Setelah Jutaan Hektar Izin Hutan dan Pertanahan Dicabut Pemerintah: Problem dan Tantangan Serius
SabangMerauke News - Tulisan singkat ini merupakan telaah cepat dan sedehana secara sosio legal terhadap pencabutan izin-izin perusahaan perkebunan, kehutanan dan pertambangan oleh pemerintah yang diumumkan Presiden Joko Widodo, Kamis (6/1/2022).
Membaca keterangan Biro Pers, Media, dan Informasi Sekretariat Presiden yang dimuat dalam situs resmi sekretariat Presiden berjudul "Pemerintah Cabut Ribuan Izin Usaha Tambang, Kehutanan, dan HGU Perkebunan", merupakan angin segar dan telah memunculkan semangat yang positif untuk perbaikan tata kelola sumber daya alam di Indonesia.
Fakta sosial bahwa ketimpangan penguasaan, pemanfaatan dan pengelolaan (akses dan hak) dalam pengelolaan sumber daya alam adalah isu besar yang sulit dibantah, karena perizinan sektor perkebunan, kehutanan, pertambangan didominasi oleh korporasi-korporasi besar. Sementara masyarakat banyak yang hanya menjadi penonton bahkan terkena dampak serius. Setidaknya itu yang sering disuarakan oleh para pegiat sosial dan lingkungan yang selama ini.
Harapan tersebut bertolak dari pernyataan pemerintah yang menyebutkan bahwa tujuan pencabutan izin adalah untuk memperbaiki tata kelola sumber daya alam agar ada pemerataan, transparan dan adil, untuk mengoreksi ketimpangan, ketidakadilan, dan kerusakan alam. Untuk itu, izin-izin pertambangan, kehutanan, dan penggunaan lahan negara terus dievaluasi secara menyeluruh. Oleh karena itu izin-izin yang tidak dijalankan, yang tidak produktif, yang dialihkan ke pihak lain, serta yang tidak sesuai dengan peruntukan dan peraturan, kita cabut.
Pernyataan itulah yang disampaikan langsung oleh Presiden Joko Widodo dalam keterangannya di Istana Kepresidenan Bogor, pada Kamis, 6 Januari 2022 lalu.
Tantangan
Jika pencabutan izin ini dilihat secara kritis dengan menggunakan alur pikir yang zigzag, maka ada banyak tantangan yang harus ditangani dengan baik dan hati-hati pasca pencabutan izin ini. Bagi saya pribadi, tantangan pasca pencabutan izin-izin ini dapat tergambarkan dari berbagai pertanyaan kritis, sebagai berikut:
1. Bagaimana kaitan kejadian ini dengan kampanye pemerintah untuk memudahkan investasi sebagaimana semangat omnibus law (UU Cipta Kerja)? Karena saya menduga bahwa kalangan pengusaha tidak nyaman dengan pencabutan izin ini. Pengusaha pasti beralasan bahwa banyak kendala sosial di lapangan yang menyebabkan izin-izin sulit diusahakan secara maksimal, seperti konflik tenurial.
2. Bagaimana posisi hukum aset perusahaan pasca izinnya dicabut? Karena secara hukum, kendati telah terjadi pencabutan izin terhadap perusahaan, bukankah aset tidak bergerak berupa tanaman, perkantoran, dan aset bergerak lainnya tetap menjadi milik perusahaan.
3. Bagaimana kesiapan sosial kelompok masyarakat untuk bisa ikut mengelola lahan eks perusahaan yang izinya dicabut? Karena hal ini rawan menjadi isu yang memicu pendudukan (okupasi) terhadap aset perusahaan di lapangan, dan bukan tidak mungkin menyebabkan terjadi gesekan horizontal di tengah masyarakat. Semoga pegiat sosial dan lingkungan yang dekat dengan masyarakat ikut mengawal di lapangan kondusifitas tetap terjaga.
3. Bagaimana peran pemerintah daerah mengawal keputusan pencabutan izinnya? Karena yang paling tahu dan dekat dengan tapak adalah pemerintah daerah.
4. Bagaimana sikap perusahaan dan upaya hukum terhadap pencabutan izin ini? Karena tentulah banyak investasi yang sudah digelontorkan menuju keluarnya izin di masa lalu, maupun proses tata batas, pelepasan tanah dari masyarakat adat/lokal dan kegiatan CSR/CD yang mungkin sudah dijalankan. Termasuk lobi-lobi antar pemangku kepentingan kemungkinan akan terjadi pasca pencabutan izin ini. Semoga KPK ikut ambil bagian melakukan pengawasan.
5. Apakah mungkin pencabutan izin-izin ini ada kaitannya dengan kepentingan politik 2024? Karena dalam pernyataan resmi pemerintah juga menyatakan bahwa pemerintah akan memberikan kesempatan pemerataan pemanfaatan aset (perusaan yang izinnya dicabut) bagi kelompok-kelompok masyarakat dan organisasi sosial keagamaan yang produktif (termasuk kelompok petani, pesantren, dll), yang bisa bermitra dengan perusahaan yang kredibel dan berpengalaman. Tentu saja ini menjadi isu yang sangat populis secara politik dan bisa untuk menarik simpati masyarakat.
Mungkin masih ada pertanyaan kritis dan spekulasi yang lain. (*)
Penulis: Ahmad Zazali
Ketua Pusat Hukum & Resolusi Konflik (PURAKA)