Mahfud MD Ngegas Lagi, Sebut Anggota DPR Suka Marah-marah Ternyata Makelar Kasus
SABANGMERAUKE NEWS, Jakarta - Aksi Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD dalam rapat bersama Komisi III DPR RI, Rabu (29/3/2023) begitu memukau. Ia membuktikan omongannya kemarin lewat akun medsosnya yang ingin bicara terbuka soal dugaan transaksi mencurigakan sebesar Rp 349 triliun di Kementerian Keuangan.
Dalam rapat sore tadi, Mahfud sempat menyinggung soal kelakuan anggota DPR. Ia mengaku heran dengan anggota DPR yang suka marah-marah. Namun ternyata tetapi di balik itu, sang wakil rakyat justru adalah seorang makelar kasus (markus).
"Sering di DPR ini aneh kadangkala marah-marah itu tidak tahunya markus dia. Marah kepada Kejaksaan Agung, tapi nantinya datang ke Kantor Kejaksaan Agung titip kasus," ujar Mahfud di hadapan para anggota Komisi III DPR.
Mahfud menyampaikan pernyataan keras tersebut akibat sejumlah anggota komisi III DPR menyerangnya terkait dengan transaksi mencurigakan Rp349 triliun di Kemeterian Keuangan.
Spontan pernyataan Mahfud itu menuai keriuhan dari anggota DPR, tidak terkecuali Habiburokhman yang langsung mengajukan interupsi kepada pimpinan rapat.
Habiburokhman menanyakan Mahfud apakah benar ada anggota DPR periode 2019-2024 yang menjadi markus. Apabila hal tersebut benar, dia meminta agar Mahfud dapat menyampaikannya secara langsung.
"Interupsi pimpinan. Saya kebetulan pimpinan Mahkamah Kehormatan Dewan. Saya minta Pak Mahfud, apa memang benar ada data soal markus anggota DPR di sini? Sampaikan saja sekarang," kata Habiburokhman.
"Saya sampaikan sekarang," jawab Mahfud.
Mahfud menceritakan peristiwa terjadi pada Kampung Maling. Kendati demikian, kasus itu bukanlah kasus yang dititipkan oleh periode anggota DPR saat ini.
"Ingat peristiwa ustaz di Kampung Maling? Saya kira saya sama Pak Benny masih ada di sini. Pada waktu itu Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh dicecar habis-habisan ditanya seperti ini dibilang bapak ini seperti ustaz di Kampung Maling," kata Mahfud.
Ia melanjutkan, "Bapak baik, tetapi di lingkungan Bapak jelek. Ingat 'kan? Itu tanggal 17 Februari 2002."
Diperiksa Seperti Copet
Sebelumnya dalam forum rapat tersebut, Mahfud sempat menyinggung pertanyaan anggota Komisi III DPR Benny K. Harman yang terkesan seperti polisi menginterogasi seorang copet.
"Jadi, setiap urusan kalau tidak ada larangan itu boleh, kecuali sampai timbul hukum yang melarang. Nanti kalau di dalam hukum umum, saya katakan juga sekarang kepada Pak Benny, kok, pertanyaannya seperti polisi?" kata Mahfud.
Benny sebelumnya bertanya kepada bawahan Mahfud MD apakah seorang Menkopolhukam boleh melaporkan soal tindak pidana pencucian uang (TPPU) ke publik.
Meski begitu, Mahfud mengungkapkan tidak ada larangan untuk menyampaikan suatu informasi ke publik, kecuali sudah ada aturan yang mengaturnya.
Mahfud juga merasa pertanyaan yang dilontarkan Benny itu seperti menginterogasi seorang copet.
"Tidak ada satu kesalahan, tidak ada sesuatu yang dihalangi sampai ada undang-undang yang melarang lebih dahulu. Ini 'kan tidak dilarang, lalu ditanya kayak copet saja, memang siapa?" tanya Mahfud.
Lebih lanjut, sambung Mahfud, Benny juga meminta dalil atau pasal terkait dengan Menkopolhukam diperbolehkan menyampaikan informasi intelijen kepada publik. Mahfud meminta Benny agar tidak terlalu dalam menyampaikan pertanyaan.
"Tidak boleh tanya begitu harus ada konteksnya dong. Terus dia bilang boleh, kok, harus ada pasalnya? Kalau boleh, itu tidak perlu pasal. Misalnya saya tanya kepada Pak Benny boleh tidak saya ke kamar mandi sekarang? Boleh, mana pasalnya? Tidak ada karena boleh. Kalau dilarang, baru ada pasalnya di mana dalilnya?" tambah Mahfud.
Sebelumnya, anggota Komisi III DPR Arteria Dahlan menyebut laporan PPATK soal transaksi mencurigakan itu seharusnya tak boleh diumumkan ke publik.
Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, menurut Arteria, ada ancaman pidana 4 tahun bagi yang membocorkan.
"Setiap orang, itu termasuk juga menteri, termasuk juga menko (menteri koordinator), ya, yang memperoleh dokumen atau keterangan, dalam rangka pelaksanaan tugasnya, menurut UU ini wajib merahasiakan dokumen atau keterangan tersebut," ucap Arteria dalam rapat kerja (raker) antara PPATK dan Komisi III DPR RI di kompleks parlemen, Jakarta, Selasa (28/3/2023). (*)