Problematika Pembelajaran Blended Learning
SABANGMERAUKE NEWS - Kemajuan teknologi turut serta mendongkrak kemajuan di bidang pendidikan, meskipun teknologi tidak bisa mengganti peran manusia secara utuh. Teknologi dapat membantu untuk menyimpan data dan informasi secara efisien dan mempermudah komunikasi antar individu.
Namun, meskipun teknologi membantu, peran manusia sebagai pendidik dan pengajar masih sangat penting dan tidak bisa digantikan oleh teknologi. Manusia memiliki kemampuan untuk memberikan interaksi emosional dan memahami kebutuhan individu secara personal yang tidak bisa dicapai oleh teknologi.
Pandemi Covid-19 menjadi pemicu utama percepatan adopsi teknologi yang berdampak pada berbagai bidang termasuk pendidikan. Dalam dunia pendidikan, pembelajaran daring menjadi lebih diterima dan digunakan secara luas sebagai solusi untuk tetap memberikan pendidikan meskipun dalam situasi pandemi. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas pembelajaran.
Kombinasi antara pembelajaran daring dan tatap muka memungkinkan sekolah dan perguruan tinggi untuk memberikan pendidikan yang efisien dan efektif. Namun, hal ini juga memiliki tantangan tersendiri seperti kesenjangan akses teknologi dan perlu adanya adaptasi dan inovasi agar pembelajaran daring dapat memberikan hasil yang optimal.
Menurut Harding, Kaczynski, dan Wood (2005), blended learning adalah metode pembelajaran yang menggabungkan tatap muka dengan pembelajaran jarak jauh dan menggunakan teknologi dan sumber belajar online. Dalam blended learning, guru dan siswa dapat menggunakan berbagai pilihan komunikasi seperti email, diskusi online, dan video konferensi untuk membantu proses pembelajaran.
Blended learning memungkinkan penggabungan antara kelebihan dari pembelajaran tatap muka dan pembelajaran jarak jauh, sehingga proses pembelajaran dapat menjadi lebih efektif dan menyenangkan bagi guru dan siswa.
Sementara itu, Driscoll (2002) mempresentasikan empat konsep blended learning, yaitu: a) menggabungkan teknologi online untuk mencapai tujuan pendidikan, b) kombinasi gaya belajar yang berbeda, c) kombinasi bentuk teknologi pembelajaran dan pengajaran tatap muka, dan d) menggabungkan teknologi pembelajaran dengan tugas kerja nyata. Konsep-konsep ini menunjukkan bahwa blended learning melibatkan kombinasi dari berbagai bentuk teknologi, gaya belajar, dan tugas praktis untuk mencapai hasil pembelajaran yang optimal.
Dengan demikian, blended learning disimpulkan sebagai model pembelajaran yang menggabungkan antara pembelajaran tatap muka dan pembelajaran daring/online. Model ini memungkinkan guru dan siswa untuk berinteraksi secara real-time pada saat tatap muka dan juga memberikan fleksibilitas bagi siswa untuk mempelajari materi secara mandiri melalui pembelajaran daring.
Menurut Carman (2005) ada lima kunci utama blended learning adalah 1) Live event, pembelajaran tatap muka secara synchronous atau pada waktu dan tempat yang sama atau pada waktu yang sama tetapi berbeda tempat. 2) Self-paced learning, memungkinkan siswa belajar secara mandiri pada waktu dan tempat yang mereka inginkan. 3) Kolaborasi, kombinasi kolaborasi antara guru-siswa dan siswa-ke-siswa. 4) Penilaian, guru harus dapat menggunakan beragam jenis penilaian baik online dan offline, seperti test dan non-test (project class). 5) Materi pembelajaran, memastikan materi pembelajaran dalam format digital dan tersedia untuk siswa baik offline maupun online.
Ada beberapa permasalahan yang sering dialami guru atau pengajar dalam penerapan blended learning, yaitu: beban kerja guru yang meningkat, kurangnya pemahaman teknologi, sarana prasarana yang terbatas, siswa tidak jujur dalam menyelesaikan tugas video rutin, kesulitan guru dalam memonitor perkembangan siswa, kurangnya disiplin siswa dalam belajar, hasil belajar yang tidak tercapai secara maksimal.
Sementara itu, ada juga beberapa masalah yang sering dihadapi siswa ketika melakukan blended learning, antara lain:
1. Akses terbatas ke teknologi: Beberapa siswa mungkin tidak memiliki peralatan teknis atau akses internet yang memadai untuk berpartisipasi dalam pembelajaran campuran.
2. Keterampilan Digital: Siswa mungkin memiliki keterbatasan dalam penggunaan teknologi dan media digital, mencegah mereka mengejar pembelajaran campuran.
3. Kurangnya interaksi sosial: Dengan pembelajaran campuran, interaksi sosial antara siswa dan guru mungkin lebih sedikit dibandingkan dengan kelas tatap muka tradisional.
4. Kurang motivasi: Siswa mungkin merasa kurang terlibat dan termotivasi dalam pembelajaran campuran karena pembelajarannya terlalu berorientasi pada teknologi dan media digital.
Berikut adalah beberapa solusi untuk memecahkan masalah implementasi blended learning:
1. Pelatihan bagi guru untuk menangani beban kerja dan memahami teknologi.
2. Meningkatkan infrastruktur seperti peralatan teknologi dan jaringan internet.
3. Pengawasan dan kontrol terhadap siswa dan tugasnya diperketat.
4. Pendidikan tentang pentingnya kedisiplinan dan kejujuran dalam belajar.
5. Penilaian hasil belajar siswa secara berkala untuk memastikan tercapainya tujuan pembelajaran.
6. Meningkatkan kerjasama antara siswa dan guru selama proses belajar mengajar.
7. Partisipasi aktif siswa dalam kegiatan belajar mengajar diperkuat melalui berbagai diskusi dan tugas.
Penerapan blended learning membutuhkan kemauan dan perencanaan yang matang untuk mengatasi permasalahan. Dukungan dari sekolah dan negara terkait ketersediaan teknologi dan keterampilan digital juga sangat dibutuhkan agar proses belajar mengajar berjalan lancar dan hasil belajar siswa tercapai secara optimal.
Penulis: Ashiong P. Munthe
FIP Universitas Pelita Harapan, Karawaci