Tajuk Redaksi
Murahnya Harga Nyawa Pekerja di Blok Rokan, Quo Vadis PHR?
SABANGMERAUKE NEWS - Rentetan kecelakaan kerja di Blok Rokan sejak dikelola PT Pertamina Hulu Rokan (PHR) pada 9 Agustus 2021 lalu begitu mengkhawatirkan. Hingga saat ini, sudah 10 pekerja meregang nyawa di blok migas andalan terbesar di negeri ini.
Terakhir, pada Jumat (24/2/2023) kemarin, 3 pekerja PT Prasadha Pamunah Limbah Industri (PPLI) tewas. Mayatnya ditemukan mengapung di kontainer limbah. PPLI dikenal sebagai perusahaan pengelola limbah industri. Sahamnya mayoritas dimiliki perusahaan asal Jepang. Laman resmi perusahaan di ppli.co.id menyebut 5 persen sahamnya dimiliki oleh pemerintah Indonesia.
BERITA TERKAIT: Blok Rokan Makan Korban Lagi, 3 Pekerja Dikabarkan Tewas Masuk ke Kontainer Limbah
Publik langsung mengaitkan keberadaan PT PHR di Blok Rokan. Mereka membandingkan dengan kondisi saat Blok Rokan dikelola oleh PT Chevron Pacific Indonesia (CPI). Kala dikelola raksasa migas asal Amerika Serikat tersebut, kecelakaan kerja nyaris tak terdengar. Atau barangkali memang jarang terekspos ke publik.
Tapi, tingginya kecelakaan kerja di Blok Rokan era Pertamina berkuasa, tak bisa ditutup-tutupi lagi. Faktanya memang demikian. Dalam tempo 18 bulan sejak Pertamina mengelola Blok Rokan, sudah terjadi 8 kecelakaan kerja dengan jumlah korban tewas sebanyak 10 orang. Angka yang tidak sedikit.
BERITA TERKAIT: Profil PT PPLI, Rekanan PT Pertamina Hulu Rokan yang 3 Pekerjanya Tewas di Kontainer Limbah Blok Rokan
Semua mata kini tertuju pada PHR sebagai kontraktor yang ditunjuk pemerintah mengelola Blok Rokan. Muncul asumsi kalau PHR tidak memiliki kesiapan yang mantap dalam mengelola Blok Rokan, sejak diambilnya keputusan Presiden Jokowi untuk merebut blok migas ini dari tangan Chevron yang sudah bercokol lebih 70 tahun lamanya.
Rasanya, asumsi publik itu tak bisa juga disalahkan. Mengelola blok migas sebesar Blok Rokan, bagi Pertamina adalah sebuah pertaruhan. Sebelumnya, Pertamina memang tak pernah mengelola ladang minyak sebesar Blok Rokan. Sebagai perbandingan, Blok Cepu yang kini menyumbang produksi migas terbesar nasional juga dikelola ExxonMobil.
Sekali lagi, apa yang terjadi di Blok Rokan adalah pertaruhan marwah Pertamina, juga pertaruhan kapasitas BUMN kita juncto marwah negara. Ambisi mengelola Blok Rokan ternyata tak cukup hanya dengan keputusan politik an sich. Namun jauh lebih penting yakni menyangkut kesiapan seluruh sumber daya organisasi, kultur bisnis dan political will yang sehat dan kuat.
Jangan sampai, turunnya Pertamina ke Blok Rokan hanya sekadar ajang ujicoba belaka. Terlalu besar taruhannya.
Langkah koreksi manajerial yang ditempuh PHR juga terbukti tak memberikan hasil yang konkret dan signifikan. Pencopotan Executive Vice President Upstream Business Feri Sri Wibowo disusul pemberhentian Fransjono Lazarus dari posisi Executive Vice President Business Support bulan lalu, nyatanya tak memberikan efek positif pada jaminan keselamatan pekerja. Kecelakaan kerja justru tetap terjadi, bahkan dengan derajat peristiwa yang lebih parah: tiga nyawa melayang di dalam kontainer limbah.
Feri dan Lazarus adalah dua orang pejabat puncak di PHR. Posisinya hanya setingkat di bawah jabatan Direktur Utama PHR, Jaffee Arizon Suardi. Keduanya disebut menjadi 'tumbal' atas rentetan kecelakaan kerja dan kasak kusuk bisnis di Blok Rokan yang mengemuka di publik.
Kita memang tak ingin sekadar menjadi kambing hitam atas kondisi yang terjadi. Tapi, jabatan memang harus dipertanggungjawabkan.
Lebih dari itu, identifikasi atas faktor-faktor penyebab kecelakaan kerja di Blok Rokan mestinya harus dilakukan secara cepat dan kredibel. Peristiwa yang terjadi tak boleh sekadar dianggap hanya sebuah musibah. Apalagi mengaitkannya dengan kehendak Tuhan Sang Pencipta. Paham fatalistik ini tak cocok diterapkan dalam abad milenial yang sudah sangat maju dan serba teknologi-digital.
Minimnya pengawasan ketenagakerjaan perlu menjadi perhatian kita. Keberadaan Dinas Tenaga Kerja dan Kementerian Tenaga Kerja harusnya tak boleh sekadar menjadi macan ompong dan pemadam.
Harus ada yang bertanggung jawab atas kejadian kelam ini. Keberadaan Pertamina Hulu Energi (PHE) Subholding Upstream juga perlu digugat. Termasuk juga SKK Migas tak boleh hanya sekadar jadi penonton doang. Pertamina sebagai induk PHR juga jangan hanya diam. Kementerian BUMN dan Kementerian ESDM, ke mana?
Jangan sampai muncul anggapan: betapa murahnya harga nyawa pekerja di Blok Rokan. Sekadar diberi santunan dan jaminan sosial. Quo Vadis Blok Rokan? (*)