Jokowi Disebut Lebih Buruk dari Hukum Kolonial Soal Masa HGU Tanah, Ini Alasannya
SABANGMERAUKE NEWS - Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Dewi Kartika menyatakan Peraturan Pemerintah Nomor 12 tahun 2023 yang baru saja diteken Presiden Joko Widodo atau Jokowi lebih buruk dari hukum agraria kolonial.
Lewat PP ini, Jokowi memberikan konsensi Hak Guna Usaha (HGU) sampai 190 tahun, serta Hak Guna Bangunan (HGB) dan Hak Pakai (HP) sampai 160 tahun bagi investor di Ibu Kota Negara (IKN).
"Kebijakan ini jauh mundur ke belakang, sebab isinya lebih buruk jika dibandingkan saat bangsa Indonesia masih dijajah Belanda," kata Dewi.
Dewi menyebut UU Agraria Kolonial (Agrarische Wet 1870) saja hanya memberikan hak konsesi perkebunan kepada investor atau perkebunan kolonial paling lama 75 tahun.
Di jaman kemerdekaan, Agrarische Wet dicabut sejak Undang-Undang Pokok Agraria 1960 diberlakukan. Saat itulah, kata Dewi, mulai didorong usaha-usaha pembaruan paradigmatik politik dan hukum agraria secara fundamental.
Usaha landreform ini bertujuan memulihkan sistem agraria Indonesia yang mengalami krisis akibat dirampas dan dieksploitasi oleh pemerintahan kolonial.
Sungguh ironis, kata Dewi, justru di alam kemerdekaan dan di masa reformasi ini UU Pokok Agraria kembali dikhianati dengan membuat aturan yang lebih buruk dan lebih jahat dibandingkan kebijakan produk kolonial.
Isi Aturan PP 12
PP 12 ini mengatur tentang Pemberian Perizinan Berusaha, Kemudahan Berusaha, dan Fasilitas Penanaman Modal bagi Pelaku Usaha di Ibu Kota Negara.
"Perlu memberikan kebijakan khusus pemberian perizinan berusaha, kemudahan berusaha, dan fasilitas penanaman modal kepada pelaku usaha yang melakukan investasi dan kegiatan ekonomi dan/atau membiayai pembangunan dan pengembangan Ibu Kota Nusantara dan/atau daerah mitra," demikian bunyi poin pertimbangan di PP yang diteken Jokowi pada 6 Maret 2023 ini.
Pasal 17 menyebutkan tanah yang dialokasikan oleh Otoritas Ibu Kota Nusantara kepada pelaku usaha dapat diberikan Hak atas Tanah (HAT) berupa HGU, HGB, dan Hak Pakai. Jaminan kepastian jangka waktu ketiganya dimuat dalam perjanjian.
Kemudian, Pasal 18 menerangkan jangka waktu HGU di atas HPL Otorita Ibu Kota Nusantara diberikan paling lama 95 tahun melalui satu siklus pertama. Mengacu pada PP ini, Hak Guna Usaha yang selanjutnya disingkat HGU adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh negara, guna perusahaan pertanian, perikanan atau peternakan. Tahapannya yaitu:
1. pemberian hak, paling lama 35 tahun
2. perpanjangan hak, paling lama 25 tahun
c. pembaruan hak, paling lama 35 tahun
tahun.
HGU yang diberikan untuk satu siklus pertama dengan jangka waktu paling lama 95 tahun tersebut dituangkan dalam keputusan pemberian hak dan dicatat dalam sertifikat HGU.
Perpanjangan dan pembaruan HGU diberikan sekaligus setelah 5 tahun HGU digunakan dan/atau dimanfaatkan secara efektif sesuai dengan tujuan pemberian haknya.
Dalam tenggang waktu 10 tahun sebelum HGU siklus pertama berakhir, pelaku usaha dapat mengajukan permohonan pemberian kembali HGU untuk satu siklus kedua dengan jangka waktu paling lama 95 tahun sesuai dengan perjanjian pemanfaatan tanah.
Kemudian, Pasal 19 menerangkan jangka waktu HGB di atas HPL Otorita lbu Kota Nusantara diberikan paling lama 80 tahun melalui satu siklus pertama. HGB adalah hak untuk mendirikan bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri. Tahapannya yaitu:
1. pemberian hak, paling lama 30 tahun
2. perpanjangan hak, paling lama 20 tahun
3. pembaruan hak, paling lama 30 tahun
Dalam hal jangka waktu pemberian HGB untuk siklus pertama akan berakhir, HGB dapat diberikan kembali untuk satu siklus kedua apabila diperjanjikan.
Kemudian Pasal 20 menerangkan jangka waktu Hak Pakai di atas HPL Otorita Ibu Kota Nusantara diberikan paling lama 80 tahun melalui satu siklus pertama.
Tapi PP ini tidak merinci secara spesifik Hak Pakai yang dimaksud. Adapun tahapannya yaitu:
1. pemberian hak, paling lama 30 tahun
2. perpanjangan hak, paling lama 20 tahun
3. pembaruan hak, paling lama 30 tahun
Dalam hal jangka waktu pemberian Hak Pakai untuk siklus pertama akan berakhir, Hak Pakai dapat diberikan kembali untuk satu siklus kedua apabila diperjanjikan.
Sejumlah kritikan disampaikan Dewi. Menurut dia, PP ini mengatur pemberian konsesi HGU langsung dalam satu siklus 95 tahun, yakni pemberian hak 35 tahun sekaligus dengan perpanjangan hak 25 tahun dan pembaruan haknya 35 tahun.
"Semakin liberal, sebab investor langsung dijamin mendapat siklus kedua dengan tambahan 95 tahun lagi. Total 190 tahun, hampir dua abad konsesi," kata dia.
Sedangkan, HGB dan HP bisa mencapai 160 tahun. Menurut Dewi, PP ini menciptakan jalan hukum agar siklus pertama berikut siklus keduanya langsung dicantumkan dalam keputusan pemberian hak, dan dicatatkan dalam sertifikat HGU.
"Perjanjian siklus kedua HGB dan HP dapat dibuat sejak awal perjanjian pemberian hak. Negara melalui Otorita IKN mensejajarkan diri dengan investor," kata dia.
Bahayanya, kata Dewi, pencabutan atau penghapusan hak sama sekali tidak diatur dalam PP 12 ini. Padahal seharusnya tata-cara pencabutan hak dan atau pemberian sanksi semakin jelas dan tegas dengan pemberian konsesi hampir mencapai dua abad lamanya ini.
UU Pokok Agraria pun, kata Dewi, sudah terang-benderang dalam pemberian hak, dimana harus dilakukan secara bertahap dan bersyarat.
Menurut UU Pokok Agraria, HGU diberikan untuk waktu paling lama 25 tahun. Bagi perusahaan yang memerlukan waktu lebih lama dapat diberikan HGU paling lama 35 tahun. Perpanjangan HGU paling lama 25 tahun saja.Terkait HGB, UU Pokok Agraria juga sudah mengatur jangka waktu HGB paling lama 30 tahun. Perpanjangan maksimal 20 tahun
"Selain itu, UU Pokok Agraria juga sudah mengatur bahwa perpanjangan hak hanya dapat dilakukan sepanjang pemilik hak masih memenuhi syarat sesuai aturan UU Pokok Agraria," kata Dewi.
Permohonan perpanjangannya pun harus dilakukan paling lambat 2 tahun sebelum masa HGU dan HGB kedaluwarsa. Sementara untuk pembaruan hak, tahapannya kembali sebagaimana syarat-syarat pemberian hak di awal.
Oleh sebab itu, Dewi menyebut sistem siklus dalam PP 12 ini telah melanggar Pasal UU Pokok Agraria karena regulasi tersebut tidak pernah memandatkan pemberian HGU, HGB dan HP dengan perpanjangan dan pembaruan hak dalam satu siklus pemberian hak.
Akan tetapi, PP 12 justru dinilai kebablasan dengan menjamin pemberian hak dalam dua siklus; 2 kali 95 tahun untuk HGU, 2 kali 80 tahun untuk HGB dan HP. "Inilah pelanggaran fundamental terhadap UU Pokok Agraria," ujar Dewi.
Melanggar Putusan MK Nomor 21-22
Selain itu, Dewi juga menyebut PP 12 ini melanggar Putusan MK Nomor 21-22/PUU-V/2007 terkait pemberian konsesi sekaligus di muka. Sebab sebelumnya telah ada Putusan MK yang menyatakan bahwa pemberian hak atas tanah sekaligus di muka (pemberian hak, perpanjangan dan pembaruannya) berupa 95 tahun HGU, 80 tahun HGB dan 70 tahun Hak Pakai melanggar Konstitusi.
Putusan MK ini berkaitan dengan amar putusan atas permohonan judicial review organisasi masyarakat sipil terhadap UU Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Dewi menyebut penggunaan konsep “siklus pemberian” dalam PP 12 sama saja maknanya dengan konsep “di muka sekaligus” dalam UU Penanaman Modal.
Artinya, ketentuan ini sama-sama bertujuan memberikan, memperpanjang dan memperbaharui HGU, HGB, dan HP sekaligus dalam satu siklus pemberian hak. Bahkan PP 12 lebih parah dibanding UU Penanaman Modal yang dulu juga ditentang, karena sejak awal PP telah memberikan jaminan pemberian hak dalam dua kali siklus.
"Penanaman Modal saja sudah dinyatakan melanggar UUD 1945, apalagi dua kali lipatnya," kata Dewi.
Wakil Kepala Otorita IKN Dhonny Rahajoe telah menjelaskan alasan pemberian HGU hingga 190 tahun dan HGB 160 tahun ini. Tujuannya agar lahan yang dikuasai negara di IKN bisa bersaing dengan lahan berstatus hak milik yang tersebar di luar wilayah calon ibu kota ini.
"Kalau di otorita tidak dibuat bersaing dengan di sekitarnya, IKN-nya sepi," kata Dhonny.
Dhonny menerangkan kemudahan berusaha sebenarnya sudah diatur dalam Undang-Undang Cipta Kerja, yang belakangan menjadi Perpu Cipta Kerja. Kemudahan berusaha ini pun dibuat lebih menarik dengan PP Nomor 12 ini. HGB bisa diberikan di tahap awal selama 30 tahun. HGB akan dievaluasi setelah 5 tahun dan bisa diberi perpanjangan 50 tahun lagi.
"Kemudian setelah berakhir bisa kita perpanjangan lagi jadi ini tidak mengubah mekanisme yang ada, tetapi ada hal-hal yang kita percepatan khusus di IKN," kata Dhonny.
Pemberian HGB ini pun akan melewati serangkaian proses. Di tahap awal, otoritas sebagai pemegang Hak Pengelolaan atau HPL akan membuat perjanjian dengan pelaku usaha yang akan menggunakannya. Model semacam ini juga sudah dilakukan di Jakarta dan kota-kota lainnya.
Lalu di dalam UU Cipta Kerja dan PP Nomor 18 Tahun 2021, Dhonny menyebut sudah ada aturan juga bahwa HPL ini dilepas. Sehingga, ketentuan saat ini sebenarnya tidak mengganggu aturan yang ada sebelumnya. Nantinya, perjanjian dengan otoritas inilah yang akan menjadi landasan bagi Badan Pertanahan Nasional (BPN) untuk SK pemberian hak atas tanah.
Bagi Dhonny, pemberian HGB 80 tahun bukan berarti mengobral izin. Ia menjelaskan bahwa IKN dibangun di tanah yang belum ada infrastruktur apapun, ketika kawasan itu dikelilingi oleh tanah berstatus hak milik. Sementara di IKN, statusnya HGB dan HPL.
Jika pemerintah tidak menyamakan daya saing tanah di dalam area IKN dan di luarnya, maka tentu investor akan memilih untuk memborong tanah-tanah di sekitar IKN. Kondisi itu tidak sesuai dengan tujuan pemerintah menghadirkan IKN.
"Akhirnya jadi seperti banyak contoh di negara lain, sepi, karena mereka tinggalnya di sekitarnya, jadi bukan obral, ini dalam rangka menyamakan daya saing IKN dan sekitarnya," kata Dhonny.