Thrifting, Dilema Lifestyle Anak Muda dan Legalisasi Negara
SABANGMERAUKE NEWS - Fenomena Thrifting atau membeli barang bekas kembali menjadi tren di kalangan anak muda. Selain harganya yang terjangkau, barang-barang thrift shop juga dianggap memiliki kualitas yang baik dan tahan lama.
Meski legalitasnya dipertanyakan geliat Thrift digandrungi anak muda yang melek branded fashion.
"Kita pilih barang Thrift shop karena Kualitas ok, harga murah, tahan lama.Kalau beli dalam negeri mahal, bagaimana solusinya agar barang ini bisa murah? Ini gaya milenial, udah lifestyle," ujar Bagus, salah seorang penggemar Thrift, Sabtu (18/3/2023).
Pemusnahan barang Thrift diketahui sedang digalakkan. Kemunculan barang ilegal ini dikatakan mengganggu industri fashion tanah air.
Penggemar Thrift lain, Yuni mengaku siap mendukung brand tanah air, tapi menurutnya di harga yang sama, barang Thrift dan barang brand tanah air jomplang kualitasnya sehingga wajar saja barang Thrift menjadi pilihan.
"Harusnya ada solusinya, kualitas barang dalam negeri ditingkatkan. Bagaimana bisa cintai produk dalam negeri kalau tidak berkualitas. Sudahlah mahal, kualitas B aja (biasa saja)," ujarnya.
Lain hal dengan Alwie yang kerap mengoleksi barang vintage, menurutnya budaya thrifting menstimulus perkembangan industri fashion di Indonesia dan mengurangi potensi penumpukan sampah fashion dari industri fast fashion yang menjamur hari ini.
"Terlepas banyak ditemui barang-barang fast fashion di bal-bal korea, menurutku thrift itu pasarnya pasar kolektor. Tapi nilai sebenarnya ada di barang-barang rare, vintage, dan unreleased, yang memang punya nilai terseniri pada peminatnya," ujar Alwi.
Namun, di balik tren ini, ada dilema yang harus dihadapi, terutama terkait legalisasi negara terhadap impor pakaian bekas.
Sebagian besar barang thrift shop yang dijual berasal dari luar negeri, seperti Jepang dan Amerika Serikat. Hal ini memicu kekhawatiran terkait potensi pelanggaran undang-undang perdagangan dan perlindungan konsumen.
Mengimpor pakaian bekas telah dilarang oleh pemerintah Indonesia sejak tahun 2015, namun masih banyak pedagang yang menjual barang-barang impor tersebut.
Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat atau bekas, dan tercemar tanpa memberikan informasi lengkap dan benar atas barang tersebut.
Sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan, pemerintah berhak menetapkan larangan perdagangan pakaian bekas impor untuk kepentingan nasional dengan alasan melindungi kesehatan dan keselamatan manusia, hewan, ikan, tumbuhan, dan lingkungan hidup.
Di satu sisi, thrifting dapat menjadi solusi bagi anak muda yang ingin tampil trendy tanpa mengeluarkan banyak uang dan membantu mengurangi sampah tekstil. Namun, di sisi lain, hal ini dapat merugikan industri lokal yang sulit bersaing dengan barang impor murah.