Begini Awal Mula Warga Padati Lahan Depo Plumpang Menurut Bos Pertamina
SABANGMERAUKE NEWS - Direktur Utama PT Pertamina (Persero), Nicke Widyawati, menjelaskan awal mula kenapa Depo Plumpang terletak di tengah kota dan bisa sangat berdekatan dengan pemukiman padat warga.
Nicke berkata, Pertamina membeli tanah Plumpang seluas 153 hektar dari PT Mastraco di tahun 1971 senilai Rp 514 juta. Lalu di tahun 1976, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) mengeluarkan Surat Penetapan Pemberian Hak, di mana lahan tersebut diperuntukkan untuk industri instalasi minyak.
Dari total 153 hektar tersebut, sekitar 72 hektar digunakan untuk area operasional Depo Plumpang dan 82 hektar merupakan lahan bebas yang dikosongkan. Namun, warga mulai memadati lahan tersebut di tahun 1980-an.
"Kalau dilihat masyarakat mulai mendekat di akhir tahun 1980-an dan hari ini terlihat begitu padatnya sampai masyarakat nempel di dinding pembatasan Terminal Plumpang," jelasnya saat Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi VI DPR, Selasa (14/3/2023).
Kondisi saat ini, kata Nicke, lahan bebas seluas 81,6 hektar seluruhnya sudah dihuni oleh warga atau disebut Penghuni Tanpa Hak (PTH). Sementara lahan 72 hektar terdapat terminal BBM dengan kapasitas 324 ribu kiloliter dan operasional PT Elnusa.
Dia pun membagi menjadi pemukiman warga menjadi 3 bagian yaitu kawasan B dengan total luas 11 hektar, kawasan C seluas 12,5 hektar, dan kawasan D atau dikenal dengan Tanah Merah seluas 58 hektar.
Nicke melanjutkan, pada tahun 2017 Pertamina melakukan inventarisasi di daerah tersebut bersama PT Surveyor Indonesia, bahwa penduduk lahan pemukiman di Plumpang tercatat ada 34.700 orang dan 9.234 kepala keluarga (KK).
Kemelut Kepemilikan Lahan Plumpang
Anggota Komisi VI DPR Fraksi Golkar, Nusron Wahid, menyoroti kepemilikan lahan yang tumpang tindih antara warga Plumpang dengan Pertamina. Pasalnya, banyak warga yang memiliki Sertifikat Hak Milik (SHM) atau Izin Mendirikan Bangunan (IMB).
Nicke menjelaskan, pengalihan lahan seluas 153 hektar dari PT Mastraco kepada Pertamina berupa Akta Pengalihan Hak (APH). Sementara Hak Guna Bangunan (HGB) dikeluarkan di tahun 2020 untuk instalasi minyak hanya untuk lahan 72 hektar.
"Untuk aset lahannya butuh HGB, kami mendapatkan yang 71,9 hektar, di atas lahan tersebut ada instalasi, sisanya masih dalam bentuk APH," jelas Nicke.
Nusron pun meminta agar ada investigasi terkait pemberian IMB kepada warga Plumpang tersebut untuk kemudian dipertanggungjawabkan kepada pemerintah provinsi DKI Jakarta yang saat itu menjabat.
"Kita perlu inventarisir IMB dikeluarkan tahun berapa, saya tidak yakin itu dikeluarkan semua tahun 2021, misal antara 2017-2022 IMB ada berapa persen, itu harus investigasi," tegas Nusron.