Tajuk Redaksi
Menggugat Harga Murah Patokan Kayu Hutan Tanaman Industri: Pemerintah Buntung, Siapa Untung?
SABANGMERAUKE NEWS, Pekanbaru - Hamparan pepohonan menghijau sepanjang mata memandang. Bentuknya seragam, tertata dan rapi. Jika anda berada di pesawat terbang hendak ke Pekanbaru, maka akan bisa menyaksikannya dengan jelas, sebelum landing di bandara. Itulah potret hutan tanaman industri HTI di Riau.
Provinsi Riau dikenal sebagai salah satu pusat industri kehutanan utamanya yang berbahan dasar kayu akasia dan eukaliptus. Sering disebut dengan industri pulp and paper.
Dua jawara di bisnis ini yakni PT Riau Andalan Pulp and Paper RAPP terafiliasi dengan raksasa APRIL. Satu lagi PT Indah Kiat Pulp and Paper IKPP, beririsan dengan sayap bisnis Sinar Mas Forestry.
Kayu akasia dan eukaliptus ditanam di atas kawasan hutan produksi. Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan KLHK menyebut luasan hutan produksi di Riau mencapai 4,5 juta hektar lebih. Seluas 2,33 juta hektar masuk dalam kategori hutan produksi tetap. Sisanya hutan produksi terbatas HPT dan hutan produksi konversi HPK.
Nah, dari jutaan hektar hutan produksi itu, sepertiganya dikelola untuk penanaman kayu akasia dan eukaliptus untuk bahan baku pabrik milik RAPP dan IKPP. Perizinannya disebut dengan Izin Usaha Pengelolaan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman disingkat IUPHHK-HT.
Hingga tahun 2019 lalu, tercatat ada sebanyak 52 perusahaan pemegang izin hutan tanaman industri di Riau. Yang paling lebar adalah PT RAPP seluas 338.536 hektar, disusul PT Arara Abadi dengan luasan 296.262 hektar. Ada lagi PT Sumatera Riang Lestari seluas 148.075 hektar. Sisanya dikelola sebanyak 49 perusahaan lain yang berafiliasi dan bermitra sebagai pemasok bahan kayu ke pabrik milik RAPP dan IKPP. Total hutan tanaman industri di Provinsi Riau seluas 1.581.588 hektar.
Sejumlah riset mengungkap banyak dampak negatif keberadaan industri kayu hutan monokultur ini. Salah satunya bahaya ekologis.
Pengelolaan HTI di hutan gambut memicu lepasnya karbon berdampak pada pemanasan global dengan naiknya suhu planet bumi.
Pengelolaan gambut kerap berujung pada terbakarnya hutan lahan menimbulkan polusi udara hingga ke mancanegara.
Di sisi lain, pembukaan HTI memaksa satwa liar dilindungi keluar dari sarang karena habitatnya dirusak. Keanekaragaman hayati hutan di Riau pun menyusut.
Akibatnya, konflik satwa dan manusia berulang kali terjadi. Hewan langka dilindungi seperti gajah dan harimau sumatera berulang kali mati dibunuh. Dibalas oleh aksi pemangsaan satwa berujung meninggalnya sejumlah warga di Riau.
Masalah sosial pun muncul dengan eskalasi konflik agraria antara perusahaan pemegang izin HTI dengan warga sekitar yang mengelola lahan.
Banyak lagi masalah yang muncul dari keberadaan HTI, termasuk potensi bencana alam dan banjir.
Dana Bagi Hasil DBH adalah salah bagian penyusun Transfer Dana Perimbangan bersumber dari APBN. DBH terbagi atas beberapa jenis, salah satunya DBH Sumber Daya Alam. Nah, di dalam DBH Sumber Daya Alam ini ada komposisi DBH Kehutanan.
DBH Kehutanan meliputi 3 sumber penerimaan, yakni Iuran Izin Usaha Pemanfaatan Hutan IIUPH-Provisi Sumber Daya Hutan PSDH dan Dana Reboisasi DR.
Pembagian porsi DBH Sektor Kehutanan punya aturan sendiri. Untuk IIUPH, sebesar 20 persen adalah bagian pemerintah pusat, 16 persen untuk provinsi dan sisanya 64 persen bagian kabupaten kota penghasil.
Pembagian PSDH, 20 persen untuk pemerintah pusat, 16 persen jatah provinsi, 32 persen dialokasikan untuk kabupaten kota penghasil dan sisanya 32 persen dibagi sebagai dana pemerataan untuk kabupaten kota di dalam provinsi penghasil.
Khusus Dana Reboisasi, sebesar 60 persen untuk pemerintah pusat dan sisanya 40 persen dibagi ke pemerintah daerah.
Lantas, berapa besar DBH Sektor Kehutanan yang diterima pemerintah daerah di Riau dari keberadaan jutaan hektar hutan tanaman industri ini?
Jawabannya: sangat timpang dan tak sebanding dengan dampak negatifnya yang dirasakan.
Mengapa sangat timpang? Dari pengelolaan HTI seluas 1,58 juta hektar yang ada di Riau, pemda di Riau hanya mendapat kucuran DBH sektor kehutanan sebesar Rp 165,43 miliar dalam proyeksi APBN 2023. Uang itu dibagi untuk 12 pemda kabupaten kota, termasuk jatah Pemprov Riau.
Hitunglah rasio rata-rata luasan HTI dengan besaran dana DBH Kehutanan yang diterima Riau. Bagikan duit DBH Kehutanan sebesar Rp 165,43 miliar dengan luasan HTI 1,58 juta hektar. Rata-rata hanya dihargai sekitar Rp 104.700 per hektar per tahun. Layak kah?
Di sini pangkal soalnya, mengapa DBH sektor kehutanan khususnya dari IIUPH-PSDH yang diperoleh Riau sangat minimalis.
Perhitungan DBH Kehutanan bersumber dari Penerimaan Negara Bukan Pajak PNBP sektor kehutanan. Rujukannya yakni Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 12 Tahun 2014 tentang Jenis dan Tarif PNBP yang Berlaku pada Kementerian Kehutanan.
Berdasarkan PP tersebut, tarif PNBP kayu akasia dan eukaliptus yakni 6 persen dari nilai patokan harga kayu. Nah, standar harga patokan ditetapkan oleh Menteri Lingkungan Hidup melalui Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Nomor: P.64/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2017 tentang Penetapan Harga Patokan Hasil Hutan untuk Perhitungan Provinsi Sumber Daya Hutan dan Ganti Rugi Tegakan. Aturan itu diteken Menteri Siti Nurbaya pada 19 Desember 2017 lalu.
Dalam Peraturan Menteri LHK itu ditetapkan patokan harga kayu akasia dan eukaliptus sebesar Rp 140 ribu per meter kubik. Sehingga, nilai PNBP yang berlaku untuk kayu akasia dan eukaliptus yakni Rp 8.400 per meter kubik. Angka ini diperoleh dari perkalian 6 persen dari harga patokan sesuai ketentuan PP Nomor 12 Tahun 2014 tentang Jenis dan Tarif PNBP yang Berlaku pada Kementerian Kehutanan.
Patokan harga kayu eukaliptus dan akasia sebagai dasar perhitungan PSDH terlalu murah, menyebabkan alokasi DBH Kehutanan untuk Provinsi Riau hanya sebesar Rp 165,43 miliar pada tahun 2023 ini.
Ini sudah dikeluhkan oleh Gubernur Riau Syamsuar. Ia mengirim sepucuk surat ke Menteri LHK Siti Nurbaya pada 21 Oktober 2021 lalu. Isinya, meminta Menteri Siti Nurbaya menaikkan harga patokan kayu akasia dan eukaliptus, masing-masing menjadi Rp 375 ribu dan Rp 400 per meter kubik.
Sebenarnya, usulan perubahan harga kayu akasia dan eukaliptus versi Gubernur Riau itu bukan tanpa dasar dan masuk akal. Hasil penelusuran di situs online penjualan kayu, harga akasia dan eukaliptus di pasaran jauh dari patokan yang ditetapkan Menteri LHK.
Misalnya, untuk kayu akasia dengan ukuran panjang 1 hingga 1,9 meter dan diameter 10 hingga 13 sentimeter, di pasaran dijual seharga Rp 628.000 sampai Rp 730 ribu per meter kubik.
Nah, harga usulan Gubernur Riau itu ternyata masih lebih rendah dibanding harga di pasar kayu umum.
Tapi surat permohonan Gubernur Syamsuar itu tampaknya tak digubris. Sudah 2 tahun bermohon, hingga kini revisi harga kayu tak kunjung dilakukan Menteri Siti.
Sebenarnya, penetapan harga patokan Rp 140 ribu per meter kubik kayu akasia dan eukaliptus tak hanya berpotensi merugikan jajaran pemda dan Pemprov Riau maupun daerah penghasil lainnya di seluruh wilayah Indonesia. Namun juga berakibat berkurangnya PNBP bagi pundi-pundi negara.
Coba kita simak pelan-pelan.
Data Kementerian LHK pada tahun 2021, produksi kayu HTI nasional tercatat sebesar 47,42 juta meter kubik. Ini artinya, besaran PNBP dengan patokan harga Rp 140 ribu per meter kubik hanyalah sebesar Rp 398.328.000.000.
Andai saja dilakukan revisi patokan harga, misalnya dinaikkan menjadi Rp 400 ribu per meter kubik, maka negara akan mendapat PNBP naik hampir tiga kali lipat dari jumlah yang diproyeksi tahun ini, yakni menjadi Rp 1,13 triliun. Selisihnya mencapai Rp 600 miliar lebih. Itu untuk angka PNBP nasional yang akan didistribusikan ke daerah penghasil termasuk ke kas pemerintah pusat.
Kita kembali ke soal PNBP yang diterima jajaran pemda di Riau. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik tahun 2020, produksi kayu HTI Riau mencapai 19,45 juta meter kubik.
Dengan harga akasia usulan Gubernur Syamsuar Rp 400 ribu per meter kubik, PNBP sektor kehutanan berjumlah Rp 466,8 miliar. Itu artinya, bagian untuk pemda di Riau adalah sebesar Rp 373,44 miliar, bukan seperti yang diterima tahun ini hanya sebesar Rp 165,43 miliar.
Desakan agar Menteri LHK Siti Nurbaya segera mengubah patokan harga kayu akasia dan eukaliptus ini rasanya bukan mengada-ada. Itu penting segera dilakukan agar negara dan pemda mendapat manfaat lebih besar dari industri esktraktif ini.
Tak ada dasar bagi Menteri Siti Nurbaya untuk mempertahankannya dengan harga lama. Apalagi, sektor industri pulp paper kini kian berkembang, bahkan sudah merambah pada hilirisasi produk serat rayon.
Dalam kondisi ini, solidaritas daerah penghasil HTI harus diperkuat, mendesak segera dilakukannya revisi, mengacu pada harga pasar senyatanya. Semoga Menteri Siti mendengarnya. (*)