Orang Kaya Indonesia Simpan Uang Ribuan Triliun di Luar Negeri
SABANGMERAUKE, JAKARTA - Sudah menjadi rahasia umum, jika banyak pengusaha nasional yang menyimpan uangnya di negara-negara yang menetapkan tarif pajak rendah atau suaka pajak.
Meskipun pemerintah sudah menyediakan fasilitas pengampunan pajak atau tax amnesty pada 2016-2017 silam, pada kenyataannya masih banyak pengusaha yang belum mau mendeklarasikan harta kekayaannya.
Wakil Ketua Umum Bidang Kebijakan Fiskal dan Publik Kamar Dagang dan Industri (Kadin), Suryadi Sasmita mengungkapkan, saat pelaksanaan Tax Amnesty Jilid I berlangsung, dari target 10 juta peserta yang ikut, hanya 1 juta yang mengikuti tax amnesty.
Pasalnya, kata Suryadi saat ini sempat muncul kekhawatiran kebijakan tersebut hanya jebakan pemerintah. Nah saat ini, kata Suryadi sampai saat ini masih banyak orang-orang kaya yang menaruh dana atau harta kekayaannya di dalam brankas.
"Masih banyak orang-orang kaya terselubung yang taruh di bawah bantal, yang taruhnya di brankas," ujarnya kepada CNBC Indonesia saat dihubungi dan dikutip Senin (1/11/2021).
Bahkan, kata Suryadi saat ini juga masih banyak pengusaha yang menyimpan kekayaannya di luar negeri. Namun, harta tersebut dalam bentuk investasi bisnis. Oleh karena itu, harta kekayaan kebanyakan pengusaha di luar negeri adalah hasil dari bisnis yang mereka lakukan di luar negeri, bukan sengaja untuk disembunyikan.
"Karena semua pengusaha itu biasanya selalu mencari peluang. Kalau di sana ada peluang, tentu di mengambil peluang di sana," ujarnya.
"Jadi, kalau bilang ada banyak atau tidak, ya banyak. Tapi, bukan berarti itu kekayaan yang hitam (ilegal). Kalau aset (pengusaha nasional) di luar negeri banyak yang putih," tutur Suryadi lagi.
Menurut Suryadi banyak pengusaha yang menyimpan harta kekayaannya di dalam negeri. Namun, tak menutup mata ada juga beberapa pengusaha yang memang sengaja untuk menyimpan di luar negeri ada.
"Kalau saya lihat, terus terang saja banyak kekayaan pengusaha disimpan di Indonesia. Di luar negeri ada, tapi mereka lebih ke arah bisnis. Nah, kecuali bukan pebisnis, kalau bukan pebisnis untuk menyelamatkan saja," tuturnya.
Berdasarkan keterangan Suryadi mengenai masih banyak pengusaha yang menaruh kekayaannya di luar negeri, terbukti dari data yang diperoleh melalui Direktorat Jenderal Pajak (DJP) yang berhasil dihimpun melalui Automatic Exchange of Information (AEoI) sejak 2018.
DJP mencatat, melalui AEoI itu sebanyak Rp 2.742 triliun dari yurisdiksi partisipan (inbound) dan Rp 3.574 triliun dalam negeri.
Berdasarkan informasi yang diterima CNBC Indonesia, tertera bahwa data tersebut telah diklarifikasi kepada wajib pajak. Hanya saja ada yang belum berhasil.
Penyandingan antara data saldo keuangan dengan harta setara kas Surat Pemberitahuan (SPT) tahunan pajak penghasilan (PPh) orang pribadi menunjukkan, data yang telah diklarifikasi dalam SPT senilai Rp 5.646 triliun dimiliki oleh 7795 ribu wajib pajak.
Selanjutnya masih dalam kategori proses klarifikasi alias belum berhasil adalah 131 ribu wajib pajak dengan nilai harta Rp 670 triliun.
Secara khusus, untuk data penghasilan wajib pajak dari pertukaran yurisdiksi partisipan, meliputi dividen, bunga, penjualan dan penghasilan lain ketika disandingkan dengan data penghasilan luar negeri, ditemukan data yang telah diklarifikasi sebesar Rp 7 triliun (6 ribu wp) dan belum diklarifikasi Rp 676 triliun (50 ribu wp).
Ditjen Pajak tidak bisa memberikan konfirmasi atas data tersebut. Nilainya memang benar mencapai triliunan rupiah, akan tetapi karena jumlah data yang sangat banyak, maka dibutuhkan waktu lebih lanjut untuk penyandingan data.
Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis Yustinus Prastowo menyatakan, keputusan adanya program pengampunan pajak alias tax amnesty atau disebut program pengungkapan sukarela, karena banyak wajib pajak yang belum patuh.
Ditjen Pajak memang telah memiliki data yang bersumber misalnya dari AEoI. Akan tetapi tak cukup untuk memaksa pengemplang pajak memenuhi kewajibannya. Termasuk membayar sanksi.
"Sanksi 200% membuat orang takut mengungkapkan sukarela. Kenapa? terlalu berat. Maka direlaksasi. Negara tetap mendapat haknya dengan cara relaksasi sanksi," jelas Yustinus kepada CNBC Indonesia beberapa waktu lalu.
Dengan adanya pengampunan pajak lagi pada 1 Januari 2022 mendatang, maka pengemplang tersebut mendapatkan kemewahan dengan tarif yang jauh lebih rendah. Maksimal 18% bagi yang sudah ikut tax amnesty 2016 dan memiliki harta di luar negeri namun tidak direpatriasi.
Selain itu, kata Yustinus masih ada sekelompok orang yang tidak tersentuh oleh pajak.
"Tidak semua terjaring AEoI. Bagaimana yang di dalam negeri dan underground? Bagaimana di negara lain dan belum ada kerjasama pertukaran?," ujarnya. (*)