimpinan Raja Khatijah. Bersama seorang rekannya yang bernama Hasan Basri, Idrus berperan dalam satu pertunjukan drama bahasa Jepang.
Karena kefasihannya berbahasa Jepang, Idrus diterima bekerja di Sentral Telepon Pendudukan Jepang. Kemudian di tahun 1943, ia dipindahkan ke asrama Kubota dan bekerja di Biro Okabutai di Tanjung Pinang selama 5 bulan.
Di tengah kesibukannya bekerja, Idrus masih meluangkan waktunya untuk menggeluti dunia teater. Hal itu dibuktikan dengan keterlibatannya dalam pertunjukan drama pendek yang mengisahkan kehidupan petani dan nelayan yang hidup melarat berjudul Noserang.
Di penghujung tahun 1944, Idrus Tintin hijrah ke Tembilahan untuk melanjutkan pendidikannya di Sekolah Muhammadiyah, yang lagi-lagi tak berhasil diselesaikannya.
Setahun berikutnya, Idrus kembali ke Rengat untuk meneruskan pendidikan SMP, sambil melanjutkan hobinya bermain teater. Idrus beberapa kali tampil dalam pementasan bersama grup Seniman Muda Indonesia (SEMI) asuhan Agus, Moeis dan Hasbullah.
Meski sibuk berkesenian, Idrus tetap memperhatikan pendidikannya. Selain di sekolah formal, ia juga mengikuti kursus di sore hari untuk program ekstranei hingga lulus. Terakhir, pria yang akrab disapa Derus oleh keluarga dan kawan-kawannya ini menempuh pendidikan di SMA Sore Tanjung Pinang. Saat masih berumur 16 tahun, tepatnya di bulan Februari 1949, Idrus bergabung menjadi anggota TNI.
Setahun kemudian, ia mulai bertugas sebagai Staf Q Brigade DD Angkatan Darat di Tanjung Pinang. Namun profesi itu tak lama digelutinya karena kecintaan Idrus pada dunia seni khususnya teater nampaknya sulit dilepaskan begitu saja. Pada 1952, Idrus mendirikan sebuah sanggar sandiwara bernama Gurinda di Tarempa.
Dua tahun berikutnya, ia mengawali karirnya sebagai pegawai negeri mulai dari juru tulis hingga berhasil meraih posisi sebagai Kepala Kantor Sosial Kewedanan Pulau Tujuh.
Sayang, baru tiga tahun berdinas, Idrus mulai merasakan kesulitan membagi waktu antara aktivitasnya di dunia seni dengan pekerjaannya sebagai pegawai negeri.
Idrus akhirnya mengundurkan diri dari jabatannya dan pindah ke Tanjung Pinang. Di kota itu, ia membentuk kelompok teater non formal bersama Hanafi Harun pada 1958.
Kala itu Idrus tampil sebanyak puluhan kali memainkan naskah buatannya sendiri, yakni Buih dan Kasih Sayang Orang Lain, Bunga Rumah Makan, serta Awal dan Mira.
Naskah lain yang pernah ditulis Idrus berjudul Pasien yang kemudian dimainkannya sekitar tahun 1959 dalam sebuah pertunjukan drama spektakuler di depan Kantor RRI Tanjung Pinang.
Dalam drama yang dibesut Galeb Husein itu, Idrus yang bertindak sebagai asisten sutradara sekaligus pemeran utama beradu akting dengan sejumlah aktor pendukung seperti Edi Nur dan Ita Harahap.
Drama tersebut di samping menuai banyak pujian, juga sempat diprotes lantaran dianggap tak biasa. Sejak kesuksesan drama “Pasien”, Idrus dan kelompok teaternya selalu diundang untuk mengisi acara yang diadakan pemerintah daerah setempat.
Tak cukup puas mendulang sukses di tanah kelahirannya, pada tahun 1959, Idrus merantau ke Pulau Jawa guna menimba ilmu dan memperluas wawasan seputar dunia seni peran. Saat itulah, ia mulai berkenalan dengan seniman teater ternama ibukota seperti Asrul Sani, Rendra, B. Jayakesuma, Soekarno M. Noor, Ismet M. Noor, Teguh Karya, Chairul Umam, dan masih banyak lagi.
Pertemuannya dengan nama-nama besar tadi menjadi awal perkenalan Idrus dengan dunia teater modern.
Sejak itu pula, untuk mempertajam kemampuannya, Idrus getol mengikuti berbagai forum diskusi, terutama yang membicarakan tentang seni peran dan penyutradaraan. Idrus juga menambah wawasannya dengan belajar teater non formal dengan harapan bisa masuk ASDRAFI (Akademi Seni Drama dan Film Indonesia).
Di masa perantauannya, ia juga sempat bertemu dan berlatih sebuah pementasan teater dengan judul Kereta Kencana di tempat Motinggo Busye.
Dari ibukota, pengembaraannya kemudian berlanjut ke kota Solo. Di sana ia menimba ilmu teater pada S. Tossani. Selain itu, Idrus Tintin sempat tampil bermain teater di Surabaya, tepat di hari ulang tahunnya.
Setelah sekitar setahun hidup di perantauan, Idrus kembali ke Rengat pada tahun 1960 dan mengakhiri masa bujangnya dengan mempersunting seorang perempuan dari Indragiri bernama Masani.
Setelah menikah, kegiatan Idrus sebagai seniman teater terus berlanjut, bahkan ia membentuk sebuah kelompok teater di kampung halamannya.
Setiap ada perayaan hari-hari besar, ia hampir tak pernah absen menunjukkan kebolehannya berakting di panggung teater bersama sejumlah rekan sesama seniman lainnya seperti Taufik Effendi Aria, Bakri, dan Rusdi Abduh di Rengat, Tanjung Pinang, Tembilahan.
Semua itu dijalaninya hingga tahun 1965, dan sepanjang periode itu, Idrus banyak mencatat prestasi diantaranya sebagai Aktor Terbaik pada Festival Drama di Pekanbaru yang diselenggarakan oleh Pemerintah Provinsi Riau tahun 1964.
Selanjutnya di tahun 1966, Idrus memulai debutnya sebagai sutradara sekaligus pemimpin pertunjukan teater modern berjudul Tanda Silang.
Pertunjukan yang digelar di Gedung Trikora Pekanbaru itu menampilkan M. Rasul, Taufik Effendi Aria, Mami Soebrantas, dan RP Marpaung. Empat tahun berselang, Idrus hijrah ke Jakarta dan bekerja di Travel Nusantara Air Center serta menjadi pengasuh rubrik budaya di Majalah Indonesia Movie.
Ia juga membentuk Grup Movies Teater di Gedung Kesenian Jakarta bersama Alex Zulkarnain. Awal tahun 70-an, Idrus Tintin meninggalkan semua pekerjaannya di ibukota dan kembali ke Rengat, kemudian pindah lagi ke Pekanbaru dan bekerja di perusahaan penimbunan pasir.
Tepat di perayaan HUT Kemerdekaan RI tahun 1974, Idrus kembali ke dunia teater dan menyutradarai pertunjukan teater kolosal dengan judul Harimau Tingkis di Balai Dang Merdu Pekanbaru. Pertunjukan tersebut di bawah koordinator BM Syam dengan para pemain antara lain Faruq AIwi, Patopoi Menteng, Akhyar dan Yusuf Dang.
Masih di tahun yang sama, bersama Armawai KH, Idrus mendirikan sanggar teater di Riau dengan nama Teater Bahana. Selanjutnya, Idrus kembali berganti pekerjaan.
Setelah memutuskan keluar dari perusahaan penimbunan pasir, ia bekerja sebagai pegawai honor Bagian Humas Kantor Gubernur Riau sekaligus menjadi pengasuh majalah Gema Riau.
Kemudian di tahun 1975, Idrus Tintin menjadi guru honorer di SMA Negeri 2, Pekanbaru, Riau selama 17 tahun. Idrus membina siswanya berkesenian di sanggar Teater Bahana yang didirikannya. Setidaknya, grup teater pimpinan Idrus itu tampil sebulan sekali di Pekanbaru.
Selain giat di panggung, Idrus Tintin juga selalu mengikuti pertemuan ilmiah baik sebagai pembicara, peserta maupun mengadakan pertunjukan teater monolog.
Demikian halnya di dunia tulis menulis, kemampuannya sebagai penyair tak disangsikan lagi. Idrus bahkan dianggap sebagai penulis yang mampu menjadikan hal-hal tragedik menjadi komedik.
Selain naskah teater, Idrus juga menuangkan imajinasinya dalam bentuk sajak dan puisi yang terangkum dalam berbagai buku yakni Luput, Burung Waktu, Nyanyian di Lautan, Tarian di Tengah Hutan, dan Jelajah Cakrawala.
Meski demikian, banyak tokoh kesenian berpendapat bahwa Idrus lebih menonjol dengan keaktorannya dalam dunia teater dibanding kiprahnya sebagai penyair. Sosok Idrus dinilai berhasil mendobrak dominasi sandiwara tradisional/klasik yang terkesan eksklusif (menutup diri) terhadap unsur-unsur baru.
Berbeda dengan teater modern atau kontemporer yang penuh kreasi. Inovasi tersebut belakangan banyak memberikan pengaruh pada para seniman Riau dan sekitarnya.
Tak heran, meski kerap berganti-ganti pekerjaan, kawan-kawannya selalu mengidentikkan kehidupan Idrus Tintin adalah teater.
Di usia 71 tahun, tepatnya pada 14 Juli 2003, seniman teater dan penyair ini meninggal dunia akibat penyakit stroke. Ia meninggalkan 7 orang anak dan dua orang istri, Mahani dan Masani.
Jasadnya dikebumikan di pemakaman raja-raja Rengat, berdekatan dengan Masjid Raya Rengat Indragiri Hulu, Riau. Meski telah tiada, rekam jejaknya di dunia seni terus mendapatkan apresiasi dari berbagai pihak.
Pada 8 November 2011, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono atas nama pemerintah Indonesia menganugerahkan Idrus Tintin penghargaan Bintang Budaya Parama Dharma.
Penghargaan tertinggi di bidang seni dan budaya itu diserahkan langsung kepada ahli waris Idrus Tintin yang diwakili putrinya, Multi Tintin, di Istana Negara.
Sebelumnya di tahun 1996, jerih payah dan jasa-jasa Idrus bagi budaya dan kesenian sudah mendapat pengakuan dari Yayasan Sagang yang memberikannya Anugrah Sagang, sebuah penghargaan seni paling bergengsi di Riau.
Kemudian pada tahun 2001, Dewan Kesenian Riau menobatkan Idrus Tintin sebagai Seniman Pemangku Negeri (SPN) kategori Seni Teater.