Ngeri! Gagal Bayar Bayangi Pertamina Geothermal, Ini Penyebabnya
SABANGMERAUKE NEWS - Sejumlah pengamat menilai utang pengembangan terhadap anak usaha PT Pertamina (Persero) berisiko gagal bayar. Hal ini menyusul keputusan investasi jangka panjang yang dibiayai dengan pembiayaan short term.
Board of Director of the International Geothermal Association (IGA), Surya Darma mengatakan investasi PT Pertamina Geothermal Energy Tbk (PGEO) merupakan investasi jangka panjang. Semua sepakat jika hasil investasi bisnis panas bumi belum akan dinikmati dalam 5-10 tahun mendatang.
Dia menegaskan bahwa PGEO memiliki risiko gagal bayar utang akibat besarnya kebutuhan modal untuk menjalankan bisnis geothermal. Utang dinilai menjadi salah satu penopang agar bisnis dengan model capital intensive layaknya PGEO ini dapat bertahan.
Akibatnya, lanjut Surya, perseroan harus mencari jalan untuk meningkatkan modal, salah satunya melalui IPO, di mana salah satu alokasi penggunaan emisi untuk membayar utang alias refinancing.
“Kalau cari uang tambahan investasi bisa dengan IPO, namun tidak akan banyak. Jadi harus tetap berutang,” ujarnya, Rabu (15/3/2023).
Maka dari itu, Surya meminta PT Pertamina (Persero) untuk mewaspadai sejumlah risiko adanya sejarah ambang kebangkrutan perseroan akibat ekspansi pada era 70-an.
Dalam pengembangan perseroan, seperti tertulis dalam laporan keuangan perseroan 2021, total utang Badan Usaha Milik Negara (BUMN) minyak dan gas itu mencapai 19,9 miliar dolar AS atau sekitar Rp283,87 triliun (kurs Rp14.265 per dolar AS) per akhir tahun 2021, setara dengan 14,11 persem realisasi pendapatan negara pada APBN 2021 sebesar Rp2.011,3 triliun.
Persoalan muncul saat pelepasan saham anak usaha, seperti IPO PT Pertamina Geothermal Energy Tbk (PGEO) yang bisa menjadi risiko baru bagi perseroan.
“Jika salah kelola, negara juga harus menelan pil pahit,” paparnya.
Jangan sampai, lanjut Surya, manajemen Pertamina yang saat ini dinakhodai Nicke Widyawati mengikuti jejak Ibnu Sutowo yang pernah membuat perusahaan minyak nasional itu berada diambang kebangkrutan.
Respons Pertamina atas Tudingan Gagal Bayar
Terkait hal itu, Corporate Communications Manager & Stakeholder PGE, Muhammad Taufik meyakini potensi risiko gagal bayar sangat minim. Hal ini karena masa depan energi panas bumi Indonesia sangat menjanjikan, dan merupakan keniscayaan pada era transisi energi dan kebijakan pemanfaatan energi baru terbarukan (EBT) yang masif saat ini.
PGE sendiri klaimnya telah berpengalaman selama 40 tahun dalam pengembangan dan pengoperasian lapangan panas bumi, dimulai dengan PLTP Kamojang pada tahun 1983.
Perbandingan dengan EBT lain, panas bumi memiliki banyak kelebihan, lebih andal, tidak tergantung musim dan cuaca, tersedia setiap saat dan memiliki capacity factor tinggi.
"Dengan keunggulan diatas, PGE meyakini bahwa potensi risiko gagal bayar sangat kecil," kata dia, Rabu (15/3/2023).
Saat ini PGE juga sedang mengembangkan potensi green hydrogen yang dilakukan melalui pengerjaan pilot project di salah satu Wilayah Kerja Panas Bumi dan melakukan kajian Feasibility Study sebelum menetapkan Final Investment Decision (FID).
Untuk diketahui, PGE saat ini mengelola 13 Wilayah Kerja Panas Bumi dengan total kapasitas terpasang sebesar 1.877 MW. Rinciannya, kapasitas sebesar 672 MW dikelola langsung (Own Operation) dan 1.205 MW melalui skema Kontrak Operasi Bersama (Joint Operation Contract).
Sedangkan kapasitas PLTP 672 MW yang dikelola langsung oleh PGE berasal dari 6 Wilayah Kerja Panas Bumi, yaitu Kamojang di Jawa Barat 235 MW, Karaha di Jawa Barat 30 MW, Lahendong di Sulawesi Utara 120 MW, Ulubelu di Lampung sebesar 220 MW, Lumut Balai di Sumatra Selatan 55 MW dan Sibayak di Sumatera Utara 12 MW.