Giam, Kayu Langka Konon Jadi Bahan Membuat Kapal Layar Lancang Kuning Sultan Riau
SABANGMERAUKE NEWS, Jakarta - Giam, begitu pohon langka bernilai ini dikenal. Di Sumatera Utara lebih familiar dengan nama pohon raru. Dengan nama ilmiah Cotylelobium melanoxylon dan termasuk ke dalam suku meranti-merantian (Dipterokarpa), giam mempunya nilai manfaat yang tinggi.
Di Riau, konon pada zamannya, kayunya digunakan untuk membuat kapal para sultan (pejabat tinggi) yang dikenal dengan istilah kapal layar lancang kuning. Kapal legendaris yang membuat Riau digelari sebagai bumi lancang kuning. Namanya pun digunakan untuk menamai cagar biosfer yang ada di Riau yaitu Cagar Biosfer Giam Siak-Kecil.
Riset Pasaribu (2007) mengungkap jika kayu giam memiliki kelas kuat nomor wahid, sehingga tepat jika digunakan untuk bahan kontruksi berat semisal tiang listrik dan industri perkapalan. Tidak hanya kayunya, kulit giam juga kaya akan manfaat karena mengandung berbagai zat berguna seperti flavonoid, tanin, triterpenoid,hidrokuinon dan saponin (Pasaribu dan Setyawati, 2011).
Sebagaimana diungkap oleh Winahyu dkk (2019), diantara manfaat tersebut adalah bisa menurunkan kadar gula darah (diabetes) sebagai dampak dari aktvitas hipoglikemik zat zat yang ada dalam kulitnya.
Kulit giam pun dikenal luas dapat meningkatkan kandungan etanol, sehingga ke depan bisa saja digunakan dalam produksi bioethanol. Di samping itu, kulit giam telah teridentifikasi mempunyai efek aktivitas anti bakteri oleh penelitian Verawati dan Aida (2017), sehingga dapat dimanfaatkan untuk biopreservasi bahan pangan.
Diburu Menjadi Langka
Dengan beragam manfaat yang dimilikinya, tidak mengherankan jika giam banyak diburu di hutan Indonesia. Sayangnya, budi daya secara massal terhadap jenis pohon lokal bernilai ini hampir tidak ada. Tak pelak, kondisi ini membuat keberadaan giam di hutan alam Indonesia semakin langka.
Memang di tingkat global menurut daftar pohon langka yang dikeluarkan oleh International Union for Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN),pada tahun 2019 giam masih masuk daftar least concern bermakna bahwa tingkat risiko kepunahannya di alam relatif belum sampai membahayakan (Endangered).
Namun, jika meninjau sebaran populasi yang ditampilkan di situs IUCN, penilaian ini nampaknya lebih terpengaruhi oleh data sebaran dan jumlah populasi giam yang berada di sekitar wilayah Malaysia dan Brunei yang kemungkinan populasinya lebih baik dibandingkan dengan di Indonesia.
Sebaran alami giam memang bukan hanya di Indonesia, tapi juga meligkupi Malaysia, Brunei, dan Thailand. Sementara itu di Indonesia, dalam sebuah workshop yang diadakan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dengan International Tropical Timber Organization (ITTO) yang menghadirkan berbagai pihak mulai peneliti, akemisi, pemerintah pusat, pemerintah daerah, widyaiswara dan praktisi (pengusaha) dari Sumatera dan Kalimantan terungkap semakin sulitnya menemukan pohon giam di alam.
Kondisi ini terkonfirmasi oleh hasil eksplorasi tim KLHK berkerja sama dengan ITTO di sekitar Hutan Lindung (HL) Batang Toru, Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara.
Tim kesulitan menemukan pohon giam, padahal beberapa referensi sebelumnya menyebutkan bahwa sebaran alam giam salah satu berada di HL tersebut. Junaedi (2018) selaku ketua tim eksplorasi menyebutkan bahwa tim tidak berhasil menemukan satu pun individu giam yang masuk kategori tingkat pohon (diameter batang lebih dari 20 cm).
Sementara, yang bisa ditemukan oleh tim adalah individu giam untuk tingkat semai, pancang dan tiang masih ditemukan, tetapi bukan merupakan jenis dominan karena kerapatan relatifnya cukup kecil yakni masing-masing untuk tingkat tiang, pancang dan semai berturut-turut adalah 16%, 13%, dan 7%.
Rendahnya populasi giam di HL Batang Toru dikarenakan banyak diburu untuk diambil kulitnya sebagai salah satu bahan campuran pembuatan minuman tradisional.
Kulit giam yang diambil tidak hanya pada pohon, tetapi juga pada tingkat tiang dan mungkin pancang.
Bahkan giam dikuliti sampai habis, sehingga tidak memungkin lagi untuk bermetabolisme secara normal dan akhirnya mati. Hal ini tentu harus menjadi perhatian berbagai pihak untuk dapat mengendalikan atau bahkan menghentikan eksploitasi kulitnya agar giam yang masih tersisa masih bisa dipertahankan.
Selamat di Hutan Adat
Kendatipun pohon giam sudah sulit ditemukan, akan tetapi anak cucu kita masih bisa berharap untuk kelak melihat dan mempelajari giam. Adalah eksplorasi Junaedi dan kawan-kawan dalam sebuah kegiatan kerja sama KLHK dengan ITTO yang berhasil menemukan populasi giam dengan kondisi lebih baik di Hutan Adat Guguk, Renah Pembarap, Merangin, Jambi.
Dalam hutan adat seluas 690 hektare ini, giam dapat ditemukan pada berbagai strata, mulai dari semai sampai pohon, dengan komposisi yang ideal (kurva J terbalik). Ada pun potensi populasinya dalam 1 hektare diperkirakan adalah 454 semai, 109 pancag, 54 tiang dan 30 pohon.
Ini merupakan kekayaan alam yang berharga yang seyogiyanya dilindungi, dipelajari, dan diteliti untuk kemaslahatan. Institusi riset seperti BRIN dan perguruan tinggi bisa berperan aktif di dalamnya.
Keberadaan pohon giam yang masih terjaga dengan selamat di hutan adat Guguk adalah sesuatu yang istimewa di tengah ancaman yang tinggi terhadap eksistensi biodiversitas Indonesiao.
Hal ini adalah buah kegigihan dan kearifan lokal masyarakat. Di Guguk, masyarakat secara swadaya berbasis kearifan lokal berinisiatif untuk menjaga hutan dan segala kekayaan alam yang ada di dalamnya, termasuk pohon giam.
Tidak mengherankan jenis-jenis pohon bernilai lainnya pun bisa ditemukan antara lain kulim (Schorodocarpus borneensis),meranti (Shorea sp.), mempening (Lithocarpus sp.), petaling (Ochanostachys sp.), serta berbagai jenis medang-medangan (Cinnamomum sp. dan Litsea sp.) dan kelat (Szygium sp).
Namun, tentu saja hutan adat ini tak luput dari ancaman seperti penambangan liar. Oleh karena itu, semua pihak perlu peduli. Bukan sekadar peduli terhadap hutannya, tetapi juga terhadap masyarakat yang menjaganya. (*)
Penulis: Ahmad Junaedi, Ahli Peneliti Madya, Pusris Ekologi dan Etnobiologi, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dan Ketua tim eksplorasi jenis-jenis pohon lokal bernilai tinggi Sumatra.