Analisis Redaksi
Menanti Kabinet Baru Gubernur Syamsuar di Ujung Masa Jabatan: Menagih Janji Riau Lebih Baik?
SABANGMERAUKE NEWS, Riau - Sebanyak 36 pejabat tinggi pratama (PTP) setara eselon dua di lingkungan Pemprov Riau telah selesai dievaluasi. Panitia seleksi (Pansel) bentukan Gubernur Riau mengklaim proses uji kompetensi dan evaluasi pejabat telah tuntas.
Hasilnya konon telah dikirimkan ke Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN). Pelantikan urung dilakukan hingga molor lebih sebulan sejak pansel merampungkan kerjanya. Pansel beralasan kalau pelantikan terganjal izin dari KASN. Soalnya, Gubernur Riau Syamsuar masih harus memberikan klarifikasi atas beberapa catatan KASN terkait hasil evaluasi pejabat yang dilakukan.
Awalnya, klarifikasi Gubernur Syamsuar ke KASN akan dilakukan usai lawatannya dari Singapura dan Malaysia pada awal Maret lalu. Namun, sampai saat ini belum ada kejelasan hasil klarifikasi Syamsuar ke KASN dan waktu pelantikan ke 36 pejabat masih misterius. Entah apa ganjalannya.
Terlepas apa penyebab pelantikan pejabat itu 'terkatung-katung', namun perombakan pejabat di lingkungan Pemprov Riau kali ini memiliki makna strategis. Soalnya, jumlah pejabat yang dievaluasi mencapai 75 persen dari total komposisi pejabat eselon dua di lingkup Pemprov Riau. Dari sebanyak total 48 pejabat eselon dua di Pemprov Riau, 36 di antaranya telah dievaluasi.
Badan Kepegawaian Daerah (BKD) Riau menyebut hasil evaluasi ini memungkinkan terjadinya empat kondisi terhadap pejabat yang dievaluasi yakni: promosi, rotasi, demosi dan bahkan non job.
Evaluasi besar-besaran pejabat di lingkungan Pemprov Riau ini, mungkin tak akan pernah lagi dilakukan oleh Syamsuar. Ini sepertinya akan menjadi perombakan di ujung masa jabatannya yang bakal 'dipercepat' (tak sampai lima tahun). Apalagi jika Syamsuar ikut mendaftar sebagai bakal calon legislatif pada pemilu serentak Februari 2024 mendatang.
Nama Syamsuar disebut-sebut telah diplot menjadi bakal caleg DPR RI atas perintah DPP Partai Golkar sebagai strategi vote getter parpol. Jika ini terjadi, maka masa jabatan Syamsuar bakal segera berakhir, karena dia harus mengundurkan diri dari kursi Gubernur Riau.
Kembali ke soal perombakan pejabat elit di lingkungan Pemprov Riau yang entah kapan dilantik. Perombakan komposisi dan personil pejabat memang semestinya tidak hanya sekadar tindakan pergantian rupa dan wajah pejabat. Apalagi dipersempit menjadi mutasi berupa rotasi (tour of area dan tour of duty).
Seharusnya, perombakan dan evaluasi pejabat Pemprov Riau bisa menghasilkan kerangka perbaikan kinerja pemerintahan daerah. Hal ini akan lebih efektif jika disertai proyeksi pembaharuan kebijakan yang sudah berjalan empat tahun lamanya.
Alat ukur evaluasi pejabat yang dilakukan Gubernur Riau melalui pansel pun haruslah jelas, konkret dan terukur. Evaluasi tak boleh dilakukan sekadar karena faktor subjektif, like or dislike dan sentimen-sentimen yang tak jelas ukuran serta validitasnya. Misalnya, hanya karena bisikan-bisikan orang tertentu, dorongan lewat aksi demonstrasi, apalagi hanya karena kedekatan personal dan pertalian darah (perda).
Sebenarnya, ketimbang hanya sekadar merombak pejabat pembantunya, Syamsuar harus mereposisi dan mengukur ulang capaian kerjanya dalam empat tahun terakhir. Dasar evaluasinya adalah janji politik dalam jargon kampanye pilkada pada 2019 lalu: Menjadi Riau Lebih Baik.
Yang menjadi pertanyaan kritis adalah apakah selama 4 tahun kepemimpinan Syamsuar-Edy Nasution, Provinsi Riau sudah menjadi lebih baik? Jika sudah lebih baik, apa ukurannya? Dan jika belum lebih baik, di mana persoalannya dan mengapa masih dibiarkan?
Rasa-rasanya dalam empat tahun kepemimpinan Syamsuar, tidak terlihat hal-hal yang sangat menonjol dan bisa dirasakan oleh masyarakat. Kondisi infrastruktur dasar seperti jalan masih jadi sorotan dan penderitaan rakyat. Proyek-proyek pembangunan fisik unggulan banyak yang mandeg, meleset dan tak sesuai target penyelesaian.
Layanan pendidikan dikeluhkan dengan terbatasnya ketersediaan bangku SMA negeri sederajat yang merupakan kewenangan Pemprov Riau. Hal sama juga identik dengan kondisi di sektor kesehatan yang relatif biasa-biasa saja, bahkan kerap diwarnai ketidakpuasan pelayanan kesehatan publik.
Praktis dalam 4 tahun kepemimpinan Syamsuar-Edy, tidak ada terobosan monumental yang ditempuh. Ritual seremonial menjadi ornamen pokok yang kerap mendominasi kegiatan pemerintahan. Tak jelas fokus alokasi APBD Riau dalam empat tahun terakhir. Alhasil, APBD terurai tanpa jejak tiap tahunnya.
Hal yang bisa dicatat sisi positifnya yakni soal capaian investasi Riau pada triwulan III-2022 yang menembus target. Dari target investasi sebesar Rp 15,1 triliun diklaim dapat direalisasikan mencapai Rp 27,5 triliun. Rinciannya investasi Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) sebesar Rp 14,48 triliun dan Penanaman Modal Asing (PMA) mencapai Rp 13,02 triliun. Pemprov mengklaim realisasi investasi sebesar itu mampu menyerap tenaga kerja sebanyak 12.338 orang.
Hanya saja, patut ditelaah lagi apakah over target investasi tersebut hanya berfokus pada sektor industri ekstraktif seperti migas, kehutanan dan perkebunan semata. Sementara, sektor industri lainnya stagnan atau cenderung merosot.
Kita juga patut mengapresiasi pencapaian Indeks Kualitas Lingkungan Hidup (IKLH) Provinsi Riau yang naik secara konsisten dan progresif. Pada tahun 2019, IKLH Riau tercatat di angka 63,87, namun pada tahun 2021 menjadi 70,72. Angka ini melebihi target dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) yaitu 68 dalam RPJMD lama atau target revisi RPJMD Provinsi Riau 69,80.
Gubernur Syamsuar semestinya menjadikan capaian janji politiknya yang minus realisasi sebagai dasar ukuran evaluasi pejabat. Pimpinan organisasi perangkat daerah (OPD) yang tak bisa bekerja, siapa pun orangnya harusnya dicopot. Sehingga jelas alat ukur yang dipakai untuk mengevaluasi kinerja para pembantunya.
Gubernur Syamsuar harus awas dan jeli melihat sorotan serta sentimen negatif yang beredar di publik sejak setahun terakhir. Banyak sekali nada minor dari publik, melalui suara-suara kritis-korektif yang terus disiarkan pers maupun sosial media.
Apalagi, dalam beberapa kasus, Pemprov Riau bersikap sangat reaktif dan emosional dalam merespon suara publik melalui pernyataan pejabat humasnya. Langkah reaktif ini akan merugikan Syamsuar yang dinilai anti-kritik dan bisa dicap sebagai pemimpin yang feodal.
Memang, agak sulit berharap di sisa jabatan Gubernur Syamsuar yang tinggal hitungan bulan lagi, perubahan substantif dan greget masih dapat dilakukan. Tapi, mudah-mudahan saja kabinet baru Syamsuar bisa memberi warna baru di akhir masa jabatannya. Setidaknya, bisa meyakinkan warga kalau Riau sedang baik-baik saja. Tapi memang agak berat Wak. (*)